Sawunggaling beterbangan dari rumah gadang lalu menyelinap di antara juntaian kain-kain batik panjang nan indah. Fantasi itu membubung ketika menyaksikan peragaan busana karya Edward Hutabarat. Sawunggaling mengajak penonton untuk ikut terbang, menjelajahi peradaban lewat helai-helai kain.
Sebenarnya tidak hanya kain. Jejak peradaban itu juga ada di desain atap rumah gadang yang dikonstruksi dengan bambu, lewat makanan tradisional yang disajikan, suara sopran Ubiet Raseuki yang mengalun indah, dan rampak kompak gerak penari saman dan tari piring yang mengawali rangkaian acara.
Kenduri, begitu Edo—panggilan akrab Edward Hutabarat—memberi nama peragaan busananya yang digelar di atrium Mall Senayan City, Jakarta, kali ini. Ia bagaikan sedang menggelar kenduri dengan pergelaran yang dirancangnya sebagai paket komplet.
”Aku enggak mau bikin show ketengan. Cuma kasih baju saja. Aku mau bikin dalam paket yang lengkap. Meskipun ini paketku yang paling ’jelek’. Pesanku buat desainer lain, jangan bikin yang lebih jelek dari ini,” kata Edo yang saat itu sekaligus menerima penghargaan Annual Infinite Merit Award 2016 dari Senayan City.
Panggung tempat para peragawati dan peragawan muncul berlatar belakang instalasi besar berbentuk atap rumah gadang. Instalasi berukuran 22 meter x 9 meter dengan tinggi 7 meter ini terbuat dari rangkaian 1.200 batang bambu tali yang digarap seniman bambu Joko Avianto. Sambil menunggu pergelaran dimulai, tamu-tamu menikmati sajian aneka kue dan masakan tradisional, seperti clorot dan nasi tumpeng hijau.
”Aku sudah kayak orang bikin kenduri. Semua aku kurasi, dari penari sampai pakaian dan makanannya. Itu sebabnya, aku kasih nama show-ku ”Kenduri”. Tapi aku bukan Superman. Aku didukung tim yang super sehingga bisa menghasilkan paket komplet show. Konduktornya adalah aku, desainer,” kata Edo yang juga menampilkan buku, film, dan foto-foto tentang batik dan tenun dalam pergelaran ini.
Batik dengan motif utama sawunggaling menjadi basis koleksi busana Edo kali ini untuk lini keduanya, Part One Edward Hutabarat. Koleksi ini terbagi dalam 41 rancangan untuk busana pria dan wanita. Edo mempersiapkan baju-bajunya selama enam bulan sambil mengawasi langsung para pembatik bekerja. Ia pun rela pindah tempat kerja sementara ke bengkel kerja batik milik Nur Cahyo di Pekalongan, Jawa Tengah, agar bisa mendampingi langsung para pembatik.
”Tradisi” baru
Edo memulai tradisinya yang baru. Ia membuat pola bajunya terlebih dahulu, baru dibatikkan. Dengan begitu, tidak ada batik yang dipotong dan dibuang. ”Apa kita tega memotong batik setelah melihat bagaimana susahnya pembatik bikin cecek delapan jam sambil duduk tanpa senderan. Lagi pula batik ini bagaikan lukisan yang tidak mungkin kita potong, bukan? Di dalamnya juga terkandung makna dan filosofi,” kata Edo.
Meski demikian, batik-batik yang indah, menurut dia, perlu dihidupkan menjadi produk pakai sehingga bisa menyampaikan pesan kepada generasi penerus agar tetap mengenal dan melestarikannya.
Motif sawunggaling dipilih karena terinspirasi oleh motif ciptaan Go Tik Swan (almarhum). Go Tik Swan atau Panembahan Harjonagoro adalah pecinta batik yang diminta Bung Karno membuat Batik Indonesia. Sawunggaling sebenarnya menggambarkan sabung ayam, inspirasi yang diperoleh Go Tik Swan setelah melihat adu ayam di Pura Agung, Bali.
Motif sawunggaling dipadukan dengan motif garis yang diaplikasikan di bagian tepi-tepi baju, seperti pada bagian lengan, leher, atau bagian bawah baju. Sawunggaling menghias dengan indah panel-panel baju-baju terusan model klok tanpa lengan atau dengan lengan pendek menggembung.
Material motif garis yang biasanya dipilih dari bahan impor, mulai kali ini dibuat dari batik atau lurik. Edo masih konsisten dengan ciri khasnya, paduan garis dan batik.
Batiknya juga ditorehkan di atas material organza, kali ini tidak bisa lokal melainkan dari Italia. Ini karena organza lokal akan hancur ketika proses lorod atau melunturkan malam dari kain pada proses akhir membatik. Batik organza-nya tampak melayang cantik dan ringan atau bergerak dengan gemulai ketika menjadi blus dengan balutan karet di bagian pinggul. Selain katun dan organza, material lain yang digunakan Edo adalah satin sutra dari Italia.
Edo sengaja tidak memadukan baju-bajunya dengan aksesoris. Baju-bajunya dengan potongan yang chic dan memberi tampilan internasional, tetap menjadi bintang utama dengan paduan sandal kulit magetan serta tas pandan atau topi rotan dari Dayak Iban.
Baju-baju prianya menggunakan material 100 persen Indonesia, berupa katun, lurik, dan batik tuban. Baju-baju ini dibentuk menjadi kimono dengan hiasan motif sawunggaling dan obi batik garis atau sepenuhnya dari batik motif garis. Bagian bawahnya berupa lilitan kain batik tuban atau lurik.
Edo akan memasarkan produk kimononya ke Kyoto dan Tokyo, Jepang. Ia bekerja sama dengan maestro kimono dan obi, Genbei Yamaguchi. Hanya saja, kimononya mendatang akan dibuat dari batik cap dengan konsep yang lebih ringan.
”Saya menyediakan bajunya, Yamaguchi menyediakan obi, sendal, topi, sampai payungnya,” ujar Edo.
Setelah 20 tahun menjelajah wilayah Sabang sampai Merauke dari 36 tahun perjalanan kariernya, Edo menyimpulkan bahwa apa yang ia temui adalah peradaban, lebih tepatnya sisa peradaban. Ini karena apa yang ia lihat kini tak lagi sama dengan apa yang ia lihat 15-20 tahun lalu.
”Rumah adat tidak sebagus dulu, atapnya diganti seng. Kain tenun sekarang warna-warni coreng-moreng. Meski tinggal yang tersisa, masih tetap mengagumkan. Indonesia is the masterpiece of God,” katanya.
Dengan pergelaran busananya ini, Edo ingin menyampaikan pesan bahwa Indonesia itu kaya dan indah sekaligus mengingatkan ancaman kehancuran jika tidak pandai mengelolanya. ”Tidak perlu mengorbankan isi perut bumi. Apa yang kita punya dengan ini saja sudah bisa membuat kita maju jika pintar mengolahnya. Rumah adat, tenun, batik, pantai, pohon, laut, sungai, itu semua peradaban dan kekayaan kita,” kata Edo.
Setelah memulai perjalanannya pada Januari lalu dengan ”Batik Journey” dan kini dengan ”Kenduri”, Edo berencana melanjutkan kampanyenya tentang (sisa) peradaban Nusantara pada Januari 2017, yakni ”The Glory of Sumba”. Ia akan menampilkan kekayaan tenun dari Sumba Timur dan Sumba Barat Daya di The Dharmawangsa, Jakarta.
Sri Rejeki
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Agustus 2016, di halaman 22 dengan judul “Sisa Peradaban dari Edo”.