Dua tokoh punakawan dalam wayang listrik sedang berada di kota New York, Amerika Serikat, untuk melacak keberadaan Sita. Kompas/Putu Fajar Arcana (CAN)

Wayang listrik boleh disodorkan sebagai salah satu ”produk” pertemuan yang klasik dan yang pop. Wayang yang berkesan kuno, suram, dan membosankan, di tangan I Made Sidia, beringsut menjadi baru, segar, dan penuh kejutan. Sidia dan wayang jenis baru ini seolah mewakili generasi terkini yang tetap mencintai tradisi, tetapi memakai bahasa terkini.

Pertunjukan pada pertengahan Agustus 2016 lalu dilangsungkan di Sanggar Paripurna, Desa Bona, Gianyar, tempat Sidia sehari-hari melatih 600 seniman yang menjadi muridnya. Pertunjukan dengan tajuk ”Sita Kepandung” itu dipentaskan khusus menyambut muhibah kebudayaan Jejak Mahakarya Indonesia 2016 yang diikuti para jurnalis, fotografer, videografer, dan bloger dari sejumlah daerah di Indonesia. Di dekat hamparan persawahan, Sidia membangun panggung dengan bentang layar 7 x 8 meter. Malam yang gelap sempurna dengan cuaca Bali yang sejuk di bulan Agustus membuat pertunjukan itu semakin impresif. Bahkan, yang lebih istimewa I Made Sidja (84), dalang klasik Bali yang terkenal, yang tak lain adalah ayah kandung Sidia, turut menjadi saksi pertunjukan itu.

”Ini memang zamannya begini. Tak apa-apa,” komentar Sidja di akhir pertunjukan. Sebagai dalang klasik yang tetap memegang teguh pakem pedalangan, Sidja merasa zaman sudah banyak berubah. Sudah seharusnya, katanya, wayang juga mengikuti arus zaman, mengikuti selera generasi masa kini. ”Saya ya tetap dengan wayang yang lama saja,” tutur Sidja, yang malam itu baru usai mendalang untuk kepentingan ritual ruwatan di Gianyar.

Dua tokoh wayang sedang bersiap berperang di tengah puing-puing kota yang hancur.  Kompas/Putu Fajar Arcana (CAN)
Dua tokoh wayang sedang bersiap berperang di tengah puing-puing kota yang hancur.
Kompas/Putu Fajar Arcana (CAN)

Epos Ramayana bagian penculikan Sita oleh Rahwana menjadi berbeda di tangan Sidia. Setelah membuka pertunjukan dengan memanjatkan doa disertai bayangan keagungan semesta, cerita berkembang sampai ke Jakarta bahkan New York. Ada apa? Sidia menarik kisah klasik Ramayana memanjang sampai ke Jakarta yang macet dan New York, yang menurut persepsinya, menjadi sumber dari kebrutalan. Pencarian para punakawan, Tualen dan Werdah, terhadap Sita yang diculik Rahwana sampai ke kota-kota tadi. Gambar-gambar di latar memperlihatkan Jakarta yang disergap kemacetan dan gedung-gedung di New York yang angkuh.

Dalang lulusan ISI Denpasar itu menggunakan gambar-gambar video yang diproyeksikan ke layar lebar, di mana di antara kaki-kaki cahaya itu, karakter-karakter wayang dipantulkan. Dari depan, penonton menyaksikan bayang-bayang wayang berada tepat di depan latar-latar gambar video. Teknik ini juga digunakan untuk menggambarkan api yang meluluh-lantakkan hutan, tempat Rama dan Laksemana sedang mencari Sita.

Teknik proyeksi video lewat cahaya ke layar dengan menggunakan komputer adalah bahasa terkini generasi baru. Sidia memang belum sampai pada desain-desain seperti video mapping, tetapi sejak awal tahun 2000-an ia sudah menggunakan teknologi multimedia dalam setiap pertunjukannya. Bersama seorang dalang asal Amerika Serikat, Larry Reed, ia bereksperimen memperbarui wayang dengan tujuan mendekatkannya pada generasi terkini.

