Jambi adalah salah satu dari sisa peradaban kuno di Nusantara yang terus bertahan mengikuti perkembangan zaman. Keberadaan Sungai Batanghari di sana menjadi penentu kemajuan Jambi sebagai salah satu nadi penting perekonomian di wilayah pesisir timur Sumatera pada masa lampau. Seperti apa kondisinya sekarang, bisa kita cermati lewat kunjungan singkat ke daerah berjuluk ”bumi seribu candi” ini.

Kamis

Pukul 10.00 Museum Siginjei

Museum ini adalah pilihan cepat, tepat, dan murah untuk menangkap perjalanan lengkap Jambi sejak masa prasejarah hingga pasca kemerdekaan. Museum yang berlokasi di Jalan Urip Sumoharjo ini cukup menarik dan terpelihara untuk ukuran museum-museum di Indonesia. Koleksinya dikelompokkan dalam 10 kategori, yakni biologika, filologika, geologika, etnografika, historika, numismatika, keramologika, seni rupa, dan teknologika. Koleksi-koleksi tersebut dirangkai dalam suatu alur cerita yang berkaitan.

Koleksi museum ini juga dibagi dalam ruang-ruang khusus sesuai tema koleksi. Di ruang potensi alam, misalnya, pengunjung akan melihat koleksi batuan, flora, fauna, dan fosil kayu. Di ruang budaya masyarakat Jambi dipamerkan miniatur rumah tradisional, koleksi budaya mulai zaman berburu, bercocok tanam, cara bertani secara tradisional, kerajinan, pelaminan, pakaian adat berdasarkan suku, alat musik tradisional, hingga permainan tradisional.

Buka Senin-Kamis pukul 08.00-15.30, Jumat pukul 08.00-10.00, dan Sabtu-Minggu pukul 08.00-13.00, tiket masuk ditetapkan Rp 2.000 untuk dewasa dan Rp 1.500 untuk anak-anak.

Warga berperahu menyusuri Sungai Batanghari dari Tanggo Rajo, tak jauh dari rumah dinas Gubernur Jambi. Kompas/Totok Wijayanto (TOK) 04-06-2016 utk tulisan EKI dan FRO
Warga berperahu menyusuri Sungai Batanghari dari Tanggo Rajo, tak jauh dari rumah dinas Gubernur Jambi.
Kompas/Totok Wijayanto (TOK)
04-06-2016
utk tulisan EKI dan FRO

Pukul 13.00 Jambi Paradise

Setelah menenggelamkan diri dalam kubangan sejarah Jambi, waktunya untuk menyegarkan diri di Jambi Paradise. Digadang-gadang sebagai salah satu ikon baru pariwisata Jambi, tempat ini maunya dikonsep menyerupai surga di tengah hutan karet. Dengan luas areal empat hektar, ”surga” ini sebenarnya merupakan taman air yang terdiri dari kolam-kolam air lengkap dengan saung dan aneka permainan lainnya.

Salah satu aktivitas menarik yang bisa dilakukan di sini adalah menelusuri danau buatan dengan perahu sewaan. Tarifnya Rp 20.000 per jam untuk perahu kecil, Rp 30.000 per jam untuk perahu sedang, dan Rp 45.000 per jam untuk perahu besar. Jika hanya ingin berjalan-jalan santai sambil mereguk sebanyak mungkin oksigen atau melepas penat pikiran sambil memandangi kolam, kita bisa menabur makanan ikan yang diperoleh saat menebus tiket masuk sebesar Rp 20.000 per orang. Terletak di perbatasan antara Kota Jambi dan Kabupaten Muara Jambi, Jambi Paradise dapat dicapai dalam 30 menit perjalanan bermobil dari pusat kota Jambi.

Jambi Paradise Taman Wisata air merupakan satu diantara wisata baru di Kota Jambi yang berada di kawasan Palmerah, Simpang Acai. Kompas/Totok Wijayanto (TOK) 04-06-2016 utk tulisan EKI dan FRO
Jambi Paradise Taman Wisata air merupakan satu diantara wisata baru di Kota Jambi yang berada di kawasan Palmerah, Simpang Acai.
Kompas/Totok Wijayanto (TOK)
04-06-2016
utk tulisan EKI dan FRO

Pukul 16.00 Gentala Arasy

Menghabiskan senja di Kota Jambi sangat ideal dilakukan di tepi Sungai Batanghari. Kita bisa menuju Gentala Arasy yang juga merupakan ikon baru Kota Jambi. Gentala Arasy sebenarnya adalah jembatan pedestrian yang membentang di atas Sungai Batanghari, menghubungkan pusat kota Jambi dengan kawasan Seberang yang dikenal akan produk khasnya, batik jambi. Bentuk jembatan menyerupai huruf S sepanjang 503 meter. Tempat ini segera saja menjadi favorit warga setempat yang ingin menikmati matahari terbenam di balik liukan sungai terpanjang di Sumatera ini.

Desain strukturnya yang modern menjadi santapan pandang para pengunjung sambil menelusuri jembatan yang diresmikan Maret 2015 ini. Di salah satu ujung terdapat Monumen Gentala Arasy dengan dikelilingi panel-panel relief yang menggambarkan aktivitas Batanghari di masa kejayaannya. Hingga tahun 1990-an, aliran sungai ini masih menjadi jalur utama transportasi yang menghubungkan daerah hulu dan hilir Jambi.

