Berwisata menghilangkan kepenatan sehari-hari kini tidak lagi melulu dengan bersenang-senang menikmati kuliner enak, pemandangan indah alam, atau memacu adrenalin. Pada waktu yang sama, ketiganya bisa didapat. Ada bonus lagi, yaitu belajar kehidupan dan perjuangan dengan bahagia.
Nah, jika datang dan menginap di Kampung Cibulao, Cisarua, Bogor, bisa lho kita mendapat keempat hal asyik itu sekaligus. Di kampung yang berlokasi di enklave HGU Perkebunan Teh Ciliwung milik PT PPPS itu, ada Kang Yono dan Kelompok Tani Hutan (KTH) Cibulao Hijau. Selain mengelola kebun kopi, ada tempat rekreasi KTH Bike Park.
Betul, mereka mengelola kebun kopi, bukan kebun teh. Di kebun teh, mereka hanya buruh perkebunan, bukan pemilik kebun. Kalau di kebun kopi, mereka pemilik, bermitra dengan PT Perhutani, pemilik lahan. Pohon kopi ditanam di pinggir hutan dan di lahan hutan kritis di sela pohon tegakan hutan. Kopi yang dihasilkan dari kebun mereka, yakni kopi cibulao, adalah kopi berkualitas prima yang masuk 15 kopi premium Indonesia. Luar biasa, bukan?
Jumpono, anggota KTH Cibulao Hijau, saat ditemui, Kamis (20/10), tengah siap-siap berangkat ke Aceh untuk mengikuti lomba kualitas kopi di sana. ”Mudah- mudahan, kopi cibulao juara,” katanya.
Cerita lengkap kopi cibulao bisa kita peroleh jika menginap di sana. Menginaplah di rumah warga yang kamarnya dijadikan wisma tamu. Atau, berkemah di pinggir hutan kebun kopi pada ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut (mdpl), di areal KTH Bike Park milik kelompok tani hutan itu.
Rasakan denyut kehidupan warga sebagai buruh perkebunan teh, upaya kelompok warga meraih cita-cita memiliki kebun kopi, sekaligus menyelamatkan hutan di desanya. ”Kami ingin anak-anak kami bisa sekolah tinggi. Tidak seperti saya, hanya lulusan S-5 alias kelas 5 SD saja. Yang lulus SMP sedikit. Dari dulu sampai sekarang, di Kampung Cibulao yang lulus SMA hanya tiga orang,” ungkap Jumpono.
Total luas kebun kopi KTH Cibulao Hijau saat ini sekitar 12 hektar dan akan semakin luas. Ini mengingat lahan hutan kritis masih banyak. Mereka terus berjuang memperoleh bibit dan melakukan pembibitan pohon hutan sembari menyisihkan uang untuk bisa membeli bibit pohon kopi berkualitas. Kita bisa berpartisipasi dengan mendonasikan Rp 150.000 untuk satu bibit pohon hutan yang kita tanam dan akan dipelihara KTH Cibulao Hijau selama tiga tahun, sampai dipastikan pohon itu tumbuh besar. Dibantu lembaga Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB, mereka terus menata diri menyiapkan ”kampung wisata” kopi. Nantinya, pembibitan pohon kopi, panen, dan pasca panen kopi di Cibulao itu akan menjadi atraksi wisata edukatif.
Kalau sekarang, pengunjung baru bisa menikmati jalan-jalan di kebun kopi dan menikmati semerbak bunga pohon kopi yang bermekaran. Peralatan pasca panen belum semuanya dimiliki KTH. Namun, tentu saja, kita tetap dapat menikmati secangkir kopi cibulao, baik arabika maupun robusta, selama persediaan masih ada. Ada juga kopi luwak yang merupakan hasil dari kebun ini, yang diolah beberapa anggota KTH sambil berlatih. Jika beruntung, kita bisa melihat kegiatan panen atau mengolah biji kopi dengan keterbatasan peralatan yang mereka punya.
Kebun kopi memang cukup luas, tetapi karena proses penanamannya tidak serentak, belum semua pohon kopi menghasilkan. Namun, setidaknya, KTH Cibulao Hijau sudah menjalin relasi baik dengan Kedai Kopi Ranin di Kota Bogor. Mereka mengupayakan secara rutin menyetorkan biji kopi produk mereka ke Ranin. Di tangan para barista Ranin, keistimewaan rasa kopi cibulao muncul. Jika dicecap, akan terasa ada unsur manis gula/karamel, pahit/sepat kopi, dan kelezatan cokelat. Padahal, bubuk kopi cibulao disedu tanpa gula, apalagi bubuk cokelat.
