Ny Hajjah Mut, pemilik dan pendiri warung Sambal Setan di Jl Penjernihan, kawasan Nendungan Hilir, Jakarta Pusat Kompas/Soelastri Soekirno

Bagaimana setan bisa digunakan sebagai nama sambal? Ini cerita versi Mutiah, pemilik Warung Khas Cirebon Sambel Setan Hajjah Mut.

Mutiah bercerita, dulu ada seorang turis asal Amerika Serikat yang makan sambal di warungnya. ”Karena kepedasan, wajahnya mengeluarkan banyak keringat, ingus, dan ludah. Dia kemudian berteriak, ’Pedes sekali. Saya jadi kayak setan.’ Sejak saat itu, warung saya dikasih nama warung sambal setan,” tutur Mutiah yang biasa disapa Hajjah Mut.

Perempuan asal Cirebon, Jawa Barat, ini bersama suaminya, almarhum Junaedi yang orang Betawi, sudah puluhan tahun menghuni Rumah Susun II Benhil di Jalan Penjernihan, Jakarta Pusat. Tahun 2005, ia memulai usaha warung nasi dengan menu sambal yang rasanya pedas sekali.

Sambal racikannya ternyata laris manis, bahkan warga negara asing yang pernah tinggal di Rusun II Benhil tertarik mencobanya. Sambal setan itu disantap dengan aneka lauk goreng, seperti ayam, ikan, dan tahu-tempe serta lalap kangkung, petai, serta jengkol.

Mutiah tidak pernah menghitung berapa banyak cabai yang dia gunakan untuk membuat sambal yang rasa pedasnya cetaaarrr bak bunyi halilintar. ”Pokoknya secukupnya cobek saja,” ujar Mutiah sambil memperlihatkan cobek besar dengan diameter sekitar setengah meter.

Mutiah mengatakan, dirinya termasuk orang pertama yang menggunakan nama setan untuk sambalnya. Setelah itu, banyak warung makan lain yang ikut menggunakan nama sambal setan. Mengapa tidak dipatenkan? ”Ah biar saja. Kalau sudah suka sambal setan buatan saya, pelanggan pasti kembali, kok,” katanya.

Cap orang botak

Dari tahun ke tahun, warung sambal setan muncul dan ”bergentayangan” di mana-mana. Di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan, saja, setidaknya ada empat warung sambal setan, yakni 2 di pinggir Jalan Ki Hajar Dewantara, 1 di perempatan Gaplek, dan 1 lagi di kawasan Jombang.

Semua buka hingga larut malam dengan menu yang nyaris seragam: ayam goreng, ikan goreng, tahu-tempe goreng, aneka sayur, dan tentu saja sambal setan.

Sambel Setan
Sambel Setan

Angga Coleman, salah seorang pebisnis kuliner, juga memanfaatkan ”setan” sebagai menu sambalnya. Tahun 2015, ia membuka warung Sambel Setan Ayam Bawang Pete Cap Orang Botak di kompleks Graha Raya, Paku Jaya, Serpong Utara, Tangerang Selatan. Ia menggunakan istilah Cap Orang Botak karena dirinya juga berkepala botak.

Angga mengisahkan, untuk membuat rasa sambal yang enak dan pedas, dia membutuhkan waktu dua minggu untuk mencoba-coba. Setiap hari, dia menghabiskan 2 kilogram cabai rawit. ”Saya trial and error, termasuk untuk membuat ayam yang empuk tanpa harus dipresto,” kata Angga.

Eksperimennya berhasil. Warung milik Angga menarik banyak peminat. Dia mesti menyediakan setidaknya 100 porsi sambal setan setiap hari.

Bikin ”mampus”

Sartono, pemilik Resto Abang Adek, tidak menggunakan istilah setan untuk menggarisbawahi pedasnya aneka mi yang ia tawarkan kepada pembeli. Ia memilih istilah pedas mampus, pedas gila, dan pedas garuk.

Laki-laki asal Kebumen itu menceritakan, ia membuka warung mi sejak 2002. Awalnya, ia hanya menjual indomie rebus/goreng dengan taburan cabai maksimal lima biji. Suatu hari ada seorang artis makan di sini.

”Dia usul agar saya bikin indomie dengan cabai rawit 100 (per porsi), biar mampus yang ngerasain,” cerita Sartono.

Ia menyambar usulan sang artis. Ia pun membuat mi dengan level pedas sampai mampus. Ternyata mi super pedas yang dibanderol mulai Rp 12.000 itu laku keras. Kini, Resto Abang Adek yang buka pukul 07.00 hingga 02.00 itu menjadi tempat nongkrong anak-anak muda. Mereka adalah para penyantap mi yang pedasnya bikin mampus.

TRI/GER


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 November 2016, di halaman 26 dengan judul ”WARUNG: Ketika ”Setan” Jadi Nama Sambal”