Api biru ekstra panas di Kawah Ijen menjadi magnet yang menarik wisatawan lokal dan asing untuk datang. Dibekap dingin malam, ratusan turis berdiri tepekur dalam diam. Kala mata memandang keindahan api biru abadi yang menjilati batuan belerang cair, kala itulah rasa syukur menyelimuti.
Rasa syukur itu semakin membuncah bagi sebagian pendaki yang tetap ingin menjalani ibadah puasa. Seperti fotografer Kompas, Agus Susanto, dan pemandu kami, Matrawi, yang sengaja membawa bekal nasi bungkus atau sekadar kue dan cokelat sebagai menu sahur. Sambil menyaksikan keindahan si api biru yang meliuk diterpa angin pucuk gunung yang super dingin, menu sahur segera ludes.
Mendaki gunung di bulan puasa bagi sebagian orang mungkin menjadi momok. Namun, mendaki sembari berpuasa di gunung berapi Ijen bisa menjadi salah satu pilihan menyenangkan. Pendakian di gunung ini mulai dibuka pada tengah malam hingga siang hari sehingga pendaki bisa menyiasati naik gunung pada tengah malam dan sudah turun selepas sahur.
Konon api biru seperti di Kawah Ijen ini hanya bisa dijumpai di dua tempat di dunia. Oleh karena itu, mumpung ada kesempatan berkunjung ke Banyuwangi, Jawa Timur, mendaki Gunung Ijen pun menjadi semacam ”kewajiban” yang harus dilakoni dengan hati senang. Terbukti sahur bersama si api biru di Gunung Ijen yang telah ditetapkan sebagai cagar biosfer dunia oleh UNESCO ini menjadi pengalaman tak terlupakan.
Lelah mendaki dalam penerangan cahaya bulan segera hilang ketika kaki mulai menapaki tepian Kawah Ijen. Dari kejauhan tampak uap belerang putih pekat yang mengepul dari dasar kawah. Sepagi buta itu, beberapa petambang sudah berjalan mendaki membawa keranjang-keranjang berisi belerang yang beratnya bisa mencapai lebih dari 100 kilogram.
Berada di bibir kawah ternyata baru titik awal untuk petualangan bertemu api biru. Kaki masih harus turun ke dasar kawah menapaki batuan curam sejauh 3 kilometer sebelum benar-benar menjumpai keelokan si biru. Perlahan merambati batu-batu tajam sambil mempersiapkan masker jika sewaktu-waktu uap belerang berubah arah, langkah kami tegap menuju kepulan asap putih ”sarang” si biru.
Angkat belerang
Pendakian mencapai si biru sudah dimulai dari titik perhentian Pos Paltuding di kaki Gunung Ijen. Paltuding terletak di perbatasan antara Kecamatan Licin, Banyuwangi, dan Kecamatan Kloban, Bondowoso. Dengan demikian, jalur menuju pendakian Kawah Ijen bisa ditempuh melalui Banyuwangi atau Bondowoso. Kali ini, kami menapaki jalur Banyuwangi-Jambu-Paltuding sejauh 30 kilometer dengan jalanan berkelok beraspal halus yang mudah dilewati mobil.
Jalur pendakian baru dibuka pada tengah malam karena alasan keamanan. Ketika jalur pendakian ditutup, kala itulah konsentrasi belerang sangat pekat sehingga bisa menjadi racun yang membahayakan pernapasan. Bahkan, ketika mendaki di waktu yang tergolong aman pun, pendaki tetap harus melengkapi diri dengan masker gas yang banyak disewakan.
Setelah pintu sederhana berupa palang kayu dibuka, pendaki yang sudah membayar Rp 5.000 per orang untuk wisatawan lokal dan Rp 100.000 per orang untuk turis asing boleh mulai menapaki jalur pendakian yang terus menanjak sejauh 3 kilometer ke bibir Kawah Ijen. Selama 2-3 jam, pendaki melewati tanah berpasir dan sesekali bebatuan terjal dengan kemiringan hingga 40 derajat.
Kemiringan jalur pendakian ini sering kali menjadi tak tertangguhkan terutama bagi pendaki pemula, anak-anak, atau kaum lansia. Akhirnya beberapa wisatawan menyiasati dengan menyewa troli yang biasanya dipakai oleh petambang belerang untuk mengangkut belerang dengan membayar Rp 800.000 dan ditarik tiga orang. Muatan belerang pada troli pun akhirnya tergantikan muatan wisatawan yang tak lagi kuat menanjak. ”Ayo, naik troli saya saja kalau capek,” kata porter kami yang lain, Matagi.
Menurut Matagi, ide munculya troli di jalur penambangan berasal dari turis Swiss yang kemudian diadaptasi oleh para petambang. Dengan troli itu, petambang tak lagi harus memikul belerang berat hingga Paltuding. Namun, cara memikul ini tetap menjadi satu-satunya pilihan ketika membawa belerang padat dari sumber belerang cair di dekat si api biru menanjak 3 kilometer menuju bibir Kawah Ijen.
Seribu persen
Jika sedang tidak menjadi pemandu sekaligus porter, Matrawi dan Matagi masih menambang belerang. Dalam sehari, biasanya mereka memperoleh 100 kilogram belerang yang dijual Rp 925 per kilogram. Ketika mengambil belerang cair yang segera memadat berwarna kuning keemasan, petambang hanya menutup hidungnya dengan selembar sarung agar terhindar dari racun belerang.
Kehidupan para petambang ini menjadi ”atraksi” wisata lain bagi para pelancong, terutama turis asing. Seorang wisatawan dari Australia tampak terengah-engah mencoba memikul belerang menuju bibir kawah. ”Dia sangat menikmatinya,” kata rekan si turis ketika ditanya rasanya memikul belerang mendaki tebing kawah nan curam.
Selain api biru dan kehidupan petambang, wisatawan bakal disuguhi keindahan alam yang tak terkatakan. Kawah Ijen juga menghadirkan danau di tengah kaldera terluas di Jawa. Danau dengan warna hijau kebiruan ini baru tampak ketika matahari perlahan muncul dan mengusir kabut serta asap belerang. Bersamaan dengan terbitnya matahari, si api biru pun menghilang dari pandangan.
”Kawah Ijen menjadi andalan wisata Banyuwangi. Beberapa tahun terakhir, kunjungan wisatawan ke Banyuwangi naik hingga 1.000 persen,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi MY Bramuda.
Kebakaran hutan tahun 2014 masih menyisakan pohon-pohon dengan ranting gosong di sepanjang jalur pendakian. Sambil menghirup segarnya udara, dalam perjalanan turun gunung pun wisatawan disuguhi keindahan matahari pagi yang menyembul di antara rangkaian gunung, termasuk Gunung Raung yang berdampingan dengan Ijen. Panorama Ijen menghadirkan alam surgawi di dunia….
Versi cetak artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 16 Juli 2016, di halaman 25 dengan judul “Sahur Bersama ”Si Biru””