Mendengar nama Kotagede, kebanyakan orang akan teringat dengan kerajinan peraknya. Namun, sebenarnya, Kotagede bukan cuma perak. Ada banyak jejak kerajinan lainnya yang mengakar sejak ratusan tahun lalu. Sebagian masih bertahan, tetapi lebih banyak yang tinggal cerita. Lebih penting dari itu, Kotagede adalah cikal-bakal Mataram yang hampir terlupakan….
Ada yang menyebut Kotagede sebagai ”The Lost Trail of Mataram”. Ini barangkali semacam rasa gemas mengingat maju dan pentingnya Kotagede di masa lalu, namun kini Kotagede hanya tinggal sebuah kecamatan di pojokan Kota Yogyakarta. Pada masa Sultan Agung, pusat pemerintahan dipindahkan dari Kotagede ke Kerto, Pleret, Bantul.
Ada beberapa peninggalan penting yang tidak boleh terlewat untuk diamati jika ingin mengetahui gambaran Kotagede di masa lalu, antara lain pasar, masjid, kompleks makam, kedhaton, reruntuhan benteng, kampung- kampung perajin, dan tentu saja rumah-rumah warga.
Kita mulai perjalanan dengan mengunjungi Pasar Kotagede. Saya ditemani Pak Nashir, tokoh masyarakat setempat yang juga sering menemani tamu-tamu yang ingin blusukan ke Kotagede, di antaranya dari museum-museum di Belanda.
Sebelum sampai pasar, kami melewati perempatan Jalan Mondorakan dan Jalan Waktu Gilang. Di salah satu sudutnya terdapat Monumen Ngejaman Pakubuwono X, yakni tugu yang dilengkapi jam penunjuk waktu. Tugu ini hampir tidak dirasakan kehadirannya karena posturnya yang tidak terlalu tinggi, dan saat ini menempel pada dinding rumah. Tugu ini merupakan hadiah pada masa PB X dari Keraton Kasunanan Surakarta. Bagian atas tugu berupa mahkota, hilang dicuri orang….
Di dekat pasar juga terdapat Pacak Suji atau Monumen Jumenengan Hamengku Buwono IX yang didirikan saat Sri Sultan HB IX naik takhta tahun 1940. Peninggalan dari Keraton Kasunanan Surakarta dan Keraton Kasultanan Yogyakarta adalah jejak perpecahan Mataram yang dimulai dari Perjanjian Giyanti tahun 1755.
Seperti pasar tradisional lainnya, pasar yang juga disebut Pasar Legi Kotagede ini menawarkan berbagai kebutuhan sehari-hari rumah tangga. Mulai dari bahan pokok, sayuran, buah-buahan, hingga kue-kue yang menggoda selera. Juga terdapat perabot dapur berbahan anyaman bambu. Pasar ini dulu hari pasarannya adalah setiap Legi dengan komoditas ayam, bebek, dan burung yang didatangi pedagang dari luar kota hingga Madiun dan Malang.
Kotagede dahulu menganut tata ruang Jawa, yakni Catur Gatra Tunggal. Terdapat pasar sebagai pusat ekonomi, alun-alun sebagai simbol hubungan dengan rakyat, masjid sebagai simbol hubungan dengan Tuhan, dan keraton sebagai pusat pemerintahan.
Dari Kotagede, kami melanjutkan perjalanan menuju situs Keraton Mataram dengan melewati jalan atau gang-gang sempit yang diapit rumah-rumah warga. Suasananya sangat khas dan mengasyikkan. Sambil berjalan, kita bisa memperhatikan arsitektur rumah-rumah di sana. Semuanya bisa dicapai dengan berjalan kaki.
Menurut Nashir, bangunan- bangunan di Kotagede dicirikan dari asal periodenya, yakni Jawa-Hindu, Jawa-Islam, dan Jawa-Kolonial. Bangunan berasal dari masa Jawa-Hindu ditandai dengan munculnya ornamen bunga, teratai, dan sulur-suluran seperti tampak pada gapura di kompleks makam. Ketika Islam masuk, ornamen lotus berubah menjadi kaligrafi Arab bertuliskan Allah dan Muhammad.
