Cerpenis atau penulis cerita pendek selalu menjadi orang yang bekerja dalam kesunyian. Dari kesunyian proses berkarya lahir cerpen yang membawa pengembaraan ke alam fantasi. Kini, cerpen tak lagi memperoleh banyak ruang untuk ditampilkan di media massa. Masa depan cerpen seolah ada di ujung tanduk.

Malam Jamuan Cerpen Pilihan Kompas 2015 yang digelar dalam rangkaian 51 tahun harian Kompas, Selasa (31/5) menjadi ”panggung” yang dinanti-nanti cerpenis. Tak sekadar malam untuk meraih penghargaan bagi cerpen terbaik Kompas, ajang ini juga selalu menjadi wadah temu kangen dan menebarkan kegairahan menulis karya.

Tak banyak yang tahu bagaimana proses kreatif pembuatan cerpen. Proses kreatif seorang sastrawan, termasuk cerpenis, selalu menjadi rahasia yang menarik bagi khalayak penggemar sastra. Pada Malam Jamuan Cerpen Pilihan Kompas 2015, rahasia kreatif itu terkuak. Mereka tidak sekadar beraksi langsung di hadapan publik dalam mengetikkan kata demi kata, tetapi juga berkolaborasi menciptakan karya cerpen.

Kolaborasi cerpen yang terlahir pada malam itu juga akan diterbitkan menjelang ulang tahun harian Kompas pada 28 Juni mendatang. Wartawan Kompas, Bre Redana, yang menjadi ”koki” jamuan mempersilakan Agus Noor sebagai cerpenis pertama yang menulis cerpen kolaborasi.

Sambil duduk menghadap layar laptop di panggung, Agus Noor lantas bercerita bahwa ia akan mengangkat sosok Tohari, cerpenis yang karyanya malam itu meraih penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2015. Malam jamuan dihadiri 21 dari 23 cerpenis yang cerpennya dipilih masuk buku

Kompas/Lucky Pransiska
Kompas/Lucky Pransiska

Agus Noor mengetik: ”Tohari, pengarang tua itu, gemetar memandang surat yang baru saja diterimanya. Dari Menteri Pendidikan Indonesia, ia akan mendapatkan hadiah 100 juta. Astagfirullah, itu uang yang tak pernah dibayangkan. Tumben, pemerintah ngasih hadiah sebesar itu.”

Dewi Ria Utari melanjutkan paragraf selanjutnya. Ia tidak butuh waktu lama meneruskan imajinasi Agus Noor. Giliran selanjutnya adalah Jujur Prananto yang juga seorang penulis skenario film. Tampaknya ia butuh waktu lebih banyak dari yang lainnya. Tantangan memang lebih berat dari pendahulu yang bebas menuangkan gagasan.

Surat Menteri

Putu Wijaya melanjutkan paragraf dengan dibantu Agus Noor yang mengetikkan gagasannya ke laptop. Kondisi kesehatan menyulitkan Putu untuk naik ke atas panggung. Ia pun dengan lantang mendiktekan buah pikirannya. ”Tetapi, tiba-tiba ponsel Pak Tohari berbunyi, langsung yang bicara Pak Menteri. ”Maaf, Pak Tohari, hadiahnya dicabut. Tolong ini hanya mimpi saya. Lebih baik mimpi besok malam. Mimpi kamu sendiri. Hadiahnya mungkin 1 miliar.”

Tawa segera bergemuruh ketika paragraf usai. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan yang hadir di ruangan Bentara Budaya Jakarta itu diminta memberi judul cerpen ini. Ia mengangguk-angguk, lantas tertawa setelah membaca paragraf-paragraf yang sudah jadi. Jarinya mulai menyentuh papan ketik, tetapi tidak ada huruf yang keluar di layar setelah bermenit-menit sambil menaikturunkan layar laptop. ”Lebih gampang bikin Permendikbud daripada judul (cerpen),” kata Anies disambut tawa hadirin.

Anies butuh waktu hampir 6 menit untuk membuat judul yang sreg setelah beberapa kali menggantinya. ”Surat Menteri dan Mimpi Pengarang Tua” menjadi pilihan Anies. ”Ini mungkin terjadi di mana-mana, mungkin ya. Harapan diberi oleh pemerintah, kenyataan dicabut oleh pemerintah,” kata Anies yang disambut tawa.

Sebelumnya, Tohari dalam gilirannya membaca cerpen karyanya memang sempat membacakan pesan singkat dari staf khusus Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam gelaran ini, selain menulis karya, setiap cerpenis juga mendapat waktu masing-masing tiga menit untuk membacakan cerpen karyanya. Dalam pesan yang dibacakan langsung dari telepon seluler Tohari tersebut, staf khusus tersebut mengatakan bahwa buku Tohari sudah diterima dan akan diteruskan kepada Pak Menteri. ”Siapa tahu buku saya bisa memberi manfaat bagi para murid. Semoga buku saya sampai,” kata Tohari.

Kompas/Riza Fathoni
Kompas/Riza Fathoni

Tohari lantas membacakan cerpennya, ”Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta?”, yang meraih penghargaan. ”Cerpen saya ini sangat tidak sopan kalau untuk ukuran Kompas. Kok, dimuat, malah dijadikan pemenang. Ini, kan, sangat memukul saya. Ini tentang sepasang gelandangan dengan anak lima tahun, penghuni rel kereta,” tambahnya.

Ruang bagi Cerpen

Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo mengatakan, Kompas senantiasa memberi ruang bagi lahirnya cerpen-cerpen baru sejak 1970. ”Kompas tiada henti tetap memberi ruang lahirnya cerpen. Mencermati cerpen di Kompas mencerminkan suasana hati cerpenis itu sendiri. Sulit membedakan fiksi atau bukan. Seperti realitas sosial yang ditulis dalam cerpen. Kompas akan mempertahankan cerpen, 46 tahun cerpen Kompas jadi pengalaman berharga. Pada era digital, Kompas tetap hadir. Sumbangan cerpen menjadi bagian tak terpisahkan mengawal dan menyertai perubahan itu sendiri,” kata Budiman.

Gde Aryantha Soethama, yang juga meraih Penghargaan Kesetiaan Berkarya pada Malam Jamuan Cerpen Pilihan Kompas 2015, berharap rubrik ”Cerpen” di Kompas Minggu tetap dipertahankan untuk mengetahui perkembangan prosa di Tanah Air, juga sebagai cerminan dari kehidupan masyarakat.

”Tradisi penghargaan cerpen ini jangan sampai hilang. Dimuat di Kompas, pertanda bahwa karya sudah diterima masyarakat. Penghargaan cerpen sekaligus menjadi inisiasi penulis baru,” kata Linda Christanty, peraih Khatulistiwa Literary Award 2004 dan 2010 serta SEA Write Award 2013, yang karya pertamanya dimuat di Kompas pada 1989 ketika usianya kala itu baru 19 tahun.

Meskipun dikemas sederhana, seperti kata Bre Redana, kesederhanaan bukan refleksi ngirit. Hakikat seni memang terletak pada kesederhanaannya. Dalam balutan sederhana, para cerpenis tetap memperlihatkan kekayaan ide.

Mawar Kusuma & Sri Rejeki


Versi cetak artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 5 Juni 2016, di halaman 26 dengan judul “Panggung Para Cerpenis”