Warga Manggarai sedang bermain di Tiwu Wali di Desa Ruis, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, Flores-NTT pada Kamis (28/6). Belum banyak orang termasuk penduduk Manggarai yang mengetahui keindahan air terjun yang berada di Pelosok Manggarai ini. Kompas/Dionisius Reynaldo Triwibowo

Kacamata Audax Aditya (26) dipasang di kepala, kamera dan baju renang disimpan di tas pinggang. Pemuda asal Jakarta itu hendak menuju Tiwu Wali, air terjun di Desa Ruis, Reok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Bahkan, sebagian besar orang Manggarai tidak tahu keberadaan air terjun itu, apalagi mitos di balik keindahannya.

Saat itu, Audax sedang berlibur di kampung tempat ayahnya dilahirkan di Manggarai. Bersama seorang sepupunya, Audax membawa motor menuju Tiwu Wali. Sepupunya, Konstantino Renaldi Lagu (23) atau yang disapa Aldi, adalah satu dari segelintir orang yang mengetahui keberadaan air terjun itu.

”Lebih baik datang sore hari karena tidak banyak orang yang pergi mandi. Lokasinya bagus buat foto-foto dan berenang,” ujar Aldi kepada Audax, Kamis (28/6).

Dengan menggunakan sepeda motor, mereka berdua beranjak dari rumah menuju Desa Ruis. Dari Kota Reok menuju Desa Ruis menghabiskan waktu selama 30 menit, terdapat jalan setapak sekitar 200 meter dari pertigaan Dusun Wae Belang. Jalan berbatu dan berlumpur itulah jalan menuju air terjun.

”Jalan setapak itu dulu tidak ada, jalan itu dibuat oleh orang yang pergi berkebun, jangan berharap jalan beraspal, bertahuntahun, ya, jalannya seperti itu,” kata Aldi layaknya seorang pemandu wisatawan.

Di ujung jalan setapak terdapat tangga menurun. Tangga itu dibuat dengan sangat terpaksa, terlihat dari susunan batu yang tak beraturan. Setelahnya, terdapat jalan setapak menurun sepanjang 100 meter sampai akhirnya tiba di Tiwu Wali.

Udara kota Reok yang panas tak terasa di tempat itu. Teduh. Pohon-pohon bambu dan pohon besar lainnya mengelilingi tempat tersebut. Semuanya hijau.

Tiwu Wali dibagi dua. Tempat pertama terdapat air terjun kecil dengan ketinggian sekitar 2 meter. Adapun di tempat kedua terdapat dua air terjun dengan ketinggian masing-masing berkisar 6-7 meter.

Di kaki air terjun terdapat danau kecil dengan kedalaman sekitar 6 meter. Airnya hijau bercampur biru, di sisi kanan dan kiri dipenuhi batu-batu besar.

Air terjun pertama ditemani batu-batu bersusun di sebelah kanannya. Susunan batu-batu itu menjadi seperti tangga, mengingatkan pengunjung pada susunan batu di Candi Borobudur, Jawa Tengah. Jenis batunya pun terlihat sama.

”Orang di sini juga heran dengan susunan batu seperti itu. Jenis batunya juga hampir tidak ditemukan di mana pun di sekitar sini,” ungkap Yohanes (23) warga Dusun Golo Sita, Wae Belang, kampung sekitar air terjun yang kebetulan sedang pulang berkebun.

Di sisi paling kanan dari susunan batu tersebut terdapatbatu yang panjangnya sekitar 30 sentimeter (cm) dan tertanam di tanah. Di batu itu ditulis kata ”wali”.

Menurut Yohanes, tidak ada orang di desa itu ataupun desa sekitarnya yang mengaku pernah menulis itu. ”Saya juga sudah bertanya ke orang-orang tua yang masih ada di kampung. Mereka tidak tahu menahu tentang tulisan itu,” ujarnya.

Ayah Yohanes, Matius (69), seorang tukang kayu, mengatakan, pada 1998 ada sekelompok orang asing yang datang ke tempat itu. Mereka seperti melakukan pengamatan, mengambil beberapa jenis batu dan beberapa tumbuhan.

Dalam bahasa Manggarai, tiwu berarti air yang jatuh dan menciptakan genangan, sedangkan nama wali diambil dari tulisan di batu yang tidak tahu asal muasalnya. Jadi, Tiwu Wali berarti air yang jatuh milik si-Wali. Tidak ada penjelasan filosofis untuk menjelaskan alasan mengapa diberikan nama Tiwu Wali.

