Untung dari Kisah Cinta Menggantung

0
1069

Dwita Adhania (26), karyawan salah satu stasiun televisi swasta, rela menonton ”Ada Apa dengan Cinta (AADC) 2” hingga dua kali. Ia mengaku penasaran dengan akhir kisah itu. Ia, yang pertama menonton ”AADC” saat berusia 12 tahun, antusias menanti pemutaran sekuel film yang dibintangi Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra karena akhir cerita di film pertama yang menggantung.

Film AADC 2 dapat menjawab semua pertanyaan para penonton film pertama, mulai dari hubungan Cinta dan Rangga, hingga bagaimana kehidupan tokoh-tokoh lainnya,” ujar Dwita. Selain menonton, Dwita juga membeli pernak-pernik AADC 2 berupa mug.

Haidar Manggala (23), mahasiswa salah satu perguruan tinggi negeri, juga terpuaskan dengan pemutaran AADC 2. Meski kisahnya sederhana, film ini, menurut dia, kaya akan dialog berkualitas. Kekayaan dialog dalam film ini membuatnya membeli buku puisi. Ia penasaran dengan makna dari puisi yang dibaca Rangga.

Dwita dan Haidar hanyalah dua orang dari jutaan penonton film ini. Delapan hari tayang di bioskop, film AADC 2 mengumpulkan lebih dari 3 juta penonton. Pada hari pertama ditayangkan, 28 April, AADC 2 diputar di 183 layar di banyak kota di Indonesia. Penggemar tokoh Cinta dan Rangga di luar negeri juga kebagian. Film AADC 2 tayang pula di Malaysia dan Brunei.

Kehebohan AADC 2 dimulai sejak tahun lalu. Pada Hari Film Nasional, 9 Maret, Mira memajang gambar angka dua lewat akun Twitternya. Responsnya menghebohkan. Publik diyakinkan bahwa sekuel dari film 14 tahun lalu itu bakal ada. Gagasan melanjutkan AADC mencuat pada 2012 ketika tim produksi film beserta para pemain AADC reuni merayakan 10 tahun penayangan AADC.

”Kami (Mira dan para pemain AADCketemuan enggak pernah putus. Waktu itu bikin acara reuni dengan memutar film AADC pertama di hari Valentine. Kami mengundang 100 penggemar melalui kuis di Twitter. Gila, penggemarnya masih fanatik, ya,” ujar Mira.

Beberapa bulan sebelum itu, aplikasi obrolan Line membuat dan menyebarkan mini drama AADC yang juga menyulut perbincangan orang. Mini drama garapan Line itu dianggap Mira sebagai pengobat rasa kangen penggemar terhadap film kesukaan mereka.

Baru pada 2014, tim Miles Films punya waktu luang untuk mengembangkan jalinan cerita baru. Ide pengembangan cerita dipikirkan bersamaan dengan strategi memasarkannya. Keberadaan penggemar berat tak serta-merta meringankan langkah Mira. Ia memikirkan cara memuaskan penggemar generasi awal 2000-an dulu, sekaligus merengkuh penggemar baru.

Warga antre membeli tiket film Ada Apa Dengan Cinta 2 pada hari pertama pemutaran film tersebut di bioskop Empire XXI, Yogyakarta, Kamis (28/4). Kompas/Ferganata Indra Riatmoko 28-04-2016
Warga antre membeli tiket film Ada Apa Dengan Cinta 2 pada hari pertama pemutaran film tersebut di bioskop Empire XXI, Yogyakarta, Kamis (28/4). Kompas/Ferganata Indra Riatmoko

Dua kelompok itu didekati dengan cara yang berbeda. Penggemar lama dijanjikan akan mengetahui kelanjutan kisah cinta yang dulunya menggantung itu. Mereka juga diberi bayangan bakal merasakan getaran-getaran saat menonton film yang dulu.

Kepada penggemar baru, generasi yang tidak menonton filmnya pada 2002, film AADC 2 disebutkan punya jalinan kisah cinta yang menawan. Ada yang menyebutkan bahwa tak perlu khawatir tersesat di jalinan cerita walau belum menonton bagian pertama.

