Pejalan kaki di Seoul, Korea Selatan, Selasa (4/10) dimanjakan dengan trotoar yang lebar dan rapi, serta tidak dipenuhi pedagang kaki lima. Trotoar yang nyaman yang terbentang di seluruh penjuru kota, mendukung mobilitas dan pergerakan manusia dari transportasi umum ke tempat-tempat tujuan. Sayang, situasi serupa belum banyak ditemukan di Jakarta. Masih banyak trotoar yang tidak nyaman karena dipadati pedagang kaki lima dan tukang ojek. Kompas/Helena F Nababan

Menikmati kota tidak berarti harus mengeluarkan uang banyak. Berjalan kaki di tengah kota saat hari libur juga menyenangkan. Selain sehat, kita bisa mengamati kota saat derap aktivitasnya tak terlampau sibuk. Tentu saja, trotoar yang nyaman menjadi keharusan.

Perjalanan ke Seoul, ibu kota Korea Selatan, awal Oktober 2016, menyisakan memori kuat tentang keteraturan kota. Seoul betul-betul menampilkan diri sebagai kota metropolitan yang mampu mendukung aktivitas warganya.

Yang mencolok, begitu Kompas tiba di ibu kota ”Negeri Ginseng” itu adalah pemandangan trotoar yang lebar di hampir setiap tepi ruas jalan. Memasuki Seoul dari arah Bandara Incheon, kita melewati kawasan kampus dan perdagangan. Sejauh mata memandang, warga berjalan nyaman dan aman di trotoar.

Warga yang sudah sepuh, dengan tongkatnya, pun tetap bisa berjalan pelan tetapi pasti. Pengguna kursi roda dimudahkan saat memutar roda tanpa takut masuk lubang. Mereka yang energik dan terburu-buru bisa cepat saja berlalu.

Trotoar juga yang menghubungkan permukiman dengan kantor, sekolah, pasar, sungai, hingga halte ataupun stasiun. Berjalan kaki pun menjadi sarana transportasi utama untuk menjangkau tempat tujuan bagi siapa pun, termasuk wisatawan ataupun pengunjung yang datang seperti kami.

Dimanjakan

Sulit mendapati trotoar Seoul yang menyempit gara-gara diokupasi pedagang kaki lima atau pedagang tanaman hias seperti di Jakarta. Yang ada, warga dimanjakan dengan trotoar selebar 3 meter-4 meter di jalan umum dan trotoar yang lapang di jalan utama. Bahkan, jika diukur, trotoar di jalan utama itu bisa dilalui dua mobil yang berpapasan. Tetapi, tentu saja, itu hanya perumpamaan. Kenyataannya, trotoar di situ steril dari kendaraan bermotor.

Trotoar dibangun apik. Melewati trotoar di saat santai sembari bersenda gurau dengan teman atau keluarga menjadi sebuah kesenangan tersendiri.

Pejalan kaki dimanjakan dengan lantai semen yang rata dan tidak licin. Di beberapa lokasi, lantai trotoar dibangun dari keramik yang juga tidak licin.

Keteraturan ini tak lepas dari tata kota. Kota yang awalnya dikenal sebagai Gyeongseong, lalu berganti nama menjadi Seoul pada 1945 itu, memang tumbuh berdasarkan perencanaan.

Merujuk ke laman resmi Pemerintah Korea Selatan, Pemerintah Kota Seoul sudah memikirkan tata kota sejak lama. Bahkan, pada 1896, pemerintah setempat mengatur kembali tata kota itu.

Perencanaan itu terlihat dalam pembangunan jalan-jalan untuk mobil, jalur kereta, penataan ulang sungai dan daerah aliran sungai, pembangunan jembatan, pemetaan kawasan bisnis dan perdagangan, perencanaan pembangunan perpipaan gas, air bersih, dan air limbah, hingga permukiman.

Menikmati pemandangan kota Seoul juga tidak hanya saat berjalan di permukaan tanah. Bawah tanah juga disiapkan untuk mendukung perjalanan para pejalan kaki.

Seperti terlihat di kawasan Gwanghwamun yang dibangun pada 1966 serta di titik perempatan besar antara kawasan perdagangan Myeongdong dan Namdaemun. Terowongan bagi pejalan kaki itu menghubungkan empat jalan raya besar yang bertemu di perempatan sibuk.

Ada banyak terowongan yang mengantarkan pejalan kaki menuju stasiun bawah tanah, perkantoran, serta kawasan perdagangan. Terowongan di sana sebagian besar diapit dinding polos tanpa hiasan. Hanya ada beberapa peta petunjuk jalan yang ditulis dalam aksara setempat, yakni Hangeul.