”Pak Ernan dari P4W IPB mempertemukan kami dengan para ahli kopi di Ranin. Mereka yang membimbing kami untuk menghasilkan biji kopi premium. Mereka juga memperkenalkan kopi cibulao ke masyarakat luas sehingga kopi produk kami dipesan atau dibeli turis asing. Biji kopi kami dibeli dengan harga sangat baik dibandingkan harga tengkulak atau pasar,” ungkap Kiryono yang lebih dikenal dengan nama Kang Yono, Ketua KTH Cibulao Hijau.
Bersepeda
Bawalah sepeda gunung dan perlengkapannya untuk menjajal jalur di sana di Cibulao. Atau sewa saja ke Kang Yono dan teman-teman. Sayangnya, baru ada lima sepeda sewaan di sana. Ada tiga jalur sepeda yang bisa dijajal, yakni jalur pemula dengan nama KTH Kondang 2,8 kilometer, KTH AT (kelas AM trail) 3,8 kilometer, dan KTH OG (kelas enduro). Sejumlah atlet sepeda nasional kerap berlatih di jalur KTH Bike Park ini.
”Waktu tercepat yang tercatat adalah 13 menit untuk jalur KTH OG. Biasanya, jalur ini ditempuh dalam waktu 45-60 menit. Di jalur ini banyak drop off dan rock garden-nya. Juga untuk yang sudah benar-benar jago, enak untuk melakukan dirt jump. Kami kasih nama OG karena Om Gatot, kenalan kami, yang memberi pinjaman modal ke KTH Cibulao Hijau untuk membangun KTH Bike Park,” tutur Kang Yono.
Adapun dua jalur lainnya, waktu tempuh tercepat yang pernah ada ialah 6-7 menit untuk KTH Kondang dan 20 menit untuk KTH AT. Itu bagi pesepeda yang bukan atlet dan tanpa henti mengayuhkan sepedanya. Bagi yang bersepeda sambil wisata, banyak berhenti dan berfoto di lokasi-lokasi indah, sah-sah saja menghabiskan waktu sesukanya.
Tempat beristirahat paling nyaman adalah di pos utama KTH Bike Park di ketinggian 1.100 mdpl. Di sini, ada kantor KTH yang juga difungsikan sebagai warung makanan-minuman. Dari sini juga akan terlihat, mana kebun teh yang dirawat rapi dan yang rusak, begitu juga keindahan hutan alam dan yang masih harus dihijaukan lagi. Kang Yono dapat bercerita banyak tentang kondisi ini. Ada juga tempat shalat mungil dan fasilitas wudu dengan air gunung.
Pehobi trekking di pegunungan bisa menyalurkan hasratnya juga di KTH ini. ”Banyak sekali burung di hutan. Macam-macam, dari yang hitam legam sampai aneka warna cemerlang, seperti biru, kuning, atau merah. Rombongan burung juga ada, tetapi harus pagi hari. Lebih enak lagi jika membawa teropong,” ujar Dasim, yang kerap menjadi pemandu trekking hutan, sambil menyebut sejumlah nama burung penghuni kawasan hutan. Ia juga tahu sekali titik-titik sudut untuk mendapat gambar atau foto terbaik.
Bagi yang menginap dan bersantap di kampung ini, menu setempat yang sedap siap mengisi perut lapar. Namun, jika ingin makan dengan menu yang lebih beragam, minimal seminggu sebelumnya silakan mengontak pengurus KTH dan memesan dahulu. Maklum, pasar sangat jauh dari kampung ini dan banyak warga yang belum mampu menyetok banyak bahan pangan di rumahnya.
Jadi, yuk, persiapkan diri untuk bersenang-senang, menikmati pemandangan indah, memacu adrenalin, sekaligus belajar perjuangan hidup di Kampung Cibulao.
RATIH P SUDARSONO
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Oktober 2016, di halaman 28 dengan judul ” KAMPUNG KOPI PUNCAK Segarkan Makna Hidup di Cibulao”.
Comments are closed.