Embusan angin dingin tidak menyurutkan niat untuk menikmati Dublin, Irlandia, awal Juni lalu. Untungnya, matahari bersinar terik dan membantu menghangatkan tubuh yang sudah terbungkus jaket. Niatan “get lost” sudah bulat, bermodal peta dari situs internet, saya mulai menjelajahi ibu kota Irlandia.

Dari sebuah hotel di Kawasan Ballsbridge, Dublin, saya berjalan kaki ke arah barat. Dalam peta terlihat Taman Uskup Agung Ryan di kawasan Merrion Square yang terjangkau dengan berjalan kaki berjarak 3 kilometer. Sebenarnya masih ada taman-taman lain, tetapi keterbatasan waktu dan jauhnya jarak membuat pilihan jatuh ke taman itu.

Di sepanjang perjalanan, bangunan berdinding bata ekspose berwarna coklat terlihat di kiri dan kanan jalan. Bangunan-bangunan itu berpagarkan besi dengan bentuk maupun coraknya. Materi dan keseragaman itu menjadi pertanda bahwa kota ini mempunyai sejarah panjang.

Trotoar lebar, lalu lintas yang teratur, dan jalanan yang cenderung sepi menambah kenyamanan bagi pejalan kaki. Di sepanjang trotoar yang dilalui tidak ada mobil yang diparkir, motor yang melintas. Bahkan, sepeda yang banyak dijumpai di Dublin pun tidak melintas di trotoar jalan. Kalaupun melintas di trotoar, pasti pengendaranya jalan kaki sambil menuntun sepedanya.

Papan nama Jalan Merrion Square terlihat setelah saya berjalan kaki sekitar 30 menit. Taman berpagar besi dengan bentuk dan corak yang sama dengan pagar rumah-rumah warga itu mempunyai tujuh pintu masuk di keempat sisinya.

Dari sebuah hotel di Kawasan Ballsbridge, Dublin, saya berjalan kaki ke arah barat. Dalam peta terlihat Taman Uskup Agung Ryan di kawasan Merrion Square yang terjangkau dengan berjalan kaki berjarak 3 kilometer. Sebenarnya masih ada taman-taman lain, tetapi keterbatasan waktu dan jauhnya jarak membuat pilihan jatuh ke taman itu.

Di sepanjang perjalanan, bangunan berdinding bata ekspose berwarna coklat terlihat di kiri dan kanan jalan. Bangunan-bangunan itu berpagarkan besi dengan bentuk maupun coraknya. Materi dan keseragaman itu menjadi pertanda bahwa kota ini mempunyai sejarah panjang.

Trotoar lebar, lalu lintas yang teratur, dan jalanan yang cenderung sepi menambah kenyamanan bagi pejalan kaki. Di sepanjang trotoar yang dilalui tidak ada mobil yang diparkir, motor yang melintas. Bahkan, sepeda yang banyak dijumpai di Dublin pun tidak melintas di trotoar jalan. Kalaupun melintas di trotoar, pasti pengendaranya jalan kaki sambil menuntun sepedanya.

Papan nama Jalan Merrion Square terlihat setelah saya berjalan kaki sekitar 30 menit. Taman berpagar besi dengan bentuk dan corak yang sama dengan pagar rumah-rumah warga itu mempunyai tujuh pintu masuk di keempat sisinya.

Taman
 
Rumput hijau terawat, rindangnya pepohonan, dan birunya langit menjadi pemandangan pertama sesaat setelah masuk ke area taman. Kesan indah tidak bisa hilang saat memasuki taman. Setidaknya ada tujuh lapangan rumput termasuk satu arena bermain khusus anak di area seluas 0,125 hektar.

Setiap lapangan rumput dipisahkan oleh jalan selebar mobil sebagai akses pengunjung taman. Pohon-pohon besar berdiri tersebar di sekeliling dan bagian tengah taman. Menjelang tengah hari, sejumlah warga beraktivitas di lapangan rumput tersebut, mulai dari bermain sepak bola, makan siang, hingga berkencan.

Teriknya matahari menjadi daya tarik warga untuk beraktivitas di taman. Aktivitas itu seakan memperlihatkan perayaan menyambut sinar matahari. Kehangatan itu tidak akan terjadi sepanjang tahun, pada musim gugur apalagi dingin, kehangatan sinar matahari seakan sirna.

