Ruangan kosong dengan beberapa barang berserakan tak menghalangi sekelompok mahasiswa berdiskusi di sana. Dengan penuh semangat, di tengah sebaran beragam buku, mereka membahas sebuah buku. Alhamdulillah, ternyata buku belum ditinggalkan anak-anak muda. Tidak cuma membaca, minat menulis pun masih ada dan terlihat jejaknya.
Kenyataan itu cukup menggembirakan di tengah informasi yang memprihatinkan baru-baru ini. Bayangkan, menurut hasil survei The World’s Most Literate Nations, tingkat literasi Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara yang disurvei.
Indonesia berada di bawah Thailand (peringkat ke-59) dan Malaysia (ke-53). Di antara negara-negara Asia Tenggara, Singapura meraih peringkat tertinggi (ke-36). Adapun posisi pertama ditempati Finlandia.
Namun, tak perlu khawatir berlebihan. Geliat literasi masih ada, kok, di kalangan mahasiswa, tinggal ditingkatkan saja. Ini terlihat di Kampus Universitas Indonesia (UI). Sekelompok mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI membentuk Jingga Book Club. Dengan fasilitas sederhana, mereka berkumpul di salah satu ruangan kegiatan mahasiswa FISIP.
Sore itu, pertengahan Mei lalu, salah satu anggota klub, Ryani Sisca Pertiwi, membahas buku cerita The Little Prince yang sudah dibaca berulang kali sejak dia masih duduk di bangku SMP. Sisca menceritakan kembali isi buku yang ditulis Antoine De Saint-Exupéry tahun 1943 itu. Sementara teman-temannya mendengarkan sambil sesekali menimpali luncuran kalimat-kalimat Sisca.
Di tengah-tengah mereka terdapat beberapa buku, seperti Catatan Pinggir milik Goenawan Mohamad, Lelaki Harimau (Eka Kurniawan), Life of Pi (Yann Martel), dan buku terbaru Tidak Ada New York Hari Ini (Aan Mansyur).
Jingga Book Club digagas oleh mahasiswa FISIP UI, Luthfi Amri, yang mempunyai hobi membaca. ”Awalnya kami sering saling tukar buku. Biasanya setelah aku cerita buku ini bagus, pasti ada yang pengin pinjam. Lalu, kami mengusulkan komunitas ini dilembagakan saja supaya motivasi mencintai buku lebih besar lagi,” kata Lutfi.
Kelompok pencinta buku ini pun terbentuk pada pertengahan Februari 2016. Dengan anggota sekitar 15 orang, mereka ingin menjaga jiwa dan semangat mencintai buku. Tidak hanya bertukar buku atau berdiskusi, mereka pun sering berburu buku bersama-sama, baik buku bekas maupun baru.
Tidak hanya pergi ke toko buku, tetapi jika ada buku yang menarik di toko online, mereka tak segan untuk membelinya. Bahkan, Luthfi pernah memesan buku ke Shopping Centre, Yogyakarta.
”Kalau ada uang, ya, kami beli. Tapi, lebih sering, sih, meminjam buku atau tukaran sama teman,” kata Sisca.
Cara berbeda
Reno Azwir menggagas Khatulistiwa Muda untuk mengajak anak-anak muda mencintai literasi. Dengan cara berbeda, dia ingin membantu generasi muda tak hanya suka membaca buku, tetapi juga menulis. Dia mengajak anak-anak untuk mengunjungi berbagai tempat bersejarah.
”Awalnya tidak sengaja. Saya yang mengajar teater di sebuah SMA didatangi beberapa siswa. Mereka bertanya apa yang dilakukan setelah lulus SMA. Saya jawab, kalau mau hidup, ya, tampil di masyarakat, bikin sesuatu,” kata Reno.
Kalimat itu memicu anak didiknya untuk berbuat sesuatu. Tahun 2011, ketika Reno bersama beberapa siswa SMA sedang berkumpul di sebuah masjid di Tangerang, tebersit ide membuat komunitas literasi dengan nama Khatulistiwa Muda.
”Kami memulai dengan sama-sama belajar menulis. Lama-kelamaan berkembang, kami membuat lokakarya untuk anak-anak SMA, membuat gerakan dalam keterbatasan,” ujar Reno yang sudah menulis beberapa buku, seperti Matahari Semesta dan #SaveKPK #SavePolri Save Indonesia.
