Berawal dari sebuah studio pribadi, Selasar Sunaryo Art Space berkembang menjadi ruang publik nan apik di antara asrinya punggungan Bukit Pakar Timur, Bandung. Lebih dari sekadar sebuah wadah, Selasar terus tumbuh menjadi ruang belajar bagi para penggiat seni dan publik.

Kain hitam dan tali putih yang melilit-lilit membuntal rapat-rapat sebuah patung yang ada di balik pintu masuk galeri utama Selasar Sunaryo Art Space, menyamarkan wujudnya. Tak ada tekstur, tak ada lekuk, juga tak ada pahatan yang tampak.

Yang muncul justru bayangan mengerikan—sebuah sosok manusia yang dibuntal kain hitam, tubuh yang menggeliat dan memberontak, berusaha memutus lilitan tali yang mengekangnya. Tubuh patung perunggu ”The Lost One” (1998, patung perunggu, kain hitam, tali putih, 50 x 200 x 70 sentimeter) karya Sunaryo itu seperti meregang tanpa henti.

Judul ”The Lost One” yang dipilih Sunaryo menaut ingatan kepada pahitnya prahara negeri pada 1998—ketika kekerasan, penculikan, penembakan, pemerkosaan dan kerusuhan massal dijadikan senjata terakhir rezim militeristik Orde Baru untuk bertahan. Pemimpin Orde Baru, Soeharto, jatuh pada 21 Mei 1998, namun trauma atas berbagai prahara 1998 terus menghantui banyak orang. Tak terkecuali Sunaryo, yang sejak 1995 membangun Selasar.

”Tiba-tiba saya merasa malu kepada diri saya sendiri. Ketika seluruh negeri tengah diguncang prahara, saya malah akan membuka Selasar. Ketika itu saya bahkan muak melihat patung karya saya, malu. Saya sempat menimbang batal membuka Selasar. Suatu kali saya membungkus salah satu patung karya saya di Selasar dengan kain hitam. Ternyata itu mengurangi beban saya. Kian lama, kian banyak patung yang saya bungkus kain hitam, hingga akhirnya saya mantap membuka Selasar dengan pameran Titik Nadir,” ujar pematung yang juga pengajar Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB) itu.

Karya seniman Sunaryo yang dibungkus kain hitam saat dipamerkan di galeri utama di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Jawa Barat, Kamis (30/6). Karya ini merupakan bentuk refleksi diri kegamangan Sunaryo saat akan membuka galeri di saat riuh rendah kericuhan di Indonesia. Kompas/Rony Ariyanto Nugroho
Karya seniman Sunaryo yang dibungkus kain hitam saat dipamerkan di galeri utama di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Jawa Barat, Kamis (30/6). Karya ini merupakan bentuk refleksi diri kegamangan Sunaryo saat akan membuka galeri di saat riuh rendah kericuhan di Indonesia. Kompas/Rony Ariyanto Nugroho

Selasar Seni Sunaryo (sekarang Selasar Sunaryo Art Space) akhirnya diresmikan Direktur Jenderal Kebudayaan Prof Edi Sedyawati pada 5 September 1998. Dalam rentang waktu itu, ”The Lost One” tetap hadir di Selasar, berada di ruang pameran utama bersama sejumlah karya terpenting dalam laku seni panjang Sunaryo lainnya.

”The Lost One” itu awalnya sebuah patung perunggu berjudul Leleson (1996), menjadi satu dari banyak patung yang saya dulu bungkus kain hitam. Ketika KH Abdurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden RI, saya merasakan titik terang masa depan Indonesia. Satu-satu, saya membuka kain hitam pembungkus patung saya. The Lost One tetap terbungkus sebagai pengingat,” kata Sunaryo.

 

Tumbuh

Sejak dibuka pada 1998, Selasar menjadi ruang publik istimewa bagi beragam perhelatan seni karena memiliki kemegahan yang menyatu dengan lanskap perbukitan Bukit Pakar Timur.

Pengalaman Sunaryo sebagai penata lanskap dan kepiawaian arsitek Baskoro Tedjo menata tanah seluas 5.000 meter persegi itu dengan beragam fasilitas—sejumlah ruang pameran di gedung utama, sebuah amphitheater yang elok, Bale Handap sebagai ruang diskusi, dan Bale Tonggoh sebagai ruang pameran terbuka dan kantor pengelola Selasar.

Rumah Bambu, bangunan pertama yang didirikan Sunaryo, dipertahankan dan kerap menjadi tempat menginap bagi seniman yang tengah bermukim atau berpameran di Serambi. Belakangan, kedai Kopi Serambi menggenapi suasana Selasar sebagai ruang publik yang terbuka bagi siapa saja. Fasilitas lainnya, Pustaka Selasar dan Cinderamata Selasar yang menyusul belakangan. Baskoro Tedjo menerima penghargaan Ikatan Arsitek Indonesia Award 2002 atas keberhasilannya merancang Selasar.

