Pasangan dosen di Institut Seni Indonesia Surakarta, Budi Setiyono (53) dan Fawarti Gendra Nata Utami (40), jatuh hati pada keindahan batik. Lembar demi lembar batik menghiasi setiap sudut rumah mereka. Ada sekitar 800 lembar batik kuno yang tak bakal dilepas walau sebagian di antaranya sudah ditawar puluhan juta rupiah.
Ada beberapa lembar batik yang memang kemudian dijual oleh Fafa, panggilan Fawarti, ke kolektor batik. Sebagian lainnya direplika untuk kemudian dijual dalam wujud lembaran batik baru. Namun, khusus untuk batik-batik tua yang hanya ada satu lembar dan tidak ada padanannya, Fafa memilih menyimpannya.
Di teras rumahnya yang nyaman di Kawasan Palur, Karanganyar, Jawa Tengah, Fafa menggelar batik koleksinya di meja kayu panjang. Selembar batik lawasan karya Oey Soe Tjoen sudah ditawar Rp 80 juta, tetapi belum dilepas. ”Ibaratnya pas enggak punya duit, asal tiap hari bisa ngelus-elus ini saja sudah senang,” kata Fafa, dosen Jurusan Etnomusikologi yang juga penggiat seni pertunjukan itu.
Melangkah masuk ke ruang tamu, ruangan disesaki ratusan lembar batik yang disimpan dalam kotak aneka ukuran. ”Ini asal taruh karena enggak punya pekerja. Semakin kesulitan mencari batik yang lawasan. Yang di ruang tamu ini batik koleksi, tetapi bisa dijual. Sebagian besar koleksi disimpan di dalam rumah,” ujar Budi.
Senapas dengan batik kuno, atmosfer rumah pasangan suami istri Budi-Fafa pun didominasi nuansa etnik. Dinding rumah sengaja dibuat tak selesai dengan bata merah yang justru ditonjolkan sebagai aksen. Batu bata didatangkan khusus dari perbatasan Wonogiri, tempat kelahiran Budi. Lantai rumah berasal dari terakota yang diproduksi di Kasongan, Yogyakarta.
Nuansa tua di rumah tersebut juga dihadirkan dari kayu-kayu bongkaran rumah yang dikumpulkan dari Sragen, Boyolali, termasuk Klaten yang merupakan tempat Fafa dibesarkan. ”Kayu bongkaran, yang pasti kayunya memang sudah lama dan sudah kering. Enggak bakal menyusut lagi,” tambah Budi, yang juga mengajar etnomusikologi.
Bersantai di ruang keluarga menjadi keseharian menyenangkan yang dijalani Budi dan Fafa serta kedua anaknya, Rakyan Soma (11) dan Ken Lirih Nararya (9). Untungnya, dua anak ini mewarisi bakat seni orangtuanya dan mulai jatuh hati pada batik. Apalagi, Rakyan dan Lirih memang sudah mulai belajar menari sehingga suka memakai batik.
Ruang keluarga terasa lega karena atap rumah sengaja dibuat tinggi, sekitar 9,5 meter jika diukur dari lantai. Ruang yang lega sekaligus cocok dilengkapi dengan beragam perabot kuno yang terbuat dari kayu tua dan memang terkesan berat. Hampir semua perabot di rumah ini berbahan baku kayu-kayu lama.
Bau nenek
Sebuah lengek atau tempat tidur yang berasal dari era sebelum merdeka, dulunya sekaligus berfungsi sebagai tempat penyimpanan harta, tampak diletakkan di salah satu sisi ruang. Bagian atas lengek dari Ponorogo, Jawa Timur, ini bisa digunakan untuk merebahkan tubuh lengkap dengan sandaran kepala. Pada bagian bawahnya terdapat ruang kosong yang dipakai untuk menyimpan padi atau harta benda lain.
Rumah ini baru ditempati setahun setelah dibangun pada 2004. Budi sengaja mencari tanah kosong di daerah pedesaan, bukan di kompleks perumahan. Pilihan ini tepat karena mereka memiliki kemewahan pemandangan berupa sawah yang terhampar luas di belakang rumah. Saking dekatnya dengan sawah, beberapa kali ada ular yang masuk rumah.
Sebelum menempati rumah tersebut, keluarga ini sempat tinggal di dekat Bandara Udara Adi Sumarmo Surakarta. Ketika tinggal di rumah itulah, mereka mulai menjadikan kecintaan terhadap batik sebagai bagian dari bisnis. Pada 2001, mereka membeli sekarung batik lawasan dengan harga Rp 300.000 yang sebagian di antaranya sudah sobek.
Kini, beberapa kali koleksi batik mereka dipinjam untuk dipamerkan di beberapa tempat, seperti Balai Soedjatmoko Solo hingga dipinjam oleh beberapa perusahaan seperti Astra. ”Awalnya justru saya yang suka batik. Ketika kuliah ke Jakarta, saya bawa jarik ibu dan selendang simbah. Batik simbah saya bawa karena bau ratusnya menular ke pakaian lain,” kata Budi.
”Grade” A
Banyak dari batik lawasan yang ketika pertama kali diperoleh juga masih berbau harum ratus. Fafa kemudian menunjukkan satu peti batik lawasan yang baru saja diperolehnya dari satu keluarga kaya yang sudah tidak peduli lagi pada batik warisan leluhur. Hampir semua dari 70 lembar batik tua itu tergolong batik grade A. Uniknya, seluruh batik itu dijual utuhan dalam posisi masih diwiru dan masih semerbak harum ratus.
Batik kuno yang tergolong grade A berarti sudah mulai langka di pasaran. Para kolektor batik biasanya akan merujuk pada nama-nama pebatik terkenal, seperti Nyai Bei Madusari, Ny Hartini, atau Praptini Partaningrat. Praptini adalah anak Bupati Wonogiri pada masa sebelum kemerdekaan yang membuat batik untuk kalangan terbatas raja Surakarta maupun Yogyakarta.
Fafa lalu menunjukkan batik kopi tutung dengan warna menyerupai kopi hangus yang akhir-akhir ini jadi primadona kolektor batik. Batik kopi tutung ini tergolong batik tiga negeri dengan warna merah dicelup di Lasem, biru dicelup di Pekalongan, dan warna soga di Solo. Batik kopi tutung dulunya dipasarkan di Garut dan Tasikmalaya. Keunikannya terletak pada warna kombinasi merah dan soganya yang matang yang mirip kopi gosong.
”Barang langka. Semakin enggak ada semakin banyak orang penasaran. Cuma merawatnya harus ekstra, setiap kali dibongkar, dibersihkan, lalu diangin-anginkan. Diberi akar wangi untuk anti ngengat,” kata Fafa.
Jika dulu Fafa dan Budi berburu batik kuno hingga ke pegadaian dan pasar tradisional, kini mereka memiliki pengepul di beberapa daerah, seperti Solo dan Pekalongan. ”Banyak kolektor dadakan. Kolektor yang tiba-tiba punya dua lemari batik. Sering diminta datang untuk identifikasi motif. Tidak bisnis murni,” ujarnya. Satu tips dari Fafa: jika tertarik membeli batik kuno, Anda harus memegangnya sendiri untuk merunut kualitas kain.
“800 Lembar batik kuno yang tak bakal dilepas walau sebagian di antaranya sudah ditawar puluhan juta rupiah.”
MAWAR KUSUMA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Oktober 2016, di halaman 26 dengan judul ”Rumah bagi Batik Kuno”