Etnik dalam Siasat

0
852

Unsur tradisional atau etnik dalam dunia mode dapat dieksekusi dalam berbagai cara yang tak berbatas. Mulai dari yang terang-terangan, eklektik, hingga subtil. Wastra Indonesia menjadi sumber dari berbagai siasat kreativitas itu.

Dalam rangka Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-71 Agustus lalu, acara tahunan FimelaFest yang digelar tahun ini mengusung tema ”#WajahBaruIndonesia” dengan menampilkan peragaan busana koleksi dari para perancang yang memuliakan berbagai kain Indonesia.

Pada peragaan hari ke-2, misalnya, dua koleksi yang cukup menarik disimak adalah karya William Utama dan Didiet Maulana. Keduanya membawa ciri dan tampilan gaya yang berbeda jauh sehingga memberikan kesan betapa luasnya daya kreasi yang bisa digali dari kain Indonesia.

Koleksi dari William Utama, misalnya, memberikan kesan gaya jalanan yang edgy, bebas, berenergi, dan berani. William mengolah berbagai macam kain Indonesia dengan cukup liar dengan tema ”Unity in Diversity”. Tema ini diwujudkannya dengan menampilkan koleksi yang eklektik, mencampurkan berbagai macam material kain Indonesia dalam berbagai tampilan bersiluet modern yang segar dan muda.

”Anak muda seumuran saya, misalnya, kalau pakai batik tuh kesannya formal. Oleh karena ini saya pilih gaya yang eklektik supaya bisa masuk ke anak-anak muda. Saya juga sengaja campur semua kain Indonesia asal daerah mana saja sehingga maksud unity in diversity juga dapat,” tutur William, desainer asal Medan, Sumatera Utara, yang Oktober mendatang akan tampil di Singapore Fashion Week 2016.

William menggunakan mulai dari batik krayon teknik cap dari Yogyakarta, tenun rangrang dari Bali, songket dari Palembang, hingga ulos dari Sumatera Utara. Dalam salah satu tampilan misalnya, William menyuguhkan atasan berlengan pendek yang memadukan batik dari Yogyakarta dengan ulos sadum, dan kain motif camouflage sebagai bawahan roknya.

Yang menarik, motif camouflage itu sebenarnya adalah bahan tekstil yang biasa digunakan untuk seragam TNI (Tentara Nasional Indonesia). William mengaku untuk koleksinya ini dia juga bekerja sama dengan perusahaan tekstil besar, yakni Sritex, yang juga menyediakan bahan-bahan kain untuk tentara.

”Jadi, itu bahan kain seragam tentara betulan dan tahan api,” ungkap William.

William memilih siluet yang mendukung sasaran utamanya, yakni anak muda. Mulai dari jaketbomber, rok bawahan bervolume, blus longgar, hingga gaun terusan dengan siluet lurus yang diberi aksen sedikit melebar di atas dengkul.

Fashion show Fimela Fest desainer William Utama di Senayan City. Kompas/Riza Fathoni (RZF) 20-08-2016 Untuk Aksen Koming Tulisan EKI
Fashion show Fimela Fest desainer William Utama di Senayan City.
Kompas/Riza Fathoni (RZF)
20-08-2016
Untuk Aksen Koming Tulisan EKI
Fashion show Fimela Fest desainer William Utama di Senayan City. Kompas/Riza Fathoni (RZF) 20-08-2016 Untuk Aksen Koming Tulisan EKI
Fashion show Fimela Fest desainer William Utama di Senayan City.
Kompas/Riza Fathoni (RZF)
20-08-2016
Untuk Aksen Koming Tulisan EKI

Siasat hibrida

Lain lagi dengan Didiet Maulana, pendiri Ikat Indonesia, yang selama ini bergulat dengan tenun ikat. Koleksi yang dikategorikannya sebagai pramusim gugur ini bernuansa serba monokromatik, rileks, dan cocok sebagai busana berlibur.

Unsur etnik dalam koleksi bertajuk ”Fragmen” ini diambil Didiet dalam beberapa dimensi. Untuk siluetnya, ia menukilnya dari busana tradisional suku Toraja di Sulawesi Selatan, sedangkan material bahan diambilnya dari kain lurik Klaten, Jawa Tengah, dan tenun Bali. Didiet bahkan mengambil motif kain jumputan yang lalu dialihkan sebagai motif tenun.

