Sejumlah enam perupa muda—Ardi Gunawan, Ari Dina Krestiawan, Lala Bohang, Muhammad Taufiq, Reza Mustar, dan Vera Lestafa—berulah lewat #pameranruangtunggu di Edwin’s Gallery, Jakarta. Mereka bersama-sama membangun sebuah pameran seni rupa tanpa satu pun suguhan rupa, seperti main-main, tetapi bermain-main dengan serius.

Di pelataran belakang Edwin’s Gallery di Jakarta, Amalia Wirjono, inisiator berbagai perhelatan seni rupa di Indonesia, membuat perkenalan serba ringkas demi mengantar pembukaan #pameranruangtunggu, Kamis (2/6). Ia memanggil enam orang muda—Ardi Gunawan, Ari Dina Krestiawan, Lala Bohang, Muhammad Taufiq, Reza Mustar, dan Vera Lestafa—menembus kerumunan orang yang berjubel, menanti dibukanya pintu galeri.

”Tidak usah berlama-lama lagi, ya. Kita buka saja ruang galerinya,” ujar Amalia, mengajak keenam empunya hajat mendekati tirai penutup pintu ruang geleri.

”Cara membukanya bagaimana, nih, Pak Edwin?” Amalia menyapa Edwin Rahardjo, si pemilik galeri yang juga Ketua Asosiasi Galeri Seni Indonesia. ”Diketuk pintunya, ya, Pak Edwin?” Amalia tertawa.

Tirai penutup pintu belakang Edwin’s Gallery tersibak, pintu kacanya pun terbuka. Amalia mempersilakan puluhan pengunjung memasuki ruang pamer salah satu galeri paling berpengaruh di Jakarta ini. Publik pun antusias, setengah berebut menjadi orang pertama yang menonton karya keenam perupa muda.

Enam perupa yang ”malas” atau setidaknya jarang berpameran seni di galeri komersial tiba-tiba hadir di Edwin’s Gallery, galeri komersial yang telah menjadi ikon medan seni rupa Indonesia sejak 1984. Sebagian pengunjung begitu penasaran, seperti apa para perupa yang berlainan langgam dan medium berkarya disatukan dalam satu pameran? Juga penasaran berapakah harga karya para perupa hingga berpameran di Edwin’s Gallery?

Rasa kacau, wajah bingung, mulut melongo segera bertebaran di antara para pengunjung di dalam ruang pameran. Bisik-bisik terdengar samar di antara para pengunjung yang mencoba menata diri dengan berdiri berjajar di depan dinding-dinding ruang pameran Edwin’s Gallery yang kosong melompong. Ketika Edwin Rahardjo memasuki ruang galeri, dengung bisik-bisik yang samar nyaris lenyap, digantikan ketegangan menunggu apa gerangan suguhan #pameranruangtunggu. Tetapi, Edwin melenggang tanpa kata-kata.

Satu-dua perupa yang berpameran terlihat melintasi ruang pameran, juga tanpa berkata-kata. Mereka hanya berlalu-lalang, hanya membalas sapaan dengan senyum, lalu menyusupkan diri di balik para pengunjung yang tak mereka kenal. Hingga lima menitan berlalu, barulah semua yakin bahwa #pameranruangtunggu memang kosong, tanpa rupa.

Lalu dengung bisikan ditimpa celoteh riang dan lantang, saling sapa di antara teman lama atau perdebatan tentang apa yang sedang terjadi dalam #pameranruangtunggu. Lalu, satu dua pengunjung berfoto di antara tata cahaya apik ruang pameran, disusul puluhan lainnya. Muhammad Taufiq, salah satu empunya hajat, tersenyum-senyum.

”Nah, tidak ada bedanya dengan pembukaan pameran yang benar-benar menghadirkan karya seni rupa, kan?”

 

Main-main serius

Ya, keenam perupa muda tersebut memang sedang bermain-main dengan ”seni”, ”ruang pameran”, ”galeri”, dan ”pengunjung pameran” sedang bermain-main dengan serius.