Dari papan informasi, ternyata Taman Uskup Agung Ryan punya sejarah panjang. Di sekeliling taman itu terdapat bangunan bersejarah yang dibangun pada 1745 hingga 1870-an, seperti Leinster House, Galeri Nasional, dan Museum Nasional.

Selain banyak bangunan bersejarah, di sekitar taman itu dahulu juga menjadi tempat tinggal tokoh dan seniman Irlandia, seperti sastrawan Oscar Wilde, pematung Andrew O’Connor, dan tokoh Katolik Daniel O’Connel. Tak heran jika di sejumlah titik di taman itu dijumpai patung-patung yang didedikasikan bagi mereka.

Semakin sore, seusai jam kerja, suasana kota semakin ramai. Terutama di area-area terbuka yang terpapar teriknya matahari. Taman-taman kota, pinggir jalan, dan teras-teras kafe menjadi sasaran utama warga kota dan turis untuk nongkrong.

Di sejumlah kafe yang dijumpai, pengunjung lebih memilih berkumpul di pinggir jalan daripada duduk di kursi-kursi empuk di dalam kafe. Sambil menenteng botol minuman atau gelas anggur, mereka saling bercengkrama. Tak jarang kumpulan orang itu memenuhi trotoar dan memakan badan jalan.

Tempat-tempat terbuka dengan paparan sinar matahari menjadi idola bagi warga. Bahkan hingga menunggu bus lewat pun, banyak di antara mereka yang sengaja berdiri di tempat panas, bukan di bawah pohon yang tidak terkena sengatan matahari.

Salah satu kawasan di Dublin yang banyak dikunjungi warga ataupun wisatawan adalah City Center. Kawasan ini merupakan pusat kegiatan wisata dan ekonomi di Dublin. Di kawasan ini banyak ditemui toko-toko yang menjajakan oleh-oleh.

Berbagai usaha yang mendukung pariwisata juga banyak tersedia di kawasan ini. Rumah makan, kafe, dan pusat informasi turis dengan mudahnya dijumpai. Tidak heran jika di kawasan ini ribuan warga dan turis selalu memenuhi jalanan.

Seperti kawasan lain di Dublin, kawasan ini juga dipenuhi bangunan tua. Di Jalan O’Connell, yang menjadi salah satu jalan utama, di sisi kanan dan kiri jalan bangunan tua banyak dijumpai. Gedung Pusat Pos yang mulai dioperasikan pada 6 Januari 1818 adalah salah satunya. Gedung berlantai tiga dengan enam pilar itu seakan menjadi gedung penanda kawasan.

Di ujung timur ruas jalan itu berdiri Monumen O’Connell. Monumen itu didirikan untuk menghormati perjuangan Daniel O’Connell untuk kesetaraan penduduk Irlandia di tanah mereka sendiri. Patung dari perunggu itu dibuat oleh seniman Irlandia, John Henry Foley, pada 1882.

Selain gedung-gedung tua, di kawasan itu juga terdapat sejumlah jembatan tua. Jembatan-jembatan itu menghubungkan dua daerah yang dipisahkan Sungai Lifely. Jembatan dengan konstruksi besi itu dibangun pada 1815 dan mulai dibuka untuk umum pada 1816. Gedung-gedung tua yang terdapat di sekitarnya menambah kesan kuno.

Pantulan lampu-lampu bangunan di aliran air Sungai Lifely malam itu terasa indah. Terik matahari sepanjang hari itu menyisakan warna biru di langit menjelang matahari tenggelam. Hari sudah menunjukkan pukul 22.00, tetapi matahari masih malu-malu untuk mengubah birunya langit menjadi gelap.

Di tengah embusan angin dingin, warga dan wisatawan masih saja hilir mudik di sekitar Jembatan Ha’Penny itu. Suara musik dan teriakan pengunjung pub dan kafe menemani warga yang menghabiskan hari dengan duduk di bangku kayu panjang di pinggir sungai.

Birunya langit, pantulan cahaya lampu di Sungai Lifely, seakan menambah romantis malam itu. Paling tidak bagi sepasang muda-mudi yang berdiri di pagar di pinggir sungai. Atau bagi kakek-nenek yang berjalan menyusuri trotoar di sepanjang sungai sambil bergandengan tangan.

Malam semakin larut. Namun, di City Center masih banyak warga dan turis lalu lalang di sepanjang trotoar jalan. Mungkin mereka ingin menyambut matahari terbit lagi, yang katanya jam dua pagi….


Wisnu Widiantoro


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Juli 2016, di halaman 29 dengan judul “Dublin, Panjangnya Hari Itu”.