Sumur-sumur tua tak hanya mengalirkan mata air bagi warga kota. Sebuah sumur tersohor karena dipakai ahli untuk menyeduh teh. Ada pula hikayat Pangeran Jayakarta yang bersembunyi di sebuah sumur tua. Dari cerita heroik dan secangkir teh menjadi saksi asal mula ribuan sumur yang saat ini bertebaran di Jakarta.

Lapangan Banteng sepi. Hanya beberapa tukang parkir dan tenaga keamanan bercengkerama di dekat pintu masuk lapangan. Letak pintu masuk itu tepat berhadapan dengan Masjid Istiqlal. Tidak jauh dari situ, Samsuri (80) menuangkan air panas ke gelas. Air panas ditaruh di dalam termos yang dibawa dari rumah. Rasa kopi dan teh buatan nenek 14 cicit ini pas tanpa perlu ketat menakar racikan teh/kopi dan gulanya.

”Dulu awal-awal jualan di sini ada sumurnya. Airnya bagus, jernih. Orang-orang pakai mandi, bahkan minum. Jadi tidak perlu jauh-jauh bawa air sendiri,” kata Samsuri, yang telah berjualan di Lapangan Banteng sejak 1977 ini, Rabu (19/10).

Sumur itu dulu dilengkapi mesin pompa manual. Meski begitu, tambahnya, sumur itu telah ditutup beberapa tahun lalu. Saat ini, dia membeli air untuk kebutuhan minum sehari-hari. Jejak sumur tua itu sekarang tidak terlihat lagi.

Tidak dapat dipastikan apakah sumur yang diceritakan Samsuri itu sama dengan yang ditulis Tio Tek Hong dalam Keadaan Jakarta Tempo Doeloe (Masup Jakarta, 2006). Tio Tek Hong menyebutkan, di Lapangan Banteng atau Waterlooplein ada sebuah sumur yang airnya jernih. Orang Tionghoa suka mengambil air itu karena baik dan cocok untuk menyeduh teh.

”Ahli teh menggunakan air itu untuk mengetahui mana teh yang baik dan yang mana tidak baik,” tulisnya.

Nasib sumur ini hampir sama dengan sumur bor pertama yang berada di wilayah tersebut. Sumur yang dibangun pada 1843 itu berada di Benteng Prince Frederick. Kawasan benteng itu sekarang merupakan lokasi Masjid Istiqlal. Sumur dibuat tidak sekadar sumur, tetapi juga diberi hiasan dan ornamen. Pembuatan sumur lalu berkembang terus. Hingga 1870 telah terbangun enam sumur bor lainnya, termasuk di sebelah utara Koningsplein (Jalan Medan Merdeka).

Sebuah foto sumur tersebut dipotret pada 1880, seperti tercantum dalam buku Scott Merrillees, Batavia in Nineteenth Century Photographs. Sumur tersebut dibangun dengan ornamen dan gaya yang artistik. Di bagian depan, empat buah pilar berdiri, masing-masing dua pilar di kiri dan kanan. Pilar itu mengapit patung seorang putri. Dua patung yang menjunjung kendi juga ditaruh di sebelah pilar-pilar tersebut.

Sumur-sumur artesis ini memiliki air yang cukup bagus dan diberikan secara gratis. Air yang ditampung dalam tangki didistribusikan kepada warga Eropa ataupun pribumi. Sistem perpipaan dari sumber air ini memiliki panjang 90 kilometer. Meski begitu, tidak setiap orang menyukai cita rasa dari air sumur ini.

”Tidak semua orang suka minum air sumur ini karena rasanya tidak baik. Kalau dipakai membuat teh, air tehnya menjadi hitam. Karena itu, air sungai lebih banyak digunakan oleh warga meskipun air sumur itu mengalir ke rumah melalui pipa,” begitu tulis Tio Tek Hong, yang juga dikutip Merrillees.

Candrian Attahiyat, arkeolog dan tim ahli cagar budaya DKI Jakarta, menyampaikan, kedekatan warga Batavia dengan sumur baru dimulai di awal abad ke-19. Saat itu, penyakit malaria, disentri, dan diare merajalela karena kotornya sumber air. Ratusan orang meninggal karena tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. ”Baru ketika Daendels mengumumkan Batavia yang tidak sehat, kemungkinan saat itu orang-orang baru mengenal sumur, utamanya sumur bor. Sumur bor pertama dibangun pertengahan abad ke-19,” ucap Candrian.

Menurut dia, sumur bor digunakan khususnya oleh warga Eropa dan Belanda. Sumur bor dikelola pemerintah lengkap dengan sistem perpipaannya. ”Baru sekitar 1918 sumber air baru dialirkan dari Ciomas, Bogor. Pembangunannya selesai pada 1922, lalu sumur bor dibongkar,” katanya.

