Industri busana hijab kian menonjol dalam arus utama mode Tanah Air. Meski demikian, perbedaan berbagai gaya hijab terkadang menimbulkan isu tersendiri. Padahal, bersatu menjadi prasyarat krusial menjadikan Indonesia sebagai pusat mode hijab dunia.

Menjelang Ramadhan, dua perhelatan mode busana hijab berlangsung beriringan di Jakarta. Keduanya adalah Muslim Fashion Festival Indonesia (Muffest) yang diselenggarakan Indonesian Fashion Chamber di Istora Senayan dan Pesona Ramadan Delight di Senayan City. Keduanya menandai kian semaraknya industri hijab saat ini, yang menstimulasi munculnya desainer-desainer baru.

Jika diamati perkembangannya beberapa tahun terakhir, busana hijab yang mewarnai panggung-panggung mode secara garis besar memiliki dua karakteristik pendekatan, yakni busana hijab yang cenderung kontemporer dan busana hijab yang cenderung konvensional dan kerap disebut ”syar’i”.

Pendekatan yang syar’i dicirikan sekilas dengan busana yang ekstra longgar dan tidak memberi siluet bentuk tubuh sama sekali. Sementara busana hijab yang lebih kontemporer cenderung lebih bebas dalam memainkan garis rancang. Selain itu, ”aliran” kontemporer ini juga memaksudkan rancangannya sebagai alternatif busana bagi perempuan yang sebenarnya memilih tidak berhijab, namun ingin mengenakan hijab pada kesempatan tertentu, seperti pada hari raya Lebaran.

Terlepas dari berbagai perdebatan di antara dua aliran itu, kehadiran dua karakter tersebut di panggung mode Tanah Air memberi kesemarakan tersendiri. Panggung mode busana hijab di Indonesia bisa menjadi semacam simulasi kecil tentang wajah komunitas Muslim Indonesia yang bisa berdampingan meski berbeda aliran gaya busana.

”Perbedaan itu harus menjadi persatuan. Kami di Hijabersmom Community (HmC) berprinsip, abaikan panjang pendek kerudungmu, yang paling penting bersatu. Setiap orang punya prosesnya sendiri-sendiri. Di Uni Emirat Arab saja hijabnya juga enggak serba hitam. Ada juga yang bagian leher masih terlihat,” kata Hannie Hananto, desainer hijab dengan dua label busana sejak 2008.

Dalam perhelatan Muffest, Hannie menampilkan 12 tampilan koleksi bertema ”Nautical Charm” yang mengusung gagasan Muslimah dinamis dan modern. Siluet sederhana yang terdiri atas satu sampai dua potong busana terbingkai dalam padu padan yang apik, motif geometris, dan racikan gaya yang chic.

”Koleksi ini dimaksudkan untuk musim traveling di masa Lebaran. Mungkin seperti cruise collection, tapi untuk mudik,” ujar Hannie.

Hannie juga sempat ikut serta dalam ajang Istanbul Modest Fashion Week di Turki, Mei lalu. Ia membawa empat koleksi busana bertema ”Nautical Charm” berbahan tenun kediri yang ditenun dengan alat tenun bukan mesin. Koleksi Hannie pun mendapat apresiasi dari media Turki danThe Australian.

”Industri modest fashion ini makin berkembang di tingkat internasional. Negara-negara tetangga kita juga gencar menggenjot industrinya, kita jangan sampai ketinggalan. Makanya, bersatu sangat penting,” katanya.

Senada dengan Najua Yanti, yang koleksinya juga tampil di Muffest, perbedaan aliran atau pendekatan dalam gaya busana hijab seharusnya tidak menjadi masalah. ”Perbedaan adalah rahmah, rahmatan lil alamin. Alhamdulillah di komunitas kami, HmC, saling menghargai dan menyayangi,” kata Najua.

Koleksi inklusif

Koleksi rancangan Najua juga tampil mengesankan dalam perhelatan Muffest. Najua mengusung tema ”Amity Spectra” yang terinspirasi dari film Divergent. Koleksinya berpusar pada palet warna-warna yang menyejukkan, mulai dari abu-abu, merah marun pudar, dusty olive atau hijau zaitun, dan sedikit aksen warna putih gading. Najua memain-mainkan nuansa pudar (dusty) dan usang-mentah (rustic) yang membawa hawa bohemian yang subtil dalam koleksinya.

Untuk memberi kesan ringan yang mudah diterima pasar, Najua menggunakan bahan katun. ”Karena ingin membuat koleksi yang sederhana, wearable (berdaya pakai tinggi) dan comfort(nyaman) adalah kunci dari pemilihan bahan. Katun paling cocok untuk busana simpel sehari-hari,” kata Najua.

Dari pergelaran Pesona Ramadan Delight, desainer muda Rani Hatta menampilkan koleksi hijab yang juga bersiluet sederhana, ringan, dan dinamis. Faktor kenyamanan terlihat dari pilihan siluet ini. Cara pemakaian kerudung atau scarf yang sederhana, sekadar disimpul di muka, tetap bisa terlihat chic saat berpadu dengan busananya.

Bisa dibayangkan, perempuan tak berhijab pun bisa mengenakan busana ini, tinggal melepaskan unsur kerudung atau scarf. Koleksi ini bisa dibilang inklusif, terbuka baik bagi perempuan berhijab maupun tak berhijab.

”Koleksi saya memang tidak khusus perempuan berhijab. Yang tidak berhijab, misalnya, bisa pakai. Dalaman lengan panjang tinggal diganti kaus lengan pendek atau tank top,” ujar Rani.

Rani mengambil tema ”Pure” terinspirasi dari lembaran kosong yang belum ditulis, metafora dari perayaan Idul Fitri ketika kaum Muslim kembali fitri. Rani menggunakan bahan wol campuran katun dan poliester yang tak terlalu tebal dan tetap nyaman di iklim tropis.

Perkembangan dunia

Semaraknya industri busana hijab di Indonesia sebenarnya juga terjadi di arena global. Sederet desainer kelas dunia dan label busana internasional ramai-ramai mengeluarkan koleksi hijab atau diistilahkan sebagai modest wear. Gairah ini tidak terlepas dari perspektif industri yang melihat komunitas Muslim dunia sebagai pasar yang potensial. Sekalipun busana hijab sejatinya tidak eksklusif merupakan busana yang hanya dikenakan kaum Muslim.

Riset yang pernah dilakukan oleh Thomson Reuters, seperti dikutip dari Fortune.com, kaum Muslim dunia menghabiskan uang 266 miliar dollar AS untuk berbelanja baju dan sepatu di tahun 2013. Jumlah ini bahkan lebih besar dibandingkan nilai belanja fashion dua negara digabungkan, yakni Jepang dan Italia. Bahkan, tahun 2019, diprediksi angka tersebut akan meningkat mencapai 484 miliar dollar AS.

Reina Lewis, profesor cultural studies di London College of Fashion, University of the Arts London, yang menulis buku Muslim Fashion: Contemporary Style Cultures mengatakan, secara global populasi kaum muda Muslim akan terus tumbuh dan gambaran ini membuat komunitas Muslim menjadi konsumen penting untung segala produk. Reina meramalkan, komoditas untuk kaum Muslim akan didominasi oleh tiga F: food, finance, dan fashion.

Sarie Febriane


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Juni 2016, di halaman 23 dengan judul “Berbeda untuk Bersatu”.