Selepas turunan 15 meter, tiga anak perempuan melempar ransel masing-masing di pasir dekat batu di bawah naungan sebuah pohon. Ketiganya langsung menuju laut untuk menceburkan diri. Perjalanan satu jam ditambah terik yang menyengat membuat mereka tak mau lama-lama menunda menikmati hamparan laut bersih di Pantai Fatu Mapida, Desa Enu, Kecamatan Sindue, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, Sabtu (25/6).

Kaki mereka bergerak cepat dari satu batu ke batu lain yang tertanam di dasar laut dengan kedalaman air rata-rata 50 sentimeter. Dengan riang, mereka berkejaran dengan memijak batu-batu yang telihat jelas dari permukaan laut. “Batunya halus,” kata Jessica Magung (10), salah satu anak, sesaat setelah keluar dari air.

Pantai Fatu Mapida berada di pinggir jalan poros Palu-Tolitoli. Pantai itu menjadi bagian awal dari bentangan pesisir yang lebih dikenal Pantai Barat di Donggala bagian utara. Tempat wisata yang mulai diminati wisatawan tiga tahun belakangan itu tersembunyi di kelokan menanjak jalan raya.

Obyek wisata ini berjarak 55 kilometer dari arah utara Palu, ibu kota Sulteng, dengan waktu tempuh sekitar 1 jam menggunakan mobil. Pengunjung tidak akan kesulitan di jalan karena di rute ini jalan raya cukup lebar dan mulus.

Fatu Mapida dalam bahasa Kaili, bahasa suku dominan di Sulteng, berarti batu (fatu) yang saling merapat (mapida). Sesuai dengan namanya, di kawasan wisata tersebut batu bertebaran, mulai dari pantai hingga dasar laut. Jika dipijak, batu-batu itu terasa halus.

Di dasar laut, rata-rata batu berukuran kecil dengan permukaan melebar. Bebatuan yang berbintik-bintik, ada yang berbintik hitam dan ada yang berbintik putih, itu terbentang hingga 8 meter dari pantai ke laut dan berjejer sampai 50 meter ke sisi timur pantai. Bebatuan berada di perairan yang relatif dangkal.

Batu-batu tertanam di pasir di dasar laut. Batu tersebut tak akan bergeser kalau diinjak saat berenang. Jika dilihat dari permukaan laut, bebatuan itu seperti hasil kerja manusia, tersusun dengan rapi.

Batu raksasa

Hamparan batu di pantai itu terkulminasi di sisi barat dalam bentuk gundukan batu dengan panjang 25 meter, lebar 10 meter, dan tinggi 5 meter. Batu tersebut bak gulungan aspal kering yang ditumpuk. Di beberapa bagian, di sela batu ada alur air laut bekas pukulan ombak. Kepiting berjingkrak di batu.

Batu raksasa itu merupakan kumpulan batu kecil yang saling melekat. Batu-batu kecil yang menempel itu tidak tajam. Pengunjung bisa berjalan-jalan dan berfoto di bentangan batu dengan menghadap atau berlatar belakang hamparan luas laut lepas Selat Makassar.

Batu tersebut tidak jarang dijadikan mesbah/altar untuk upacara adat warga setempat, seperti pada Sabtu siang itu. Sejumlah warga Desa Enu mendatangi tempat itu untuk menggelar upacara tolak bala, atau perlindungan dari bahaya laut. Di akhir upacara, mereka menancapkan dua tiang bendera Merah Putih dan bendara kuning di titik yang merupakan puncak gumpalan batu.

“Bebatuan menjadi sensasi tersendiri tempat wisata ini. Kekhasannya yang mungkin tidak ada di pantai lain,” ujar Wilbert Lolubua (21), pengunjung yang datang bersama tiga anak tadi dan lima anggota rombongannya dari Palu.

Namun, pantai ini tak melulu dilapisi batu. Selepas jejalan batuan sejauh 8 meter dari pantai, pasir halus membentang di dasar laut yang masih dangkal. Di sisi timur di bawah rimbunan pepohonan khas pantai, gulungan pasir halus terhampar. Di depannya laut dangkal nan bersih tanpa bebatuan. Kondisi yang sama bisa dinikmati di bagian barat, di sisi kiri batu raksasa. Pasir halus membentang hingga ke rumah penduduk. Hanya di bagian pantai tersebut terik matahari tak terhalang pepohonan.

Sisi timur pantai tidak jarang dijadikan tempat berkemah. Bentangan pantai yang landai dan naungan pohon menawarkan keteduhan.

 Dikelola desa

Saat ini tempat wisata tersebut dikelola desa setempat. Pengunjung harus membayar tiket masuk yang digabung dengan tarif parkir kendaraan. Untuk pengendara sepeda motor dikutip Rp 10.000 dan untuk mobil Rp 20.000. Di area parkir di pinggir jalan raya, ada tiga warung makan. Warung menyediakan makanan dengan berbagai menu, termasuk udang dan kepiting.

“Tempat ini mulai ramai dikunjungi tiga tahun terakhir. Awalnya tidak ada pihak yang mengelolanya. Desa akhirnya mengambil alih pengelolaan sejak akhir 2014,” ujar Armand (20), salah satu penjaga di tempat masuk.

Kamar kecil dan kamar mandi air tawar belum tersedia di tempat wisata itu. Padahal, dua fasilitas tersebut sangat dibutuhkan pengunjung pantai.

Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kabupaten Donggala M Sadjuan mengakui, wilayah Pantai Barat memiliki spot wisata yang menarik. Selain Pantai Mapida, ada juga Pantai Labuana di Kecamatan Sirenja dengan laut yang biru dan bersih dipadu bentangan pasir putih. Pesona yang sama juga ditawarkan Pantai Bambarano di Kecamatan Dampelas.

“Kami memang berencana mengembangkan kawasan ini untuk menjadi wisata bahari unggulan,” katanya.

Videlis Jemali


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Juli 2016, di halaman 23 dengan judul “Berenang di Air Bebatuan di Pantai Fatu Mapida”.