Lokakarya pertama kali mengambil tempat di Hutan Kota BSD, Serpong, Tangerang Selatan, yang tak perlu mengeluarkan biaya. ”Saya mengajarkan, untuk menjadi pintar tak perlu Google, kita bisa belajar dari alam. Hal itu yang selalu saya tanamkan kepada mereka,” kata pria kelahiran 1982 ini.
Untuk mencari bahan tulisan, Reno mengajak anggota komunitasnya berkunjung ke tempat-tempat bersejarah, misalnya ke situs kuno di Palabuhanratu dan Danau Purba Bandung. Beberapa anggota komunitas dengan swadaya juga mengunjungi daerah-darah lain. Setelah pulang, mereka harus menulis artikel.
Khatulistiwa Muda ingin memperbesar kiprahnya untuk bangsa dengan menggelar lomba menulis esai Tribute to Soekarno dengan tema ”Manusia Indonesia Pertama”. Lomba menulis ini dimulai 6 Juni sampai 6 Agustus 2016. ”Kami memilih tema ini karena ingin memberi semangat kepada generasi muda sekaligus menghargai perjuangan presiden pertama RI,” ujar Reno.
Tantangan
Budaya literasi juga tumbuh di kafe Ranah Kopi di kawasan Margonda, Depok. Di kafe ini, beberapa komunitas membuat pertemuan, mulai dari mengobrol hingga duduk di pojok kafe untuk menulis. Di beberapa sudut kafe terdapat tumpukan buku-buku inspiratif.
Setiap sisi tembok dicoreti mural yang bisa menjadi spot menarik untuk dinikmati. Suasana kafe yang tak terlalu ramai juga membuat hati tenang. Deru kendaraan di jalan raya tak terlalu bising terdengar di telinga. Komunitas yang datang untuk berkegiatan tak perlu menyewa ruangan dengan harga mahal, cukup dengan pembelian minimum.
Kalau suasana kafe mendukung seseorang untuk berkarya, itu tidaklah mengherankan. Maklum, pendiri kafe, Muadzin Furqanul Jihad, pernah menulis buku Follow Your Passion. Buku itu hasil jawaban tantangan dari komunitas Akademi Berbagi.
”Saat itu, saya ikut kegiatan Akademi Berbagi. Peserta ditantang untuk menulis buku dalam waktu 30 hari. Saya bersama empat orang lainnya menyanggupi tantangan itu dan hanya buku saya yang diterbitkan,” kata Muadzin.
Bukan hal mudah bagi Muadzin yang sudah memulai bisnis kopinya sekitar empat tahun lalu. Sebelumnya, dia memang mempunyai blog berisi kisah-kisah inspiratif. ”Lalu, saya mengumpulkan tulisan-tulisan saya untuk menjadi buku,” ujar Muadzin yang bukunya telah dicetak dua kali oleh Trans Media.
Bukan hanya Muadzin, istrinya, Oka Aurora, juga seorang penulis. Oka menulis skenario filmStrawberry Surprise dan film Ada Surga di Rumahmu.
Jadi, kapan kalian terakhir kali membaca buku? Kapan memulai untuk menulis buku?
Susie Berindra
Versi cetak artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 17 Juni 2016, di halaman 24 dengan judul “Jangan Tinggalkan Bukumu”
Kemampuan dan minat literasi kita bisa meningkat hanya dimungkinkan melalui penciptaan ruang kerja sama yang intens antara semua pihak. Bukan saatnya lagi bagi kita untuk saling menuding – bahwa, minatnya rendah baca di kalangan rakyat Indonesia disebabkan kelalaian pihak tertentu. Ada orang yang apatis dan menganggap spele pentingnya membaca tentu ada. Tetapi tidak berarti dengan begitu kita cuek dan tidak mengambil pusing dengan persoalan semacam ini. Sebab, sebagai sebuah bangsa kita tidak berjalan sendiri. Kita membutuhkan kerjasama yang itens untuk membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik. Mengambil bagian untuk membantu mereka yang didera sikap apatis dan tidak respek dengan dunia literasi adalah cara kita mempertahankan keadaban kita sebagai sebuah bangsa. Dengan membaca kita bisa mendapat sejumlah pengetahuan yang dengan sendirinya menyanggupi kita berhadapan dengan tantangan dunia sekarang yang membutuhkan ketelitian dan daya serap yang tinggi. Karena itu, mari kita bergandeng tangan, memastikan dunia literasi kita tidak berakhir sampai di sini. Kita mesti selangkah lebih maju untuk memperbaiki taraf dan kualitas dunia literasi kita.
Comments are closed.