Ketika masa kolonial, ornamen bunga lotus berubah menjadi mahkota. Ini tampak pada motif ukiran kayu yang ada di rumah- rumah warga selain gaya arsitektur rumah-rumah para saudagar kaya.
”Hal menarik lainnya adalah pasca gempa 2006. Banyak rumah lama yang runtuh dibangun lagi apa adanya, sesuai kondisi ekonomi masing-masing sehingga bentuk bangunan menjadi tidak jelas lagi,” kata Nashir.
Arsitektur
Salah satu rumah asli seperti milik keluarga Joko Nugroho (53) yang berada di antara dua pintu gerbang ”between two gates” yang bertuliskan ”Atmosoeprobo 1840” di bagian atas gerbang. Rumah yang dibangun pada tahun 1830 itu, tata ruangnya seperti rumah Jawa, yakni terdiri dari ndalem (bagian tengah), gandok di sisi kanan dan kiri, serta gadri (dapur). Teras atau pringgitan di depan rumah menghadap pendopo yang dipisahkan jalan sempit tempat lalu lalang orang.
”Rumah induk dan pendopo biasanya berbentuk joglo, limasan, atau rumah kampung biasa dengan atap dari sirap,” kata Joko.
Kampungnya, menurut Joko, dulunya adalah kampung batik sebelum batik di kampung itu mati dengan kemunculan kain printing batik. Daerahnya dulu juga merupakan alun-alun sehingga disebut Kampung Alun-alun.
Berdasarkan toponimi, kampung-kampung di Kotagede diberi nama berdasarkan profil warganya. Misalnya, Kampung Sayangan, dulunya adalah kampung para perajin tembaga. ”Sayang” dalam bahasa Jawa artinya tembaga. Kampung Samakan dulu tempat tinggal para perajin kulit. Kampung Pandean merupakan tempat tinggal para perajin besi, dan Kampung Krintenan adalah wilayah mukim para perajin emas, perak, dan berlian. Sementara Gang Ngerikan dulunya dihuni para perajin batik bagian mengerok lilin batik.
Kami lalu tiba di situs Keraton Mataram dan disambut abdi dalem yang bertugas sebagai juru kunci. Di dalam bangunan yang tidak terlalu besar itu terdapat batu gilang yang pernah digunakan sebagai singgasana Panembahan Senopati untuk istirahat. Panembahan Senopati adalah pendiri Kerajaan Mataram. Selain itu terdapat batu gatheng yang dipakai Raden Ronggo atau putra Panembahan Senopati untuk bermain lempar batu atau gatheng. Terdapat pula batu gentong tempat air wudu yang dipakai oleh Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Giring yang merupakan penasihat Panembahan Senopati.
Dari situ, menuju masjid, kita akan disambut pintu gerbang yang berbentuk seperti candi dari masa klasik. Di kanan kiri dipenuhi rumah. ”Di sebelah kiri rumah-rumah abdi dalem dari Yogya, di sebelah kanan abdi dalem dari Solo,” ungkap Nashir.
Kompleks makam dan masjid sebagian berada di wilayah Banguntapan, Bantul, sebagian lagi masuk Kotagede. Masjid yang disebut Masjid Gede Mataram ini dibangun atas perintah Panembahan Senopati dan selesai dibangun pada tahun 1589, tetapi pernah terbakar pada tahun 1919.
Di bagian belakang masjid terdapat makam para peletak dasar Kerajaan Mataram Islam, antara lain Panembahan Senopati, Ki Gede Pemanahan, dan Panembahan Hanyakrawati ditambah makam Sultan HB II dan Pangeran Adipati Pakualaman I serta keluarga raja lainnya.
Matahari terasa semakin menyengat. Itu tandanya kami harus menyudahi dulu perjalanan kali ini. Rasanya waktu sehari tidak cukup untuk mengeksplorasi Kotagede guna menyusuri semua jejak kejayaannya di masa lampau.
Sri Rejeki
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 06 November 2016, di halaman 29 dengan judul ”Jejak Kejayaan Kotagede”