7 Tradisi Unik Menyambut Hari Raya Idul Fitri di Indonesia

48
6512

SERPONG, KOMPAS CORNER — Indonesia, satu negara dengan belasan ribu pulau dan beribu suku. Masing-masing suku mempunyai ciri khas dan jati diri yang tak tergantikan alias unik. Keunikan tersebut dapat ditinjau dari berbagai macam hal, salah satunya ialah tradisi dalam menyambut hari raya beragama seperti hari raya Idul Fitri. Tiap suku memiliki caranya sendiri dalam mengucap syukur kepada Sang Khalik. Berikut beberapa tradisi unik di Indonesia dalam rangka menyambut hari raya Idul Fitri :

  1. Tradisi Pukul Sapu (Maluku Tengah)
Para pemuda yang terlibat di dalam tradisi Pukul Sapu saling menyerang satu sama lain dengan menggunakan lidi pohon enau.
Para pemuda yang terlibat di dalam tradisi Pukul Sapu saling menyerang satu sama lain dengan menggunakan lidi pohon enau.

Sesuai dengan namanya, pada tradisi ini para pemuda yang berasal dari desa Morela dan desa Mamala, Kabupaten Maluku Tengah saling berhadapan dengan menggunakan lidi dari pohon enau. Tradisi Pukul Sapu sendiri dilaksanakan secara rutin setiap 7 hari pasca lebaran. Para pemuda yang terlibat di dalamnya akan saling menyerang dalam kurun waktu 30 menit. Seusai pertarungan, setiap pemuda mendapatkan pengobatan secara khusus dari desanya. Pemuda yang berasal dari desa Morela akan memperoleh getah jarak sebagai obat penyembuh luka, sementara pemuda yang berasal dari desa Mamala menerima obat penyembuh luka yang terbuat dari minyak kelapa yang dicampur dengan pala dan cengkeh.

Meski tradisi ini dianggap membahayakan para anggotanya, namun tradisi Pukul Sapu dianggap mampu menjalin ikatan silaturahmi antara kedua desa dengan baik. Tradisi yang telah dilestarikan sejak abad ke-17 ini berhasil menyedot banyak perhatian dari wisatawan, baik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara.

 

  1. Tradisi Perang Topat (Nusa Tenggara Barat)
Tradisi Perang Topat yang umumnya didominasi oleh umat Islam dan umat Hindu  memiliki makna tersendiri.
Tradisi Perang Topat yang umumnya didominasi oleh umat Islam dan umat Hindu memiliki makna tersendiri.

Berbeda dengan tradisi sebelumnya, dalam tradisi Perang Topat warga Lombok saling berperang dengan melemparkan ketupat. Perang Topat sendiri diadakan dalam rangka mengucap syukur atas berakhirnya puasa sunah umat muslim di Lombok dan dilakukan 6 hari setelah hari raya Idul Fitri.

Sebelum melaksanakan Perang Topat, warga Lombok berziarah terlebih dulu ke makam para ulama. Umumnya, mereka berziarah ke Makam Loang Baloq di kawasan Pantai Tanjung Karang dan Makam Bintaro di kawasan Pantai Bintaro. Usai berziarah, prosesi Perang Topat dimulai dengan membawa sesajen berupa hasil bumi yang dilakukan oleh Suku Sasak dan tokoh umat Hindu di Lombok. Kemudian Perang Topatpun dimulai ketika waktu telah menunjukkan pukul 17.30, tepat dimana matahari mulai terbenam.

Tradisi Perang Topat sebagian besar diikuti oleh umat Islam dan umat Hindu di Lombok. Tak hanya mencerminkan toleransi beragama yang kuat diantara keduanya, namun tradisi Perang Topat sendiri juga mampu mengajak manusia untuk kembali merefleksikan jati dirinya.

 

  1. Tradisi Meriam Karbit (Pontianak)
Warga yang tinggal tepian Sungai Kapuas menyambut malam takbiran dengan membunyikan Meriam Karbit.
Warga yang tinggal tepian Sungai Kapuas menyambut malam takbiran dengan membunyikan Meriam Karbit.

Masyarakat yang mendiami tepian Sungai Kapuas menyambut malam takbiran dengan cara yang tak biasa. Mereka mengungkapkan rasa syukur dengan membunyikan Meriam Karbit yang berukuran 6 meter. Seiring berjalannya waktu, tradisi tersebut kini menjadi ajang perlombaan, dimana setiap kelompok warga yang memiliki meriam saling membunyikan meriam untuk selanjutnya dinilai oleh juri.