Bale Bambu di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Jawa Barat, Kamis (30/6). Kompas/Rony Ariyanto Nugroho
Bale Bambu di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Jawa Barat, Kamis (30/6). Kompas/Rony Ariyanto Nugroho

Semua fasilitas itu menunjukkan bagaimana Sunaryo mengidamkan Selasar sebagai ruang bagi beragam aktivitas seni. ”Sejak 20 tahun lalu saya melihat, seni di masa mendatang tidak lurus melulu tentang seni. Seni akan merambah ke bidang-bidang lainnya. Maka, sejak awal saya membangun dewan kurator Selasar yang multidisiplin. Ada orang teater seperti Pak Saini KM, arsitek Yuswadi Saliya, ataupun Bambang Sugiharto yang Guru Besar Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, dan tentu saja orang-orang seni rupa,” kata Sunaryo.

Hari ini, hampir 18 tahun sejak Selasar pertama kali dibuka bagi publik, Selasar menjadi tempat beragam aktivitas seni. Mulai dari pameran seni rupa sebagaimana pameran tunggal seniman video Krisna Murti pada 15 April-8 Mei lalu misalnya, sampai beragam pertunjukan seperti pentas teater Peraih Hibah Seni Kelola 2016, Cut-Off pada 4-5 Juni lalu. Perupa, pelakon, penari, musisi, silih berganti hadir di Selasar.

Sebagai artspace yang bertitik berat di dunia seni rupa, sulit membilang berapa perupa kawakan yang pernah berpameran di Selasar. Namun, aktor Putu Wijaya, cerpenis Danarto, penari Sardono W Kusuma, hingga para musisi muda seperti Burgerkill ataupun Koil pernah mencicipi berpentas di Selasar.

 

Ruang belajar

Selasar juga semakin tumbuh dan berkembang menjadi ruang belajar yang terbuka. Tidak hanya menjadi tempat belajar di antara sesama seniman dan perupa, Selasar bahkan terus menggelar beragam program literasi seni bagi publik.

”Itu selalu menjadi tarik ulur dalam pengelolaan Selasar. Apakah Selasar ingin mencetak embrio seniman masa depan dengan mendekatkan seni kepada anak SD misalnya, ataukah Selasar mengejar pencapaian dengan mengusung para seniman avant-gardist. Fokus kepada para seniman avant-gardist lebih mudah. Tapi, literasi seni bagi anak-anak sekolah dasar penting untuk menciptakan pencinta Selasar dan pencinta seni di masa depan,” ujar Sunaryo.

Di Selasar, berjalan rutin program diskusi pameran seni rupa, seminar tentang beragam isu seni, gallery tour bagi para pengunjung—semuanya dijalankan dengan cuma-cuma. Sunaryo membiayai sendiri beragam program literasi seni di Selasar, mengantarkan beragam pemikiran, gagasan, dan segala riuh-redam medan seni rupa kepada publik awam seni.

Latar belakang Sunaryo sebagai pengajar FSRD ITB membuat ia memiliki pengetahuan dan jaringan luas untuk merancang program-program yang dikhususkan bagi seniman muda. Sunaryo berani melibatkan kurator muda seperti Agung Hujatnikajennong untuk merancang program bagi seniman muda. Sejak 2006, Selasar memulai program Bandung New Emergence (BNE) yang mencoba memetakan perkembangan seni rupa Bandung melalui perupa-perupa muda Bandung.

Sejak 2011, Selasar meluaskan jangkauan pencarian seniman muda keluar Bandung, menggelar program seniman mukim (residensi) bertajuk ”transit”. Tidak sekadar mencoba memetakan perkembangan di medan seni rupa Indonesia, setiap dua tahun sekali program seniman mukim transit memilih perupa-perupa muda berbakat, lalu mencoba menempa kematangan mereka melalui berbagai program diskusi dan proses kuratorial menuju sebuah pameran bersama. Terakhir, empat peserta transit#3—Fika Ria Santika, Kara Andarini, Aliansyah Caniago, dan Iabadiou Piko—tengah memamerkan karya terbaru hasil program transit#3 mereka di galeri ROH Project, Jakarta, pada 25 Juni hingga 16 Juli.

Selasar Sunaryo Art Space sendiri terus berdenyut dan tumbuh, menjadi ruang alternatif yang mewarnai Bandung. Setiap tahun, Selasar dikunjungi puluhan ribu wisatawan dari sejumlah wilayah di Indonesia. Bukan hanya merayakan seni bersama para kaum seni, Selasar merayakan seni bersama siapa saja.

 

Aryo Wisanggeni Genthong


 

Versi cetak artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 10 Juli 2016, di halaman 23 dengan judul “Selasar Sebuah Ruang Belajar”