Jika ingin kembali menyeberangi sungai, tetapi terasa lelah berjalan, kita bisa menumpang perahu dengan tarif terjangkau. Perahu-perahu ini banyak terdapat di tepi sungai di bawah jembatan. Jangan buru-buru pulang karena pada malam hari jembatan ini tetap terlihat cantik dengan taburan cahaya lampu warna-warni yang menyelimuti tubuh jembatan. Kita bisa duduk-duduk menikmatinya sambil mencicipi beragam jajanan dan makanan yang ditawarkan para penjual yang berjajar di tepi sungai.

Tanggo Rajo terletak di depan Rumah Dinas Gubernur Jambi. Merupakan salah satu pusat jajanan yang juga menawarkan keindahan pemandangan sungai Batanghari dan pemandangan Jambi Kota Seberang. Kompas/Totok Wijayanto (TOK) 04-06-2016 utk tulisan EKI dan FRO
Tanggo Rajo terletak di depan Rumah Dinas Gubernur Jambi. Merupakan salah satu pusat jajanan yang juga menawarkan keindahan pemandangan sungai Batanghari dan pemandangan Jambi Kota Seberang.
Kompas/Totok Wijayanto (TOK)
04-06-2016
utk tulisan EKI dan FRO

Jumat

Pukul 08.00 Candi Muaro Jambi

Belum ke Jambi kalau belum ke candi ini. Berlokasi 20 kilometer dari pusat kota Jambi, kawasan Cagar Budaya Muaro Jambi sebenarnya adalah kompleks percandian yang sangat luas, terluas di Indonesia untuk kategori candi Hindu-Buddha. Candi ini diperkirakan merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Melayu yang dibangun pada abad ke-11.

Keunikannya adalah bangunan candi tersusun dari batu bata. Ada sembilan bangunan candi yang telah dipugar dan semuanya merupakan candi Buddha, yakni Candi Kotomahligai, Kedaton, Gedong Satu, Gedong Dua, Gumpung, Tinggi, Telago Rajo, Kembar Batu, dan Astano. Luasnya mencapai 12 kilometer persegi atau sekitar 260 hektar, membentang searah jalur Sungai Batanghari.

Tidak hanya candi, terdapat pula parit atau kanal kuno buatan, kolam penampungan air, dan gundukan-gundukan tanah yang di dalamnya terdapat struktur bata kuno. Booklet kawasan Cagar Budaya Muarajambi yang disusun Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi menyebutkan, kawasan ini sebagai contoh luar biasa tipe bangunan, ansambel, atau lanskap pada permukiman manusia.

Butuh waktu seharian untuk menelusuri keseluruhan candi yang ada. Pagi hari adalah waktu yang paling tepat untuk memulai jelajah candi. Pohon-pohon yang rimbun di sekeliling kompleks berpadu dengan bangunan candi segera saja membuat kami membayangkan aktivitas di tempat yang dulunya disebut sebagai pusat pendidikan agama Buddha terbesar di Sumatera pada masa itu.

Museum Siginjei, Jambi Kompas/Totok Wijayanto (TOK) 04-06-2016 utk tulisan EKI dan FRO
Museum Siginjei, Jambi
Kompas/Totok Wijayanto (TOK)
04-06-2016
utk tulisan EKI dan FRO

Pukul 13.00 Taman Anggrek Prof Dr Sri Soedewi, SH

Jambi mempunyai 71 spesies anggrek alam yang perlu dilestarikan. Atas saran mendiang Ibu Tien Soeharto, kemudian dirintis pendirian Taman Anggrek oleh Sri Soedewi, istri Gubernur Jambi Masjchun Sofwan perode 1979-1989. Pada saat taman diresmikan tahun 1984, seluruh jenis anggrek yang ditemukan di Provinsi Jambi ditanam di sini. Namun, kini, tampaknya tidak sebanyak itu lagi. Anggrek jambi sendiri memiliki keunikan, yakni bentuknya kecil, menarik, dan beberapa di antaranya mengeluarkan bau harum.

Selain anggrek alam, juga terdapat anggrek tanah seperti yang saat itu kami saksikan ketika berkunjung awal Juni lalu. Deretan anggrek tanah yang berbunga ungu, kuning, dan merah mendominasi koleksi yang ada saat itu. Anggrek-anggrek langka ditaruh di dalam green house yang hanya bisa dilihat dari luar area. Taman seluas 2,5 hektar yang berlokasi di Jalan Jenderal Ahmad Yani ini juga menjadi tempat penelitian mahasiswa jurusan pertanian dari sejumlah daerah di Indonesia.

Taman anggrek yang terletak di depan kantor Gubernur Propinsi Jambi. Kompas/Totok Wijayanto (TOK) 04-06-2016 utk tulisan EKI dan FRO
Taman anggrek yang terletak di depan kantor Gubernur Propinsi Jambi.
Kompas/Totok Wijayanto (TOK)
04-06-2016
utk tulisan EKI dan FRO

FRANSISCA ROMANA NINIK/SRI REJEKI


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 September 2016, di halaman 29 dengan judul “Jambi”.