Meriam Karbit juga menyisakan sejarah yang tak kalah menarik. Berdasarkan kisah Kesultanan Kadriah Pontianak (1771-1808), raja pertama Pontianak, Syarif Abdurrahman Alkadrie sempat diganggu oleh hantu ketika membuka lahan tempat tinggal. Gangguan hantu-hantu tersebut akhirnya diatasi dengan membunyikan Meriam Karbit menjelang adzan maghrib. Bunyi dentuman Meriam Karbit ini bahkan mampu terdengar hingga radius lebih dari 3 kilometer.

 

  1. Tradisi Grebeg Syawal (Yogyakarta)
Setiap tanggal 1 Syawal, Gunungan Lanang akan dibawa menuju Masjid Gede Keraton Ngayogyakarta untuk didoakan.
Setiap tanggal 1 Syawal, Gunungan Lanang akan dibawa menuju Masjid Gede Keraton Ngayogyakarta untuk didoakan.

Upacara ritual yang rutin diadakan pada tanggal 1 Syawal ini ditandai dengan keluarnya Gunungan Lanang yang terdiri atas kumpulan hasil bumi. Gunungan Lanang tersebut lantas dibawa ke Masjid Gede Keraton Ngayogyakarta untuk didoakan. Gunungan sendiri merupakan simbol perwujudan sedekah dari Sultan kepada rakyatnya. Pada puncak ritual, warga sekitar memperebutkan isi dari Gunungan Lanang dengan harapan mendapat berkah dari Yang Maha Kuasa.

 

  1. Tradisi Ngejot (Bali)
Umat muslim di Bali merayakan Idul Fitri dengan membagikan makanan kepada tetangga sekitar.
Umat muslim di Bali merayakan Idul Fitri dengan membagikan makanan kepada tetangga sekitar.

Saat Idul Fitri berlangsung, umat muslim di daerah Bali merayakannya dengan memberikan hidangan pada tetangga sekitar terlepas dari latar belakang agama yang ada. Umat Hindu yang menerima pemberian pada hari raya Idul Fitri lantas membalasnya pada hari raya Galungan, hari raya besar Hindu yang memperingati kemenangan Dharma (kebaikan) atas Adharma(keburukan). Tradisi Ngejot sendiri sudah berlangsung sejak lama dan dapat dijumpai di desa-desa ataupun di daerah perkotaan di Bali.

Tradisi Ngejot bisa dikatakan sebagai perwujudan akulturasi antara budaya Islam dengan budaya Bali. Keterpaduan antara 2 budaya tersebut juga secara tak langsung menciptakan nada keharmonisan yang nampak di dalam toleransi antar umat beragama.

 

  1. Tradisi Bakar Gunung Api (Bengkulu)
Suku Serawai di Bengkulu membakar susunan batok kelapa menjelang malam takbiran.
Suku Serawai di Bengkulu membakar susunan batok kelapa menjelang malam takbiran.

Suku Serawai di Bengkulu juga menyambut Idul Fitri dengan cara yang unik. Pada malam takbiran, Suku Serawai dan masyarakat sekitar akan membakar susunan batok kelapa yang menyerupai tusuk sate. Pembakaran batok kelapa tersebut merupakan simbolis atas ungkapan syukur kepada Sang Khalik dan sebagai doa bagi para arwah keluarga agar tentram di dunia akhirat.

 

  1. Tradisi Tumbilotohe (Gorontalo)
Kota Gorontalo seketika menjadi meriah dan bercahaya menginjak hari ketiga sebelum Idul Fitri berakhir.
Kota Gorontalo seketika menjadi meriah dan bercahaya menginjak hari ketiga sebelum Idul Fitri berakhir.

Menjelang Idul Fitri, suasana kota Gorontalo mendadak berubah menjadi meriah dan bercahaya. Kota Gorontalo akan dipenuhi dengan pencahayaan lampu botol minyak yang dipasang oleh warga muslim Gorontalo yang dimulai sejak 3 hari sebelum Idul Fitri berakhir. Uniknya lagi, tradisi pasang lampu ini tetap dilakukan oleh warga muslim Gorontalo meski mereka tak lagi menempati daerah Gorontalo.

Adapun jumlah lampu yang dipasang untuk setiap satu keluarga disesuaikan dengan jumlah anggota keluarga. Disamping memperingati hari raya Idul Fitri, tradisi yang telah diturunkan sejak abad ke-15 ini juga bertujuan untuk mengapresiasi umat muslim yang sudah menjalankan puasa dengan baik.

Selain 7 tradisi yang telah disebutkan diatas, masih banyak tradisi lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia. Tradisi tersebut tentunya tak bisa dibandingkan satu sama lain, karena semuanya memiliki keunikan serta makna tersendiri.

 

Penulis : Elisabeth

Referensi : travel.kompas.com, tribunnews.com, unikaneh.net, antaranews.com, wisatadilombok.com, antarasulut.com, rappler.com, tribun-maluku.com

Editor : Editorial Kompas Corner UMN

Comments are closed.