Pentas seni di sekolah atau kampus tak bisa lepas dari sajian musik. Ajang ini bisa jadi pijakan awal perjalanan karier sebuah band. Setelah tenar, sebagian dari band itu tetap rajin main di depan anak sekolahan yang haus hiburan. Naif adalah salah satunya.
Naif mengajak seribuan penonton melakukan aksi yang sedang heboh di jagat media sosial saat ini: mannequin challenge. Aksi membisu bak manekin itu baru pertama kali mereka lakukan, dan pentas yang beruntung jadi tuan rumah adalah Utopia Fest, acara pensi tahunan besutan SMA Regina Pacis, Bogor, Sabtu (19/11) lalu.
”Oke, biar kekinian, kita bikin mannequin challenge yuk. Belum ada, kan, band yang begini di panggung,” ajak David di sela-sela lagu ”Aku Rela”. Seribuan penonton, rata-rata usia SMA, bersorak kegirangan. Mereka beringsut mendekati panggung, keluar dari naungan atap lapangan tenis, membiarkan kepala mereka tertimpa sisa gerimis.
David kasih aba-aba supaya gerakan bisa berhenti serentak. Bukan cuma kepada penonton, tetapi juga kepada Emil (bas), Pepeng (drum), dan Jarwo (gitar). Ketika aba-abanya tiba, gerakan mereka membeku. Jejeritan berhenti. Arena panggung mendadak senyap. Namun, enggak sampai semenit, kemeriahan pecah lagi.
Naif adalah salah satu band yang tampil di Utopia Fest di arena Tenis Indoor, Bogor Lakeside. Setelah penampilan segar dari om-om asal Jakarta itu, Maliq & D’Essentials menggoyang hadirin dengan lagu pop yang bernuansa jazz dan soul. Acara itu lantas ditutup dengan racikan musik elektronik DJ (disc jockey) Tiara Eve.
Utopia Fest dimulai sejak siang. Sebelum Naif, beberapa band sekolahan di Bogor bergantian tampil, seperti Irridium, Elucidator Project, Chemistree, dan Hipster Flamingos. Beberapa band itu memainkan musik serupa dengan Maliq & D’essentials; musik yang menyenangkan dan bisa dibuat goyang.
Ada juga aksi kelompok Sick as Monk yang beranggota tiga DJ dan band Storylite yang memainkan lagu beken, seperti ”Closer” milik duo DJ The Chainsmokers.
Teori Jimi
Sepertinya, acara pensi hampir selalu diwarnai musik yang cenderung ceria dan mengajak goyang. ”Anak-anak sekolah suka dengan musik yang bisa membuat mereka berjoget karena energi mereka besar, dan mereka belum boleh masuk diskotek. Makanya, band disko atau disc jockey laris diundang di pensi,” kata Jimi Multhazam, pentolan band The Upstairs.
Pada pertengahan dekade 2000-an, The Upstairs adalah band disko/new wave yang laris jadi bintang tamu pensi. Tak cuma di Jakarta, mereka juga main di acara sekolahan sampai kota Jambi dan Makassar. Saking larisnya, mereka pernah main di empat acara dalam satu hari di sekitar Jabodetabek.
The Upstairs, si raja pensi ini, sangat dicintai anak sekolahan. Mereka punya lagu ”Dansa Akhir Pekan” di album kedua Energy (2006). Lagu itu menceritakan perjuangan anak sekolah demi bisa menonton pensi yang umumnya hari Sabtu atau Minggu. Begini cukilan liriknya: enam hari berseragam/rambutku tlah mereka hancurkan/menyita ragam cerita, jelas sekali ku diredam//.
Menurut Jimi, karakter penonton pensi dengan penonton festival musik, semisal Synchronize Fest atau Java Jazz, berbeda. Penonton pensi umumnya bakal tertarik dengan siapa pun penampilnya selama punya aksi dan tata panggung yang memikat. Makanya, sebagai vokalis, ia punya tugas memaku perhatian penonton pada panggung.
Teori Jimi masuk akal. Band Naif dan Maliq & D’Essenstials juga punya aksi panggung yang memukau. Angga dari Maliq punya goyangan badan aduhai dalam mengikuti irama. David dari Naif punya banyolan dan gestur yang mengundang tawa. Jarwo, pemain gitar yang kalem, sering beraksi mengangkat kepala gitar ke udara di bagian solo, seperti Slash.
Band lebih tua
Bisa jadi penampilan sedemikian membuat Naif rajin diundang menyemarakkan pensi sekolahan. Padahal, usia band yang kini memasuki 21 tahun lebih tua dibandingkan rata-rata penonton sekolahan. Lagu ”Piknik ’72”, yang menjadi lagu pembuka malam itu, bisa jadi sama umurnya dengan kebanyakan penonton Utopia Fest. Lagu itu keluar di album perdana Naif, 18 tahun lalu.
Penonton hafal juga lagu ”Posesif” yang masuk di album kedua Jangan Terlalu Naif (2000) memunculkan koor panjang ”mengapaaaaa aku beginiiii….” David berulang kali menyodorkan mik ke arah penonton, yakin penonton bakal ikut nyanyi. Dugaan David benar.
”Kami juga bingung, kenapa sering banget main di pensi sekolahan. Jangankan SMA, SMP juga ada yang ngundang,” kata Emil, pemain bas. Ia cerita, dulu di tahun-tahun awal Naif sering main di acara komunitas indie. ”Yang nonton banyak anak SMA juga,” ujarnya.
Karena itu, mereka mulai sering main di acara kampus dan menyusul di sekolahan hingga sekarang. Jika melihat jadwal manggung mereka dalam rentang dua pekan, pasti menyelip satu atau lebih pentas di sekolahan atau kampus.
Emil terkenang, Naif pernah main di sebuah SMA di Makassar pada masa awal mereka terbentuk. Sekitar setahun lalu, mereka diundang lagi ke sekolah itu. Ternyata, salah seorang panitianya adalah anak dari panitia yang dulu.
Beberapa sekolah di Jakarta menjadi langganan panggung Naif. ”Kayaknya smansa (SMA negeri satu) di semua provinsi di Indonesia udah pernah didatengin, deh, ha-ha-ha,” kata Emil, yang sekarang sering dipanggil ”Om” oleh panitia pensi sekolah ini.
Emil senang main di acara sekolahan yang panitianya murid sendiri. Menurut dia, para panitia bekerja bukan dilandasi motif bisnis, melainkan benar-benar ingin mengharumkan nama sekolah. Makanya, ada beberapa persyaratan band (riders) yang bisa ditawar, misalnya urusan penginapan.
”Pernah juga kami sudah datang di lokasi, ternyata badai. (Kami) enggak bisa manggung. Mereka kecewa. Kami tawarkan acara berikutnya boleh manggil Naif lagi enggak usah bayar penuh, cukup untuk crewaja,” kata Emil.
The Upstairs juga punya pengalaman seru main di acara pensi yang enggak ada sponsor. Bayaran band diambil dari penjualan tiket.
”Jadi, uang bayarannya pakai recehan, lima ribuan, sepuluh ribuan. Itu juga masih kurang beberapa juta. Mereka ngumpulin ponsel panitia sebagai jaminan. Ada empat kresek isi ponsel kami bawa. Gue terharu,” kata Jimi.
Herlambang Jaluardi
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 November 2016, di halaman 24 dengan judul “PENTAS SENI: Dansa Akhir Pekan Anak Sekolahan”