”Bahasa generasi sekarang kan komputer. Saya dan Larry mencoba menggunakannya sebagai teknologi yang mendekatkan wayang dengan penonton sekarang,” kata Sidia.

Bahasa teknologi

Pembaruan Sidia dan Larry tak hanya mengganti belencong (lampu minyak kelapa), tetapi secara keseluruhan wayang sebagai seni pertunjukan juga mengalami pengayaan. Sidia bahkan memperlakukan wayang sebagai teater total yang membutuhkan penghayatan dari para dalang (aktor) di balik panggung. Pada setiap pertunjukannya, wayang listrik membutuhkan 7-8 dalang di balik layar. Setiap dalang menggunakan sketch board sebagai wahana pergerakannya. ”Mengingat layarnya, kan, lebar, jadi setiap dalang memakai sketch board biar lebih praktis dan lincah,” kata Sidia.

Seorang dalang pada beberapa adegan bisa sekejap berganti menjadi penari. Dan, para penari itu pula yang menggantikan peran wayang dari balik layar. Bayangan para penari itulah yang diproyeksikan lewat proyektor ke layar hingga menyerupai siluet. Ketika menggambarkan pertempuran antara Rama dan Rahwana, misalnya, dua orang penari menggunakan gelungan(mahkota) Rama dan Rahwana, lalu memerankan adegan peperangan. Sidia sendiri berperan sebagai narator, yang mengisahkan seluruh runtutan peristiwa, baik dalam bahasa Jawa Kuno, Bali, Indonesia, dan bahkan Inggris. ”Bahasa itu tergantung audiensnya. Kalau di Eropa saya pasti pakai bahasa Inggris,” katanya.

I Made Sidja (84) ayahanda I Made Sidia (kanan) yang menciptakan wayang listrik. Kompas/Putu Fajar Arcana (CAN)
I Made Sidja (84) ayahanda I Made Sidia (kanan) yang menciptakan wayang listrik.
Kompas/Putu Fajar Arcana (CAN)

Di luar segala pembaruan yang dilakukan Sidia dan Larry, yang penting dicatat, keduanya berhasil memangkas jarak berabad-abad antara masa-masa klasik ketika wayang diciptakan dan menghadirkannya secara populer pada masa kini. Dunia wayang yang membaurkan kehidupan para dewa, manusia, dan binatang itu, dengan seperangkat teknologi, tiba-tiba tidak terasa asing di hadapan kita. Kehadiran para punakawan di Jakarta dan New York menjadi terasa biasa. Itu karena Sidia secara lihai memberi peran baru kepada tokoh Tualen, Werdah, Sangut, dan Delem sehingga mereka leluasa mengkritik realitas di sekitarnya. Tak urung Jakarta yang ”akrab” dengan kemacetan, New York yang angker dan brutal, menjadi bahan yang mendekatkan wayang dengan penonton.

Pada awalnya memang tampak ”aneh” karakter wayang klasik dengan masa lalu yang adiluhung, tiba-tiba muncul di kota profan seperti New York. Tetapi, bukankah karakter-karakter dalam produksi Walt Disney, misalnya, juga mengalami ”keanehan” yang sama? Lompatan waktu dari masa klasik ke masa sekarang itu dijembatani Sidia dengan teknologi multimedia. New York kemudian hadir sebagai pengingat bahwa dunia wayang juga bergerak. Ia tidak beku di dalam keropak (peti kayu) dan hanya hidup di tangan seorang dalang.

Wayang listrik telah memberikan ”harapan baru” kepada tokoh-tokoh wayang untuk bisa hidup dan menikmati segala hal di dunia modern. Cerita-cerita klasik telah diintepretasi ulang untuk semakin memperpanjang usia para tokoh tadi. Tujuan utamanya, wayang tak lekang dimakan zaman dan akan hidup terus menjalani masa demi masa. ”Dan yang pop dan yang klasik itu bersatu di wayang listrik,” kata Sidia.

Putu Fajar Arcana


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 September 2016, di halaman 21 dengan judul “Yang Klasik dan yang Pop”.