Pejalan kaki di Seoul, Korea Selatan, Selasa (4/10) dimanjakan dengan trotoar yang lebar dan rapi, serta tidak dipenuhi pedagang kaki lima. Trotoar yang nyaman yang terbentang di seluruh penjuru kota, mendukung mobilitas dan pergerakan manusia. Sayang, situasi serupa belum banyak ditemukan di Jakarta. Masih banyak trotoar yang tidak nyaman karena dipadati pedagang kaki lima dan tukang ojek. Kompas/Helena F Nababan
Pejalan kaki di Seoul, Korea Selatan, Selasa (4/10) dimanjakan dengan trotoar yang lebar dan rapi, serta tidak dipenuhi pedagang kaki lima. Trotoar yang nyaman yang terbentang di seluruh penjuru kota, mendukung mobilitas dan pergerakan manusia. Sayang, situasi serupa belum banyak ditemukan di Jakarta. Masih banyak trotoar yang tidak nyaman karena dipadati pedagang kaki lima dan tukang ojek.
Kompas/Helena F Nababan

Ditujukan untuk semua

Jin Young (36), warga yang tinggal di Uijeongbu—sebuah kota di Provinsi Gyeonggi-do yang terletak di selatan Seoul—mengatakan, trotoar itu memudahkan mobilisasi warga.

”Saya setiap hari melaju naik kereta dari rumah di Uijeongbu menuju Seoul. Karena mengejar waktu, saya sering jalan cepat-cepat menuju kantor dari stasiun,” ujar Jin Young.

Bagi freelancer macam Jin Young, kantor yang ia tuju berbeda-beda lokasi. Namun, umumnya tempat itu dekat dengan stasiun kereta api bawah tanah. ”Jadi, begitu keluar dari terowongan, saya bisa langsung bergegas tanpa takut menyenggol atau tersandung sesuatu di trotoar,” ujarnya.

Wisatawan pun bisa menikmati kenyamanan yang disebutkan Jin Young. Berjalan kaki dari hotel di kawasan Myeongdong menuju stasiun bawah tanah terdekat sungguh nyaman. Trotoar selebar 3 meter-4 meter bebas dari PKL, membuat pergerakan kaki leluasa tanpa khawatir bersenggolan dengan pejalan kaki dari arah yang berlawanan.

Tiba di Stasiun Seoul, kita bisa melangkahkan kaki menuju pusat perbelanjaan. Stasiun ini juga dekat dengan beragam pusat perdagangan dan bisnis.

Trotoar yang menghubungkan pusat perbelanjaan juga dinaungi pohon peneduh. Jika kaki sudah lelah, beberapa tempat duduk disediakan di ruang publik. Sambil beristirahat, kita bisa menikmati aneka kudapan khas Seoul dan melihat kota yang teratur itu.

Pantas saja wisatawan yang ditemui di Seoul memilih jalan kaki dan menggunakan transportasi umum untuk berkelana.

Jakarta

Di Jakarta, trotoar yang nyaman hanya ada di beberapa tempat seperti seputar Monumen Nasional, Medan Merdeka, Jalan MH Thamrin, dan sebagian Jalan Sudirman.

Berjalan kaki di sekitar lokasi itu saat hari libur, sambil menikmati pemandangan sekitar, bisa menjadi salah satu hiburan. Dengan berjalan kaki, kita bisa menjangkau kawasan Monumen Nasional, Museum Nasional, ataupun pusat perbelanjaan modern pertama di Indonesia, yakni Sarinah.

Umumnya, trotoar di kawasan itu berdekatan dengan halte bus transjakarta dan ada juga yang dekat dengan stasiun kereta listrik.

Beberapa tahun terakhir, di sejumlah titik juga disediakan kursi untuk umum. Sayangnya, dengan volume kendaraan yang masih tinggi, menikmati kota Jakarta di tepi jalan masih berbaur dengan polusi dari knalpot kendaraan.

Masih banyak juga kawasan menarik di Jakarta yang belum memiliki trotoar yang memadai. Pusat garmen Tanah Abang, misalnya, belum memiliki akses yang nyaman bagi pejalan kaki.

Begitu keluar dari Stasiun Tanah Abang, tukang-tukang ojek dan PKL sudah terlihat memenuhi trotoar.

Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta Yusmada Faisal mengatakan, panjang seluruh trotoar di Jakarta mencapai 2.600 kilometer. Namun, trotoar yang nyaman untuk pejalan kaki belum ada 10 persen.

Sementara untuk trotoar di area lainnya bisa dikatakan belum nyaman, antara lain karena ada pohon ataupun tiang di tengahnya. Upaya perbaikan trotoar digarap mulai pertengahan tahun ini, termasuk di Tanah Abang.

Terampasnya hak pejalan kaki serta alih fungsi trotoar, menurut pengamat tata kota Nirwono Joga, tidak lepas dari pekerjaan rumah yang sudah lama tidak dikerjakan.

Dengan kekayaan obyek wisata di Jakarta, akses bagi pejalan kaki untuk menikmati kota juga mesti diperhatikan.

HELENA F NABABAN


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 November 2016, di halaman 28 dengan judul ”PERJALANAN Trotoar Kota yang Memanjakan”