Demam disko melanda dunia pada tahun 1970-an. Indonesia pun tidak luput dari demam musik dan goyangan disko. Irama disko yang mengentak-entak dengan ritme relatif cepat membuat anak muda dekade itu sulit untuk tak menggoyangkan tubuh mengikuti irama disko.

Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta periode 1966-1977, pada 22 Mei 1970 memberikan kesempatan kepada siapa pun yang mau membangun tempat rekreasi untuk pemuda-pemudi. Dalam bayangan Bang Ali, daripada kaum muda itu pergi ke tempat yang gelap, lebih baik disediakan tempat yang berizin.

Tempat itu tidak perlu menampilkan band, tetapi musik yang akrab dengan kaum muda cukup diperdengarkan lewat pemutaran piringan hitam. Di tempat itu tersedia makanan kecil dan anak muda bisa berdansa. Generasi pertama diskotek di Jakarta antara lain Mini Disco di Jalan Juanda dan Diskotek Tanamur di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Sampai akhir 1980-an bermunculan diskotek di kota besar, juga kota kecil, seperti Klaten dan Rembang di Jawa Tengah serta Mojokerto, Jawa Timur. Ruang diskotek didesain temaram dengan interior dan tata cahaya yang dibuat sedemikian rupa sehingga pengunjung mempunyai cukup ruang untuk berdisko. Musik diputar dari piringan hitam yang dioperasikan seorang disc jockey.

Hotel berbintang pun menyediakan diskotek, seperti Pitstop di Hotel Sari Pan Pacific dan Oriental di Hotel Hilton, Jakarta. Wabah disko juga memunculkan acara yang berkaitan dengan disko, salah satunya Festival Diskotik dan Penari Soul. Tahun 1975, Aty Sinuko, mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, menjadi yang terbaik. Aty juga dikenal sebagai peragawati. Sementara Madlod Disco dinyatakan sebagai diskotek terbaik, mengalahkan tujuh finalis diskotek lain.

Minggu malam (20/7/1975) yang lalu, diselenggarakan final Festival Diskotik dan Penari Soul di Istora Senayan. Nomor dua dari kanan (bercelana putih) adalah Aty Sinuko, mahasiswi FKG UI yang menjadi juara soul. kompas/valens doy
Minggu malam (20/7/1975) yang lalu, diselenggarakan final Festival Diskotik dan Penari Soul di Istora Senayan. Nomor dua dari kanan (bercelana putih) adalah Aty Sinuko, mahasiswi FKG UI yang menjadi juara soul.
kompas/valens doy
Goyang Disco -- Musik mendenyut-denyut dengan kerasnya di rongga telinga. Pedisko bergoyang dalam putaran sinar di keremangan. Seperti biasa pula lampu berkedip seiring dengan decak musiknya. Gambar diatas satu suasana awal bulan lalu di Pitstop Discotheque, ketika pedisko-pedisko yang didatangkan dari negeri barat mengajak tamunya untuk bergoyang. kompas/jimmy s harianto
Goyang Disco — Musik mendenyut-denyut dengan kerasnya di rongga telinga. Pedisko bergoyang dalam putaran sinar di keremangan. Seperti biasa pula lampu berkedip seiring dengan decak musiknya. Gambar diatas satu suasana awal bulan lalu di Pitstop Discotheque, ketika pedisko-pedisko yang didatangkan dari negeri barat mengajak tamunya untuk bergoyang.
kompas/jimmy s harianto

Diskotek juga dipakai untuk peragaan busana. Pada 26 Mei 1973, misalnya, di Diskotek Tanamur ditampilkan pameran mode karya perancang muda Jakarta berjudul ”Mystery Fashion Show”. Diiringi orkes tanjidor yang hampir punah, peragawati tampil memakai topeng.

Kegemaran berdisko kaum muda era 1970-an lalu menyebar ke luar ruang diskotek ”berizin”. Dalam pesta ulang tahun, pesta kenaikan kelas, kelulusan ujian akhir SMA, sampai malam keakraban mahasiswa baru, pemuda-pemudi menyewa peralatan disko dari pemilik usaha diskotek mobile. Ini menjadi bisnis baru.

Film Saturday Night Fever yang dibintangi John Travolta-Olivia Newton John dan tayang di Jakarta tahun 1978 semakin menegaskan wabah disko. Perusahaan rekaman pun beramai-ramai merekam lagu-lagu berirama disko.

”Waktu itu kalau sudah masuk disko sudah dianggap beradab. Menjadi semacam gengsi, prestise, atau katakanlah top begitu,” ujar musisi Guruh Soekarnoputra (Kompas, 25/4/1980 halaman 1) tentang era tahun 1970.

CHRIS PUDJIASTUTI


Versi cetak artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 17 Juli 2016, di halaman 11 dengan judul “Wabah Disko Menggoyang Era 1970-an”