Ombak Laut Sawu bergulung-gulung melaju ke tepian. Dari balik gugusan karang di tepi pantai, sejumlah remaja telah bersiap menghadangnya. Saat sang ombak menampar karang, mereka berteriak kegirangan. Sekujur tubuh mereka basah kuyup dihujani tempias air laut yang menyentak karang, lalu buyar menyisakan buih-buih lembut. Rupanya, itulah saat yang paling mereka tunggu.

Memang kurang lengkap rasanya jika bermain ke Pantai Koka di Desa Wolowiro, Kecamatan Paga, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, tanpa menceburkan diri ke air laut. Alamnya telah menyajikan keindahan yang lengkap. Pada satu sisi, ombaknya cukup kuat menyentak. Lokasi itu cocok untuk berselancar.

Di sisi lain, pantai yang terlindungi oleh dua bukit karang airnya lebih tenang. Tubuh terasa nyaman dimain-mainkan gelombang yang landai. Di situ pula lokasi yang pas untuk berenang dan snorkeling, menikmati keindahan dasar laut dari permukaan.

Di ujung gugusan karang tempat para remaja itu bermain, menjulang bukit karang hitam. Mendaki bukit sekitar 15 menit, kita sudah sampai ke puncaknya dan menyaksikan hamparan luas lautan di depan mata. Tampak jelas dari atas, garis Pantai Koka yang melengkung dari timur dan barat sepanjang 1 kilometer. Dengan lengkungan yang dipisahkan oleh bukit karang, wisatawan memiliki dua pilihan pantai, timur dan barat dengan nuansa indah yang berbeda.

Dua bukit mengapit pantai itu, yakni Bukit Rodja di sisi barat dan Ndate Sare di sisi timur. Apitan dua bukit membuat Pantai Koka seperti berada dalam teluk.

Uniknya lagi, di kaki Bukit Rodja terdapat goa batu yang disebut Lia Wio. Kedalaman goa itu pernah ditelusuri hingga 50 meter oleh seorang turis asing berkebangsaan Belanda pada 1992. Pada langit-langit goa terdapat stalaktit yang bagus. Goa itu bisa dijelajahi saat air laut surut.

Di kaki Bukit Ndate Sare, menurut penuturan warga, terdapat bungker peninggalan tentara Jepang pada Perang Dunia II dengan kedalaman sekitar 50 meter. Di sana masih tersimpan tank dan persenjataan tua, peninggalan tentara Jepang. Goa Jepang itu belum pernah dikunjungi wisatawan. Warga setempat meyakini kawasan itu keramat.

Pasir putih

Salah satu yang melengkapi keindahan Pantai Koka adalah pasirnya yang putih nan lembut. Tanpa menggunakan alas, Laurent (51), wisatawan asal Perancis, bersama dua anaknya, Oceane (22) dan Tom (19), berjemur di atas pasir sembari menikmati siang yang hangat. Sesekali ia memotret alam sekitar dengan kamera ponsel. ”Saya akan masukkan hasil foto ini ke Facebook biar teman- teman bisa melihat keindahanny, dan mungkin mereka akan tertarik berkunjung,” katanya.

Pantai Koka merupakan salah satu pantai terindah di pesisir selatan Pulau Flores. Pantai ini menjadi salah satu tujuan utama wisata bagi para penjelajah ”pulau bunga” itu. Dari ujung barat pulau, Labuan Bajo, wisatawan dapat menikmati pulau-pulau kecil berpenghuni satwa komodo. Dari sana, perjalanan dapat berlanjut ke Kampung Adat Bena, kota bersejarah Ende, dan danau tiga warna Kelimutu, baru singgah di Koka. Selanjutnya, wisatawan dapat terus menyusur ke timur, menikmati kehidupan di desa-desa penghasil kain tenun di Sikka hingga mencapai kota pantai nan permai, Larantuka.

Pantai Koka berjarak 48 kilometer dari Maumere, ibu kota Sikka. Dari Ende, ibu kota Kabupaten Ende, pantai ini berjarak 97 kilometer. Letak pantai itu agak tersembunyi karena menjorok sekitar 1 kilometer dari jalan Trans-Selatan Maumere-Ende. Kondisi jalannya juga masih sangat buruk.

Sejumlah peserta Jelajah Sepeda Flores-Timor yang singgah ke pantai itu, pertengahan Agustus lalu, mengeluhkan buruknya jalan menyulitkan sepeda mereka melintas. Tak awas sedikit saja, ban sepeda dapat pecah terkena batu.

Tibortius Tibo, Sekretaris Desa Wolowiro, menuturkan, telah bertahun-tahun kondisi jalan itu rusak. Pembangunannya terkendala masalah lahan. Warga setempat belum rela menyerahkan tanahnya untuk dijadikan jalan umum. Pendekatan yang diupayakan Pemerintah Kabupaten Sikka belum membuahkan hasil.

Tibo juga mengeluhkan sulitnya melakukan pengelolaan terpadu di lokasi wisata ini. ”Semua orang mengklaim sebagai pemilik lahan. Pemerintah desa tidak mampu menghadapi. Jika tingkat kesadaran seperti ini, sampai kapan pun kami tidak bisa maju,” katanya.

Pemkab setempat juga seolah membiarkan pengelolaan kawasan itu tanpa satu kendali. Wisatawan yang ingin memasuki kawasan Pantai Koka mula-mula akan melewati ”pos” yang dijaga sejumlah pemuda. Mereka memungut bayaran Rp 20.000 sebagai retribusi. Namun, si penarik uang tidak memberikan karcis sebagai bukti retribusi. Selesai dari pos pertama, beberapa puluh meter kemudian ada pungutan lagi, Rp 10.000 per kendaraan.

Banyak pengunjung sebetulnya keberatan dengan pungutan berlapis. Apalagi, tanpa karcis sehingga terkesan pungutan liar. ”Belum masuk pantai saja, wisatawan sudah dipungut ini dan itu. Wisatawan jadi tidak nyaman lagi,” ujar Margie, wisatawan asal Perancis, yang telah puluhan tahun menetap di Bali.

Sejumlah warga secara swadaya menyediakan kamar mandi dan kamar kecil. Wisatawan yang menggunakan fasilitas tersebut dipungut Rp 6.000 per orang. Untuk naik ke bukit karang, ada pula pungutannya, Rp 5.000 per orang.

Pengelolaan Pantai Koka memerlukan banyak perbaikan. Jangan sampai pesona alamnya tergulung oleh ketidaknyamanan jasa wisata.

Kornelis Kewa Ama/Frans Pati Herin/Irma Tambunan


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Oktober 2016, di halaman 23 dengan judul ” PESONA NUSANTARA Buih-buih Ombak Pantai Koka”.