Pementasan opera balet Raise The Red Lantern dari Tiongkok di Ciputra Artpreneur, Jakarta, Rabu (2/11). Kompas/Riza Fathoni

Indonesian Dance Festival 2016 mempertemukan tubuh Barat dan spirit Timur dalam balutan tema ”Tubuh Sonik”. Para penari dari Belanda, Inggris, Korea Selatan, dan Indonesia berkolaborasi menyatukan tubuh-tubuh berbeda latar kultur. Beragam kejutan pun tersaji di panggung pertunjukan, 1-5 November 2016.

Park Je-chun dari Korea Selatan mengentak panggung Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, dengan pertunjukan memukau pada Kamis (3/11) malam. Mengambil tema ”Do You Want Me?” panggung dibuka dengan kehadiran tujuh penari yang berdiri mematung. Empat penari dari Indonesia dan tiga lainnya dari Korea Selatan larut dalam suasana beku yang tak berlangsung lama.

Tabuhan drum Park Je-chun yang dikombinasikan dengan instrumen-instrumen perkusi tradisional Korea seolah memberikan nyawa yang menggerakkan setiap penari. Gerakan yang awalnya pelan bisa berubah menjadi riuh, ritmis, kemudian akrobatik. Mereka menampilkan improvisasi gerakan tanpa standar ataupun formasi tertentu. Tubuh-tubuh dengan beragam latar belakang keahlian tari itu bergerak tanpa kenal lelah.

Pada babak berikutnya, satu per satu penari mempertontonkan gerakan yang dikreasikan seturut irama musik yang diciptakan Park Je-chun. Karya ini pun kemudian dibagi menjadi tujuh bagian yang setiap babak diisi oleh setiap penari. Mereka menari sesuka hati dengan gerakan lincah hingga bergelimpangan dan berguling-guling di lantai.

Di Korea Selatan, Park Je-chun yang adalah Komisaris Jenderal Jeonju International Sori Festival populer sebagai pemain perkusi dan terkenal dengan kolaborasinya bersama pianis Miyeon. Ia juga dikenal karena kekhasannya mengombinasikan musik tradisional Korea dengan improvisasi musik Barat serta jazz. Dalam balutan musik Park Je-chun, sulit membedakan mana penari Korea dan mana penari Indonesia. Seluruhnya larut dalam bahasa tubuh.

Penari dari Korea terdiri dari Kang Yo Sub, Kim Hye Ji, dan Lee Na Hyun sedangkan penari dari Indonesia adalah Hari Ghulur, Fadila Oziana, Try Anggara, dan Josh Marcy. Setiap penari memakai insting masing-masing untuk merespons tabuhan drum hingga bunyi perkusi. Interaksi terjadi antara permainan drum Park Je-chun dengan tarian dari ketujuh penari, juga interaksi antarpenari.

Pementasan Indonesia Dance Festival (IDF) 2016 oleh Darlene Litaay dan Tian Rotteveel di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM), Kamis (3/11). Kompas/Riza Fathoni
Pementasan Indonesia Dance Festival (IDF) 2016 oleh Darlene Litaay dan Tian Rotteveel di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM), Kamis (3/11).
Kompas/Riza Fathoni

Kejutan Barat

Pertunjukan IDF pada hari yang sama juga menampilkan kolaborasi Darlane Litaay dari Papua dan Tian Rotteveel (Belanda-Inggris). Mengusung judul pertunjukan ”Specific Places Need Specific Dances” dua anak muda ini memberikan kejutan tak terduga ketika memilih tampil memakai koteka di panggung Teater Kecil, TIM.

Darlane dan Tian awalnya hanya tampak mondar-mandir di atas panggung. Sama-sama memakai kaus berpadu dengan celana panjang dan sepatu olahraga, mereka sibuk memutar-mutar televisi yang sengaja diletakkan di tengah panggung. Layar televisi itu diputar menghadap penonton yang duduk di panggung lalu ke penonton yang duduk di kursi tamu, demikian bolak-balik.

Televisi itu, antara lain, menayangkan perjalanan sepasang penari ini ketika tampil di banyak negara, termasuk ketika mereka manggung di tanah Papua. Ketidakteraturan gerakan mereka yang seolah ingin membaur dengan penonton, seperti duduk di kursi penonton atau ikut mengatur tempat duduk penonton, berakhir ketika mereka mulai sibuk memainkan musik di telepon seluler masing-masing.

Berbekal telepon seluler masing-masing itu pula, beragam musik diputar. Mereka mencoba menerjemahkan setiap musik ke gerakan tubuh yang terkesan asal-asalan. Darlane, misalnya, sibuk menirukan gerakan balet yang jauh dari keindahan balet seperti yang sering kita tonton di panggung pertunjukan balet.

Gerakan monoton, perbincangan tanpa ujung dalam bahasa Inggris, serta musik tanpa speaker dari telepon seluler butut membuat penonton bertanya-tanya ke arah mana pertunjukan tersebut akan dibawa. Karya ”Specific Places Need Specific Dances” ini memang berangkat dari praktik menunggu. Menunggu yang selalu berbuah kebosanan itulah yang kemudian diolah menjadi tontonan.

Dapatkah menunggu menjadi sebuah karya seni? Pertanyaan ini yang menjadi titik berangkat karya berdurasi 55 menit. Darlane dan Tian saling mengundang satu sama lain untuk masuk ke dalam kebiasaan sehari-hari. Di sana keduanya mengeksplorasi aktivitas menunggu di kota tempat tinggal masing-masing: pagi-pagi buta di tempat-tempat yang dipilih secara acak, tengah malam di klub, tengah hari di studio, hingga terhubung dalam jaringan di internet.

Eksplorasi pengalaman menunggu inilah yang kemudian dibawa ke ruang teater. Darlane, yang bekerja sebagai pengajar tari di Departemen Tari, Institut Seni Budaya Indonesia Tanah Papua, mampu melebur bersama Tian yang berkarya di ranah musikal serta koreografi yang karya koreografinya pernah dipresentasikan di Chocolate Factory NYC, Frascati Theatre Amsterdam, Hetveem Theater Amsterdam, HAU Theatre Berlin, Antistatic Festival Sofia, Stary Browar Poznan, dan banyak tempat lain di Eropa.

Karya ini secara bebas dan liar memadukan budaya Timur dan Barat, seni-tinggi dan pop art, serta musik elektronik dan musik etnik. Sesuai keyakinan Tian, pentas ini membuktikan bahwa praktik gerak, suara, dan kecepatan merupakan praktik yang saling jalin-kelindan. Suara dan gerak tidak hanya membentuk makna tertentu, tetapi juga menghasilkan sensasi tertentu.

”Kami melakukan ini untuk kami sendiri,” kata Darlane dalam surat panjang yang dibacakan pada akhir pementasan.

MAWAR KUSUMA


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 06 November 2016, di halaman 21 dengan judul ”TARI: Tubuh Barat Spirit Timur”