Siasat hibrida itu lalu melahirkan koleksi busana dalam tampilan urban yang kosmopolit. Rasa etnis pun melebur dan subtil. ”Siluet busana suku Toraja, misalnya, dari model potongan leher berbentuk V, potongan lengan, elemen garis, juga volume blus yang longgar. Selain mengamati langsung saat berkunjung ke Toraja, saya juga mengamati dari arsip-arsip foto kuno milik museum di Leiden, Belanda,” kata Didiet.

Didiet juga menambahkan, aksen atau aksesori yang juga berangkat dari kekayaan kriya Indonesia. Seperti topi darek (anyaman) rotan dari Kecamatan Kapuas Hulu, Kalimantan Tengah, dan kalung yang terinspirasi dari kalung manik yang biasa digunakan perempuan Toraja, yakni Kandaure.

Menurut Didiet, klien langganannya selama ini yang terbiasa dengan unsur bling-bling dari aplikasi payet dalam koleksinya kali ini bisa cukup menambahkan aksesori kalung tersebut sebagai pelengkap ”kewajiban” bling-bling. Didiet tampaknya kini mulai lebih berani untuk bereksperimen keluar dari pakem ceruk pasarnya.

”Kesan mewah enggak selamanya harus dari bling-bling payet, kan, sebenarnya. Mewah dan anggun bisa didapat dari gaya dan cara berbusana,” kata Didiet.

Fashion show Fimela Fest desainer Didiet Maulana di Senayan City. Kompas/Riza Fathoni (RZF) 20-08-2016 utk Aksen Koming tulisan EKI
Fashion show Fimela Fest desainer Didiet Maulana di Senayan City.
Kompas/Riza Fathoni (RZF)
20-08-2016
utk Aksen Koming tulisan EKI

Tampilan nyata

Unsur etnik yang lebih terang-terangan dipilih desainer asal Bali, Tjokorda Gde Abinanda Sukawati atau Cok Abi, yang mencoba mengolah kain poleng. Berbeda dengan dua desainer tadi, Cok Abi menyuguhkan kain tradisional poleng dalam tampilan lebih nyata dengan pasar perempuan dewasa. Ia misalnya memadukannya dengan bahan kain keperakan dan bordir. Semangatnya ialah memanfaatkan kain poleng di luar peruntukan pada umumnya sebagai elemen mode.

”Poleng menjadi karakter rancangan paling kuat dan kemudian dikenal banyak orang. Dan, saya bangga mengangkat nama Bali dalam karya,” kata Cok Abi.

Kain ini mudah kita jumpai di seluruh penjuru Bali, yang digunakan baik untuk kepentingan ritual adat hingga pariwisata. Misalnya, kain ini digunakan di tugu pemujaan umat Hindu, kulkul atau kentongan kayu, dilingkarkan di pohon, seragam para pecalang, hiasan patung, kostum tari, dan aneka obyek lainnya.

Poleng memiliki filosofinya tersendiri. Poleng rwabhineda yang hitam-putih, misalnya, mencerminkan sifat alam yang berlawanan, baik-buruk, tinggi-rendah, dan seterusnya.

Fashion show Fimela Fest desainer Didiet Maulana di Senayan City. Kompas/Riza Fathoni (RZF) 20-08-2016 utk Aksen Koming tulisan EKI
Fashion show Fimela Fest desainer Didiet Maulana di Senayan City.
Kompas/Riza Fathoni (RZF)
20-08-2016
utk Aksen Koming tulisan EKI
Fashion show Fimela Fest desainer Didiet Maulana di Senayan City. Kompas/Riza Fathoni (RZF) 20-08-2016 utk Aksen Koming tulisan EKI
Fashion show Fimela Fest desainer Didiet Maulana di Senayan City.
Kompas/Riza Fathoni (RZF)
20-08-2016
utk Aksen Koming tulisan EKI

 

Sarie Febriane & Ayu Sulistyowati


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 September 2016, di halaman 23 dengan judul “Etnik dalam Siasat”.