Mungkin hanya di Labuan Bajo kehangatan daratan bertemu dengan kesejukan lautan. Kepurbaan terhubung dengan modernitas. Perjumpaan suatu suku dengan masyarakat benua lain. Sungguh, 24 jam di Labuan Bajo adalah cerita yang tak pernah usai dinikmati dan ditulis….

Menggunakan rute penerbangan langsung Jakarta-Labuan Bajo yang kali pertama diluncurkan oleh maskapai Garuda Indonesia, Anda dapat menginjakkan kaki di Bandara Komodo, Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Hanya dibutuhkan 2 jam lebih untuk sampai ke pulau yang jaraknya hampir 2.000 kilometer dari Ibu Kota itu.

Gambar dinding (wallpaper) dan patung hewan purba komodo (Varanus komodoensis) ukuran raksasa menyambut siapa pun yang tiba di bandara itu. Wisatawan Nusantara dan mancanegara datang silih berganti di bandara kecil itu. Di luar bandara, penjelajahan dimulai.

Rabu (26/10)

Pukul 14.00

Memastikan hotel atau penginapan adalah cara mengawali petualangan di Labuan Bajo. Sebab, sebagai salah satu dari 10 tujuan wisata unggulan, Labuan Bajo terus diserbu wisatawan. Kamar hotel yang kosong pun bisa jadi barang langka. Padahal, dari catatan Badan Pusat Statistik Manggarai Barat pada 2015, sekitar 60 hotel dengan 1.540 kamar tersedia di Labuan Bajo, atau hampir dua kali lipat dibandingkan pada 2011.

Seperti pertengahan Oktober lalu, semua hotel penuh. Apalagi, hotel yang dihiasi pantai di bagian belakang. Di sana, beberapa turis tertidur pulas di atas kursi rotan, membakar kulitnya dengan terik mentari. Untunglah, masih ada tiga kamar kosong di sebuah hotel berpantai untuk semalam. Untuk ke hotel, tersedia jasa angkutan dari bandara. Jarak hotel dan bandara yang tidak begitu jauh juga bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Pukul 15.00

Pusat keramaian Labuan Bajo ada di Jalan Soekarno-Hatta, dekat dengan pelabuhan. Deretan kafe ala Eropa, seperti Italia, tersaji di sana, berdampingan dengan tempat jasa pemandu wisata, termasuk penyewaan kapal serta alat menyelam dan snorkeling. Semuanya berada tepat di kedua sisi jalan yang belum dipenuhi trotoar.

Terdengar bahasa Inggris dari warga setempat saat menyapa dan melayani pengunjung kafe. Padahal, kebanyakan dari karyawan adalah lulusan sekolah menengah atas yang belajar bahasa Inggris dari percakapan harian.

Kafe yang buka hingga tengah malam itu terlihat bergaya Eropa dari menunya, seperti spageti dan nama-nama asing lainnya. Pengunjungnya pun para turis asal Spanyol, Italia, dan Australia. Memang, Labuan Bajo, ibu kota Manggarai Barat yang masuk dalam Pulau Flores, punya keterkaitan sejarah dengan bangsa Portugis pada abad ke-16 sampai 17. Nama Pulau Flores, misalnya, berasal dari bahasa Portugis, ”Copa de Flores” yang berarti Tanjung Bunga.

Mengobrol ditemani secangkir kopi dan rintik hujan sore itu sungguh leisure (waktu luang) yang baik. Setelah itu, mari ke Plataran Resort, mengucap ”sampai jumpa esok” kepada matahari.

Kamis (27/10)

Pukul 08.00

Bangun pagi, isi tenaga dengan sarapan yang banyak. Selain untuk persiapan menjelajah pulau-pulau sekitar Labuan Bajo, sarapan itu juga jadi salam perpisahan kepada hotel yang telah dipesan penuh.

Setelah lebih dari sejam naik kapal cepat yang dinakhodai Andi, warga asli Jember, Jawa Timur, dari Pelabuhan Labuan Bajo, kaki ini akhirnya menginjak Pulau Padar. Biaya kapal cepat untuk sehari sekitar Rp 8 juta, tetapi bisa berubah sesuai kunjungan wisatawan. ”Dalam seminggu, bisa sampai lima kali mengantar. Di sini penghasilannya bisa dua kali lipat dari Bali,” ujar Andi yang baru dua bulan di Labuan Bajo.

Wisatawan mendaki di Pulau Padar, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, akhir Oktober lalu.   Kompas/Abdullah Fikri Ashri
Wisatawan mendaki di Pulau Padar, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, akhir Oktober lalu.
Kompas/Abdullah Fikri Ashri

Dari puncak Pulau Padar, panorama tiga lekukan besar di kedua sisi tebing di Pulau Padar, baik yang menghadap Pulau Komodo maupun Pulau Rinca, terlihat seperti tiga teluk (loh) melingkar. Biru laut dan pasir putih terasa pas dengan biru langit yang diselingi awan. Jangankan swafoto, foto untuk pranikah saja dilakukan di pulau tak berpenghuni itu.

Namun, pengunjung harus mendaki hingga 500 meter dengan tingkat kemiringan di sejumlah titik yang mencapai 45 derajat di pulau gersang itu. ”Capek, sih. Tapi terbayar, kok, dengan keindahan alamnya. Rasa takut saya terhadap ketinggian hilang,” ujar Sasi Gunawan (46), wisatawan asal Jakarta.

Nama Padar diambil dari bahasa Bajo, yakni panjang melintang, sesuai bentuknya. Pulau seluas 2.000 hektar ini juga menjadi tempat tinggal beberapa ekor komodo. Warga setempat menyebut pulau itu dengan Li Tok. ”Li” berarti sepi dan ”Tok” diambil dari suara patuk burung. Nelayan asal Bajo, Sulawesi, dahulu menjadikan pulau itu sebagai tempat singgah sejenak.