Di salah satu sisi halaman depan Gedung Arsip Nasional di Jalan Gajah Mada, Tamansari, Jakarta Barat, ini dahulu terdapat sumber air panas. Kompas/Raditya Helabumi
Di salah satu sisi halaman depan Gedung Arsip Nasional di Jalan Gajah Mada, Tamansari, Jakarta Barat, ini dahulu terdapat sumber air panas.
Kompas/Raditya Helabumi

Jayakarta

Cerita tentang sumur tua di Jakarta juga berkaitan dengan Pangeran Jayakarta. Pada Mei 1619, pasukan Pangeran Jayakarta dikepung pasukan Belanda yang dipimpin Jan Pieterszoon Coen. Pangeran Jayakarta terdesak karena dikepung dari arah Senen, Pelabuhan Sunda Kelapa, dan Tanjung Priok.

Jayakarta akhirnya mengelabui tentara kompeni dengan melepas jubah dan sorbannya yang dibuang ke sumur di Mangga Dua. Belanda lalu mengira Pangeran Jayakarta tewas setelah menembaki jubah dan sorban yang ada di dalam sumur. Hingga saat ini, lokasi tersebut dikenal sebagai petilasan keramat Pangeran Jayakarta. Lokasi sumur hanya berjarak 1 meter dari petilasan (Kompas, 30 Maret 2007).

Lima abad setelahnya, 2016, sumur sedalam 5 meter itu masih mengeluarkan air. Airnya agak keruh dan sedikit kekuningan. Warga sekitar, terutama keluarga pengurus petilasan Pangeran Jayakarta, masih menggunakan air itu untuk mandi, cuci, dan kakus. Meski kemarau panjang, sumur tak pernah kering.

”Mau kemarau seperti apa pun, sumur tetap ada airnya. Sekarang, kami gunakan airnya hanya untuk cuci-cuci. Terkadang, tetangga lain ikut mengambil air di sini,” ujar Kurniati (62), penjaga petilasan Pangeran Jayakarta, Kamis (20/10).

Kurniati menuturkan, sekitar tahun 1970-an, lokasi sumur berada di tengah-tengah pabrik kulit dan besi. Di belakang pabrik itu ada aliran anak Kali Ciliwung yang mengalir. Di bantaran kali ada pohon mangga, dadap, dan tebu. Tepat di depan petilasan yang juga dipercaya sebagai makam Pangeran Jayakarta ada pohon beringin besar.

Kini, lokasi itu sudah dipadati permukiman penduduk. Sementara untuk sampai di lokasi petilasan yang menyatu dengan masjid itu harus melewati lorong gang sempit sekitar 1,5 meter. Petilasan diimpit bangunan beton di sisi kiri dan kanan. Dulu, sumur rata dengan tanah dan dipagari bambu di sekelilingnya.

Ayah Kurniati, yang bekerja sebagai juru kunci dan perawat petilasan, lalu memasang ring beton dan melapisi bagian luar beton dengan keramik biru. Ada ember kecil dikaitkan dengan tali tambang untuk menimba air. ”Lumpur sumur pernah juga pernah dikeruk,” kata Kurniati.

Karena dipercaya sebagai tempat keramat, banyak peziarah datang ke lokasi itu untuk berdoa dan ziarah. Sebelum tirakat, banyak pengunjung yang memilih mandi dan menyucikan diri dengan air sumur tua.

Untuk segala keperluan

Di Museum Sejarah Jakarta, ada sumur tua di dalam kompleks bekas kantor Gubernur Jenderal Batavia. Menurut catatan museum, sumur itu sudah ada sejak tahun 1707 atau seusia dengan bangunan di Kota Tua. Pemandu wisata Museum Sejarah Jakarta, Amat Kusaini (41), mengatakan, air sumur diduga digunakan untuk proyek pembangunan gedung kantor gubernur dan penjara.

Hingga saat ini sumur-sumur masih digunakan oleh warga Jakarta. Sumur bor malah menjadi tumpuan sebagian besar perusahaan untuk memenuhi kebutuhan. Dari dulu hingga kini, saat air bersih perpipaan tak juga mampu memenuhi kebutuhan penghuni kota, kisah pertalian antara warga Ibu Kota dan sumur tidak akan pernah usai.

saiful rijal yunus & dian dewi purnamasari


 

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Oktober 2016, di halaman 28 dengan judul “SUMUR TUA JAKARTA Hikayat Secangkir Teh dan Jubah Pangeran”.