Dunia Buku: Gerilya Membangun Ruang Baca

0
2289

Apa yang kamu bayangkan tentang Makassar? Wajah ibu kota Sulawesi Selatan itu kerap muncul di televisi lewat unjuk rasa yang rusuh, bakar ban, atau tawuran antarmahasiswa. Lewat ruang-ruang baca, sebagian kaum muda di Makassar bergerilya menawarkan identitas baru: kota literasi.

Makassar panas, Selasa (17/5) siang itu. Setelah berputar-putar, kami akhirnya menemukan satu rumah bersahaja yang menyempil ”aneh” di tengah perumahan BTN Wesabbe di Tamalan Rea. Tak jauh dari kampus Universitas Hasanuddin, Makassar. Kaca jendela bangunan itu dipenuhi coretan kata-kata. Dindingnya dihiasi mural yang sudah berlumut dengan gambaralien bersayap mungil. Di sampingnya tertera coretan ala kadarnya, ”Kedai Buku Jenny… Almost Book Shop”.

Masuk ke dalam, ada ruangan kecil, sekitar 4 meter x 3 meter, yang berisi rak, kardus, atau meja penuh buku, kaset, CD, dan kaus. Lalu ada ruang kecil lagi dengan lebih banyak rak yang disesaki buku. Di salah satu rak tertempel kertas oranye bertuliskan ”Get Lost in the Library”.

”Itu toko bukunya. Yang ini perpustakaannya,” kata Harnita Rahman (31), Direktur Kedai Buku Jenny (KBJ), seraya menunjuk dua ruang kecil itu.

Berbeda dengan tampilan umumnya perpustakaan yang rapi atau toko buku yang mentereng di pusat perbelanjaan, KBJ lebih menyerupai rumah mahasiswa yang bersahaja. Harnita bercerita, kondisi itu juga akibat keterbatasan dana untuk mengontrak rumah.

Didirikan bersama suaminya, Zukhair Burhan (35), serta dua sahabatnya, Asyari Mukrim (27) dan Aswin Baharudin, tahun 2011, kini KBJ sudah lima kali pindah tempat. Awalnya, kedai itu di blok lain di perumahan Wesabbe, lalu pindah ke kawasan Panakkukang, lantas ke perumahan Budidaya Permai, kemudian ke kompleks Asal Mula, sampai akhirnya kembali ke Wesabbe. Kedai itu berpindah-pindah karena mencari biaya sewa rumah yang paling murah. ”Kami tidak menunggu punya gedung dulu, baru membuat ruang baca. Kami punya gagasan dan semangat, lalu berusaha mewujudkannya,” kata Harnita.

Namun, kondisi kedai dan perpustakaan yang sederhana itu justru menjadi lebih ramah kepada semua kalangan. Kini ada sekitar 80 anggota yang aktif membaca atau berdiskusi di KBJ. Mereka umumnya para mahasiswa. ”Siapa saja yang datang kami sambut sebagai keluarga,” lanjutnya.

Belasan ruang baca

KBJ adalah salah satu dari belasan rumah baca yang tumbuh di Makassar beberapa tahun belakangan. Tak jauh dari KBJ, misalnya, masih di perumahan BTN Wesabbe, ada dua ruang baca lain, yaitu Katakerja dan Kafe Dialektika.

Selain itu, masih banyak ruang baca lagi. Sebut saja Kampung Buku, Komunitas Literasi Makassar, Rumah Baca Philosophia, Cara Baca, Taman Baca Anak Bangsa, Rumata, Pecandu Buku, Pondok Baca, Makassar Indie Book, Kelas Menulis Kepo, Malam Puisi Makassar, Ruang Baca Antara, dan Dino Pustaka. Sebagian besar berada di dekat kampus, seperti Universitas Hasanuddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, dan Universitas Muslim Indonesia (UMI). Komunitas itu digerakkan kaum muda, terutama mahasiswa.

Pustakawan Katakerja, M Aan Mansyur (34), menceritakan, kelahiran ruang baca dipicu kegelisahan sejumlah aktivis terhadap unjuk rasa pasca Reformasi 1998 yang riuh, tetapi begitu-begitu saja. Perlu forum untuk kembali membaca, mempertajam gagasan, berdiskusi. Lalu, tahun 2000, lahirlah komunitas Ininnawa. Empat tahun kemudian muncul Kafe Baca Biblioholic dan sejumlah ruang baca lain. Sempat meredup, komunitas semacam ini lantas bermunculan lagi tahun 2010.

Suasana di perpustakaan Katakerja di Wesabbe, Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (16/5) lalu. Tak hanya untuk baca,  tempat ini juga jadi ruang pertemuan kaum muda kreatif di kota tersebut. Kompas/Ilham Khoiri
Suasana di perpustakaan Katakerja di Wesabbe, Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (16/5) lalu. Tak hanya untuk baca, tempat ini juga jadi ruang pertemuan kaum muda kreatif di kota tersebut.
Kompas/Ilham Khoiri

Ruang-ruang baca itu membuka akses luas bagi publik untuk menjamah berbagai buku. Siapa saja bisa datang untuk membaca atau meminjam buku secara gratis. Lebih dari itu, tempat itu bisa menjadi ruang alternatif bagi kaum muda untuk bertemu, belajar, bertukar pikiran, dan menggarap kerja-kerja bersama untuk memajukan masyarakat.

”Ini bukan urusan kampanye baca-tulis lagi, tapi soal manusia. Buku mempertemukan banyak orang untuk mendiskusikan berbagai hal,” kata Aan Mansyur.

Ruang-ruang baca itu memang mempertautkan jejaring dari berbagai kelompok anak muda untuk mengkaji beragam masalah, dari lokal, nasional, hingga internasional. Sekat-sekat antarkelompok kreatif—seperti sastra, musik, teater, seni rupa, dan tari—pun melebur dalam kerja kreatif. Semangat itu terasa dalam perayaan literasi yang rutin digelar kaum muda di Fort Rotterdam setiap tahun sejak 2011, yaitu Makassar International Writers Festival (MIWF). Tahun 2016, festival berlangsung 19-21 Mei ini.

Menyusun narasi sendiri

Tak hanya ngobrol, ruang-ruang baca itu menerbitkan sendiri gagasan mereka dalam bentuk buku. Mereka membiayai produksi buku lewat patungan, mencari donasi, atau bekerja sama dengan pihak lain. Mereka terbiasa menekan pengeluaran agar lebih murah.

Beberapa komunitas membidik tema-tema tertentu untuk penerbitannya. Penerbit Ininnawa dan Tanahindie, misalnya, banyak melahirkan buku terkait budaya dan sejarah kota.

Anwar Jimpe Rachman, penanggung jawab Tanahindie, mengungkapkan, komunitasnya bertekad mengarsipkan pengetahuan tentang kebudayaan lokal. Dokumentasi itu diharapkan bisa jadi rujukan bagi warga atau siapa saja yang tertarik meneliti Makassar dan budaya Sulsel.

”Dengan menerbitkan buku-buku sendiri, kami menjadi subyek yang menyusun narasi atau identitas kebudayaan kami sendiri,” kata Anwar.

Tumbuhnya ruang-ruang baca yang disertai diskusi dan penerbitan di Makassar menggambarkan tekad kaum muda setempat untuk menjadikan kawasan itu sebagai kota literasi. Ini hanya semacam stasiun awal yang potensial memantik berbagai bentuk kreativitas berikutnya. Kita tunggu saja.

(IAM/ENG)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Mei 2016, di halaman 24 dengan judul “Dunia Buku Gerilya Membangun Ruang Baca”