Pameran ini digelar dengan pengorganisasian pameran yang serius. Para perupanya sudah berdiskusi panjang sejak awal tahun ini, berdebat tentang bagaimana menghadirkan #pameranruangtunggu.

”Kami geregetan mendapati pembukaan pameran seni rupa selalu menemukan ritual klasik. Orang saling bertemu, mengobrol berlama-lama, beriang-riang dengan sesama pengunjung, berfoto-foto. Karya seni rupanya terlupakan. Kami punya gagasan ini sejak tiga tahunan lalu, terlupakan, tetapi tak kunjung digarap orang. Ya, kami jalankan,” kata Reza Mustar.

Perdebatan sempat terjadi, antara lain perlu tidaknya memberikan karya kepada pengunjung yang pulang, atau membiarkan pengunjung pulang tanpa karya apa pun. Hingga tersepakati menghadirkan kekosongan. Undangan dikirimkan kepada khalayak sejak 25 Mei. Pada malam pembukaan, para pengunjung disuguhi beragam santapan, dihibur permainan musik Stars and Rabbit, Bedchamber, dan Gemalara.

Kalau saja pameran seni rupa tanpa satu pun wujud rupa itu dihadirkan di galeri eksperimental semacam RURU Gallery RuangRupa atau Serrum Studio, pastilah main-main keenam perupa itu terasa garing kalau bukan malah mudah diterka. Kalaupun yang datang terkejut karena pamerannya melompong, rasanya kebanyakan pengunjung bakal berujar, ”Ruang Rupa ya begitu” atau ”maklumlah kalau Serrum Studio”.

Demi main-main yang serius, keenam perupa itu sengaja memilih Edwin’s Gallery, yang relatif jarang berurusan dengan ”aksi main-main”. Apresiasi harus diberikan kepada Edwin Rahardjo, galeris super sibuk yang tiba-tiba merelakan seluruh asosiasi dan persepsi khalayak seni rupa terhadap galerinya dijadikan ”alat kecoh” #pameranruangtunggu.

”Saya menikmati malam ini,” kata Edwin tertawa. ”Baru pekan lalu kita digegerkan ulah dua remaja meninggalkan kacamata di lantai San Francisco Museum of Modern Art dan pengunjung mengira kacamata itu karya seni. Malam ini saya melihat beragam reaksi pengunjung #pameranruangtunggu dan itu menarik,” tutur Edwin terkekeh.

Nyatanya, para pengunjung tetap menganggap #pameranruangtunggu keren. ”Saya berharap akan lukisan atau apalah. Ternyata ini seperti ruang tunggu, kosong. Sesuai dengan temanya, #pameranruangtunggu, dan kita disuruh menunggu di ruang yang secara harfiah seperti ruang tunggu. Unik sekali. Ya sudahlah, ini namanya seni, sesuai dengan konsep dan temanya, keren,” tutur Windy Dwi Hapsari (20) semringah.

Laras Sardi (22) adalah salah satu pengunjung yang menggenapkan aura #pameranruangtunggu itu hingga benar-benar menyerupai pembukaan pameran seni rupa, dengan cara berfoto-foto di banyak sisi dan sudut ruang pameran. ”Jika ruang kosong itu bukan galeri, mungkin saya tidak akan berpikir apa-apa tentang kekosongan itu, dan tidak akan mencari tahu. Karena ini galeri seni, saya menafsirkannya. Ruangan ini tiba-tiba seperti sebuah kanvas kosong, dan kita bisa menafsir dengan ide dan imajinasi kita sendiri, bebas berkreasi sendiri. Selfie, yaaa, ha-ha-ha, betul sekali,” kata Laras.

Keenam perupa menjanjikan karya rupa yang dibangun dari peristiwa di ”ruang tunggu” itu, tetapi merahasiakan seperti apakah nantinya karya rupa tersebut. Sementara Edwin memantik satu pertanyaan mendasar. ”Jika ada yang menyebut #pameranruangtunggu sebagai karya seni, silakan saja, bukan saya yang menyatakan. Apa yang terjadi ini bisa menjadi diskusi menarik, tentang bagaimana publik mempersepsikan dan mengapresiasi seni rupa,” tuturnya.

ARYO WISANGGENI G