Nama itu muncul begitu saja dari mulut ke mulut orang yang membicarakannya di sekitar desa. Meski demikian, Tiwu Wali menyimpan sebuah mitos. Konon katanya tempat itu adalah tempat mandi seorang raja.

”Ayah saya dulu pernah cerita kalau tempat itu merupakan tempat mandi raja dari Bima, Nusa Tenggara Barat,” tambah Matius.

Kerajaan Bima

Tahun 1640, Ruma Ta Ma Bata Wadu, raja ke-27 Bima, menikah dengan Daeng Sikontu, adik istri Sultan Makassar Alauddin yang beragama Islam. Perjodohan tersebut kemudian membuat Raja Bima masuk Islam yang sebelumnya memeluk agama Hindu.

Meski pengaruh Islam sudah masuk Bima sejak pertengahan abad ke-16 dan rajanya sudah memeluk agama itu, Bima baru resmi menjadi kesultanan Islam setelah Sultan Abdul Kahir mangkat dan digantikan oleh putranya, Sultan Abdul Khair Sirajuddin. Pada masa pemerintahan Sultan Bima II (1635-1681), adat dan hukum Islam mulai diberlakukan secara umum. Hal ini berlangsung sampai masa pemerintahan Sultan Ibrahim, Sultan Bima XIII (1881-1915).

Kesultanan Makassar yang saat itu menguasai beberapa wilayah di Manggarai dan sekitarnya memberikan wilayah Reok kepada Kerajaan Bima. Saat itu wilayah kekuasaan Kerajaan
Bima mulai dari Reok, Manggarai sampai Pota, Manggarai Timur.

Hal itu yang membuat sampai saat ini keturunan Bima hidup di tanah Reok dan masih menggunakan bahasa asli mereka. Bahasa Bima juga digunakan sampai ke Pota, Manggarai Timur.

Tumbuh suburnya peradaban Islam di Bima terkait dengan adanya hubungan-hubungan kekerabatan, diplomatik dan perdagangan antara kesultanan dan kesultanan-kesultanan Islam lain di Kepulauan Nusantara, termasuk dengan kesultanan-kesultanan di Sulawesi Selatan. Konon, pada abad ke-16, Bima sudah menjadi salah satu pelabuhan dagang yang ramai di wilayah timur Nusantara.

Kalau begitu, bukan tak mungkin di antara para pedagang Demak yang datang ke Bima untuk sekalian menyebarkan Islam itu ada juga para pembantu Sunan Kudus atau sunan lainnya dalam jajaran Wali Sanga (Kompas, 13 Desember 2013).

Bukan tak mungkin juga kalau nama wali ada hubungannya dengan Wali Sanga. Meski demikian, belum ada satu literatur yang menyebut air terjun itu dan fakta di baliknya.

Minim perhatian

Manggarai memiliki begitu banyak obyek wisata yang dikenal sampai ke penjuru dunia, antara lain spider web atau sawah berbentuk seperti sarang laba-laba di Kecamatan Wae Ri’i lalu ada Wae Rebo atau yang dikenal dengan negeri di atas awan. Wae Rebo merupakan perkampungan asli Manggarai dengan rumah adat asli Manggarai masih bertahan sampai sekarang.

”Di Manggarai masih banyak obyek wisata yang belum dikelola. Kalaupun belum bisa dikelola sebagai obyek, minimal infrastruktur atau akses ke tempat itu harus lebih baik,” kata
Ketua Komodo Watch dan
pramuwisata asal Manggarai,
Alfonsus Basri.

Menurut Alfons, selain infrastruktur yang belum memadai untuk mendukung lokasi wisata, promosi yang dilakukan juga sangat minim. ”Obyek wisata itu sudah dibuat daftar di dinas pariwisata setiap kabupaten, tetapi hanya sebatas itu belum ada penataan yang baik,” tambah Alfons.

Indonesia bagian timur memang memiliki banyak panorama menarik. Jika terus ditinggalkan dan dibiarkan, tempat-tempat tersebut akan kehilangan daya tariknya. Tiwu Wali, air terjun raja yang menyembunyikan mitos dan sejarah, seakan berteriak untuk dikunjungi.

”Saya akan kembali lagi ke sini,” tulis Audax dalam akun media sosialnya.

Dionisius Reynaldo Triwibowo


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 November 2016, di halaman 23 dengan judul “PESONA NUSANTARA:  Tiwo Wali di NTT, Air Terjun Raja”