 

Pukul 12.00

Selanjutnya, 30 menit dari Pulau Padar, terdapat Pulau Namong yang khas dengan pantai merah jambu. Tidak ada manusia di sana. Namun, peninggalan manusia, yakni sampah plastik, mudah ditemui. Keindahannya pun terlupakan.

Petualangan lalu sampai ke Loh Liang atau Pulau Komodo, habitat sekitar 1.336 komodo. Bahkan, diperkirakan ada 3.000 komodo di pulau yang diperkirakan terbentuk pada zaman Jurassic, 130 juta tahun lalu.

Di sana, hewan yang disebut turis sebagai dragon dapat dijumpai di daerah kubangan dan kolong rumah dapur kantor Taman Nasional Komodo. Burung gagak berkeliaran. Pepohonan kehilangan daun. Rasa takut muncul. Namun, takjub lebih besar saat memandangi komodo, hewan yang di dunia hanya ada di Taman Nasional Komodo.

Sejak Januari hingga September saja, Balai Taman Nasional Komodo mencatat 80.532 wisatawan berkunjung melihat komodo. Sebanyak 70 persen dari jumlah itu adalah wisatawan asing. Tidak mengherankan, komodo telah menyumbang Rp 19 miliar untuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Namun, jangan gegabah untuk mendekatinya sebab tersentuh liur komodo saja bisa fatal. Para pemandu

Pemandangan Pulau Namong yang juga dikenal dengan pantai merah jambu di Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, akhir Oktober lalu. Kompas/Abdullah Fikri Ashri
Pemandangan Pulau Namong yang juga dikenal dengan pantai merah jambu di Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, akhir Oktober lalu.
Kompas/Abdullah Fikri Ashri

(ranger) bakal mendampingi pengunjung menapaki lorong kepurbaan, termasuk untuk foto bareng komodo. Rusa dan babi hutan juga hidup di sana, menjadi makanan komodo. Kala malam tiba, komodo tidak beraktivitas.

Sekitar 1.700-an warga yang dapat hidup berdampingan dengan komodo menjadi jawaban tetap lestarinya pulau itu. Apalagi, legenda anak kembar Gerong dan Ora yang dilisankan turun- temurun membuat warga selaras dengan komodo. Konon, Ora menjelma menjadi komodo dan ditinggal oleh orangtuanya di hutan. Gerong tinggal di permukiman dan bertugas menjaga Ora.

Itulah sebabnya warga memanggil komodo dengan sebutan sebae yang berarti saudara. ”Tadi, ada komodo. Saya bilang, sebae, cari makan di sana. Komodo langsung pergi,” ujar Abu Taher (48), warga Pulau Komodo.

Pukul 20.00

Untuk melepas lelah penjelajahan sehari, pusat kuliner laut di Kampung Ujung adalah pilihan tepat. Puluhan warung berjejer di sana, tepat bersebelahan dengan kapal nelayan dan perahu pemandu wisata. Ikan kerapu, ikan ekor kuning, cumi, dan udang tersaji dengan segar di sana. Pedagang kain khas Manggarai Barat dengan sahaja menawarkan produknya.

Jumat (28/10)

Pukul 15.00

Berjarak lebih dari 1,5 jam menggunakan perahu cepat dari Labuan Bajo terdapat Pulau Rinca. Pulau dengan penduduk 1.612 orang ini juga hidup dengan komodo meski dibatasi pagar. Komodo di Rinca diketahui lebih agresif.

Sama halnya dengan pulau lainnya, karang dan rumput laut di sana masih jelas terlihat dari permukaan laut. Perahu kecil nelayan terparkir di pantai. Jika meminta air dingin kepada warga di terik siang, Anda sulit mendapatkannya. Listrik di Pulau Rinca hanya ada pukul 18.00 hingga 24.00 setiap hari. Asalnya, dari genset dengan biaya per hari Rp 8.000. Begitu pun dengan Pulau Komodo. Meski demikian, senyuman khas warga setempat dapat menghilangkan dahaga.

Perahu nelayan terparkir di tepi Pulau Rinca, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, akhir Oktober lalu.    Kompas/Abdullah Fikri Ashri
Perahu nelayan terparkir di tepi Pulau Rinca, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, akhir Oktober lalu.
Kompas/Abdullah Fikri Ashri

Pukul 18.00

Malam terakhir di Labuan Bajo, kami lewatkan di tempat karaoke yang disulap menjadi penginapan akibat penuhnya okupansi hotel. Bonie Reza, pemilik penginapan di Desa Gorontalo, mengaku merugi Rp 4 juta karena meliburkan karaokenya. ”Kami sudah biasa dengan pendatang. Nama desa ini Gorontalo (provinsi di Pulau Sulawesi) sebab dahulu nelayan Gorontalo bermukim di sini,” ujar Bonie.

Labuan Bajo memang menjadi tempat bagi siapa saja. Ratusan tahun lalu, nelayan Bajo asal Sulawesi Selatan mendiami laut di bagian barat Pulau Flores itu. Warga pribumi dari daratan pun berinteraksi dan menyatu dengan suku Bajo. Itulah sebabnya Labuan Bajo berasal dari kata Labuan (daratan) dan Bajo (suku Bajo yang juga pelaut).

Malam telah usai, berganti subuh. Namun, cerita tentang Labuan Bajo belum selesai. Semoga ada kesempatan menjumpainya lagi….

ABDULLAH FIKRI ASHRI


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 November 2016, di halaman 30 dengan judul ”Labuan Bajo”