Kampung adat Wae Rebo di Desa Satarlenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, Minggu (12/6). Meski semakin dikenal sebagai salah satu destinasi wisata internasional, warga adat Wae Rebo masih mempertahankan tradisi dan kearifan leluhur mereka. Kompas/Raditya Helabumi

Wae Rebo seperti negeri berpagar gunung. Tersembunyi di balik keramaian dunia. Di pagi hari, kampung ini tampak seperti negeri dongeng berselimut kabut. Di malam hari, gugusan bintang galaksi Bimasakti terlihat saat langit tak berawan. Dengan kearifan lokalnya, warga Wae Rebo bisa berjalan beriringan dengan laju pariwisata.

Wae Rebo adalah kampung adat satu-satunya yang tersisa di Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Kampung ini mempunyai tujuh rumah adat atau mbaru niang yang masih ditinggali oleh warganya. Untuk menuju kampung ini, pengunjung harus berkendara delapan jam dari Labuan Bajo dan mendaki gunung sejauh 4 kilometer menembus hutan alam.

Sebanyak 33 keluarga turuntemurun hidup di kampung kecil itu dan tinggal di mbaru niang yang dibangun kakek buyut mereka. Konon leluhur mereka berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Kepala kerbau dalam rumah adat adalah salah satu penandanya.

Martinus Anggo (46), salah satu tokoh warga Wae Rebo, mengatakan, tak pernah tahu kapan pastinya leluhur mereka tinggal di tempat itu. Ia hanya tahu dirinya adalah generasi ke-19 dari nenek moyangnya. Kampung itu bisa bertahan karena ada warga yang memilih hidup di sana meski terpencil. Warga berpegang teguh pada pesan leluhur yang meminta mereka tinggal di sana.

Seperti halnya perkampungan adat lain yang tergerus perubahan, pada 2007 perkampungan ini hampir saja runtuh. Mbaru niang ambruk karena termakan usia. Beberapa anak muda memilih mengadu nasib di kota. Sementara penerus Wae Rebo yang tersisa tak mampu membangun kembali mbaru niang karena biayanya tinggi.

Akhirnya, mbaru niang bisa berdiri lagi setelah dibantu oleh banyak tangan. Bersama dengan sejumlah pihak, termasuk arsitek Yori Antar, warga mendirikan lagi rumah adat yang hampir roboh.

Titik balik

Revitalisasi mbaru niang membuahkan penghargaan UNESCO pada 2012. Sejak itu, Wae Rebo masuk dalam peta wisata dunia. Juni lalu, saat liburan musim panas di belahan bumi utara tiba, Wae Rebo banjir wisatawan. Secara bergantian warga turun gunung membawa hasil bumi untuk dijual di pasar dan pulang untuk kulakan beras dan berkotak-kotak telur ayam untuk keperluan memasak hidangan bagi wisatawan.

Termasyhurnya Wae Rebo mengubah hidup dan nasib warganya. Dahulu, warga Wae Rebo hidup terbelakang. Mereka hanya makan apa yang mereka dapatkan dari kebun dan hutan. Kini kemampuan ekonomi mereka bertambah, dari Rp 600.000 menjadi Rp 3 juta setahun. Sejumlah anak muda kini fasih berbahasa asing dan banyak yang menimba ilmu di perguruan tinggi.

Kopi hutan Wae Rebo pun naik daun. Biji kopi yang dahulu hanya dihargai Rp 25.000 per kilogram di pasar, kini menjadi Rp 48.000-Rp 50.000 per kg. Eksotisme Wae Rebo menarik para pemilik kedai kopi dari Jakarta untuk datang ke kampung itu.

Meski membawa perbaikan ekonomi, perubahan yang begitu cepat membuat sesepuh Wae Rebo khawatir. Harga kopi Wae Rebo yang melambung, misalnya, tak akan lagi bisa dijangkau warga desa sekitar.

Perbedaan latar belakang sosial antara warga dan wisatawan pun rawan jadi persoalan. ”Saya sering ditegur sesepuh karena ada saja wisatawan berbaju terlalu terbuka. Sebenarnya saya sudah berpesan agar memakai baju kaus, tetapi kadang baju kaus mereka tertutup di depan, bolong di belakang,” cerita Martinus.

Para sesepuh Wae Rebo

pun memberikan batasan dan aturan. Di Wae Rebo, anak-anak tidak dibiasakan menerima pemberian dari tamu. Jika ada hadiah, sesepuh yang akan membagikannya agar nanti tak timbul sifat meminta kepada tamu.

Segala sesuatu pun dibicarakan secara kekeluargaan. Juni lalu, misalnya, seusai menjamu tamu, para sesepuh desa mengadakan pertemuan mendadak untuk membahas Kartu Indonesia Pintar yang baru sampai ke kampung mereka. Tidak semua anak usia sekolah mendapatkan kartu tersebut. Agar tidak menimbulkan masalah, akhirnya sesepuh memutuskan untuk bertanya ke perangkat desa tentang nasib anak yang tak mendapat kartu dan menahan sementara kartu yang ada.

Warga Wae Rebo dan warga desa sekitarnya juga mempunyai cara tersendiri untuk bisa menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Menyadari pendapatan mereka yang kecil, warga mengadakan acara amal untuk membiayai anak mereka yang kuliah. Di acara amal ini, tuan rumah akan memotong ternak untuk jamuan para tamu. Tamu yang juga tetangga dan tetangga desa mereka akan datang dan menyumbang semampunya sebagai bentuk kepedulian pendidikan sang anak.

”Dari cara ini, warga bisa mengumpulkan uang sampai Rp 15 juta untuk membiayai sekolah anak bahkan ada yang beruntung mendapatkan 25 juta. Cara ini dilakukan bergilir. Nanti saat anak saya sudah masuk usia kuliah, giliran saya menjamu para tamu,” kata Yosef Katup, sesepuh Wae Rebo.

Keterpencilan

Keterpencilan menjadi kekuatan sekaligus persoalan di Wae Rebo. Untuk mengakses fasilitas kesehatan, misalnya, warga harus turun gunung ke kampung terdekat, Denge. Selis, ibu dari lima anak yang tinggal di Wae Rebo, pernah merasakan melahirkan di hutan karena tak sempat sampai di pelayanan kesehatan terdekat.

Namun, hal seperti itu menjadi sangat lumrah bagi Selis dan warga lainnya. ”Kami dibekali temulawak sebagai obat alami. Obat ini dikunyah dan kami bawa ke mana-mana untuk mengantisipasi jika bayi kami lahir jauh dari pusat pengobatan,” katanya.

Demi pendidikan, warga Wae Rebo harus berpisah dengan anak-anak mereka sejak usia sekolah. Anak-anak terpaksa tinggal di Denge yang mempunyai fasilitas sekolah dasar. Setiap akhir pekan, mereka akan kembali ke Wae Rebo, berkumpul dengan keluarganya.

Pemerintah Kabupaten Manggarai pada 2015 mulai membuka sekat isolasi dengan membangun fasilitas kesehatan di Wae Rebo. Sayangnya, fasilitas kesehatan itu rusak sebelum dipakai.

Bupati Manggarai Deno Kamelus menjanjikan akan mengecek kembali fasilitas kesehatan yang pernah dibangun pemkab. Soal sekolah, ia pun berjanji mendekatkan sekolah dengan anak-anak agar mereka bisa belajar dengan tenang dan nyaman.

M CLARA WRESTI dan SIWI YUNITA C


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 04 November 2016, di halaman 23 dengan judul ” Wae Rebo, Negeri Tersembunyi di Flores”