Ihwal penggemar baru ini, menurut Mira, terjadi regenerasi terus-menerus. Kisah AADC pertama diputar berulang kali di televisi. Ia juga sempat menyaksikan siswa SMA yang membuat drama musikal versi mereka sendiri berdasarkan film terdahulu.

Pekerjaan yang lebih sulit adalah bagaimana mengajak penonton film yang dulu untuk kembali lagi ke bioskop. ”Penonton yang dulu, kan, sekarang sudah berumur 30-an. Golongan usia ini cenderung lebih memilih apa yang mereka mau kerjakan, termasuk menonton,” ujarnya. Karena itu, resep membangkitkan kenangan itulah yang ia pilih.

 

Media Sosial

Medium berkampanye yang dipakai, yakni jalur media konvensional dan media sosial. Miles Films memasang iklan di media cetak dan elektronik. Mereka juga mengaktifkan percakapan di media sosial. Tur ke sejumlah kota juga mereka jalani untuk berpromosi. Promosi semacam itu menelan biaya sekitar Rp 5 miliar.

Media sosial menjadi garda depan dalam promosi. Anggaran untuk menghidupi media sosial 10 kali lebih banyak ketimbang media konvensional. Media sosial dirasa lebih relevan walaupun mengandung risiko. Jumlah penonton film, kata Mira, kadang tidak berbanding lurus dengan jumlah pengikut si pembuat atau pemain filmnya.

”Kami tidak pernah tahu berapa persen dari uang yang dibelanjakan untuk anggaran promosi di media sosial yang berimbas pada pendapatan dari jumlah penonton. Yang penting kami menginformasikan ada film baru dan publik tahu kami sedang membuat film AADC 2,” kata Mira. Promosi lewat media sosial itu dia garap jauh-jauh hari, bahkan ketika film AADC 2 baru diputuskan untuk dibuat.

Promosi film juga terjadi lewat kerja sama dengan beberapa produk yang beriklan. Sebagian besar dengan sistem barter. Produk mereka disebut dalam barisan pendukung film dan produknya disisipi di dalam film. Mira mengaku harus berhati-hati benar menampilkan produk di filmnya. Ia berusaha sekeras mungkin agar produk yang ada sejalan dengan bangunan cerita. ”Kalau enggak ada hubungannya dengan skenario, tidak bisa,” katanya.

Selain mendulang untung dari penjualan tiket bioskop, film AADC 2 juga berkontribusi terhadap bidang usaha lainnya. Beberapa produsen membeli hak kekayaan intelektual AADC, seperti produsen buku catatan, tas panggul, kaus, dan sampul telepon. Namun. Mira belum menghitung jumlahnya. ”Yang pasti masih kecil jika dibandingkan dengan pemasukan dari tiket penonton. Namun, ini perlu mulai digarap,” ujarnya

 

Dongkrak Pariwisata

Secara tak langsung, kesuksesan film AADC juga mendongkrak omzet pelaku usaha yang muncul di film. Ada juga penyedia jasa yang membuka paket jalan-jalan ke lokasi yang ada dalam film. ”Paket wisata itu tidak kerja sama dengan kami. Enggak apa, bagi-bagi rezeki ke yang lain,” kata Mira.

Bisa jadi, kunjungan wisata ke Yogyakarta meningkat berkat film AADC 2. Keadaan itu pernah terjadi di Belitung setelah kesuksesan film Laskar Pelangi (2008). Kunjungan wisata ke Bangka Belitung meningkat hingga lima kali lipat. Setelah itu, Miles Films berkali-kali didatangi pemimpin daerah minta dibuatkan film untuk mendatangkan wisatawan.

Kesuksesan pariwisata di Belitung, kata Mira, seharusnya jadi pelajaran bagi daerah lain. Ia berharap daerah lain mau membuka akses masuk seluas-luasnya bagi pembuat film. Akses itu berupa kemudahan izin, bukannya minta dibuatkan film.

 

Budi Suwarna & Herlambang Jaluardi


 

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Mei 2016, di halaman 13 dengan judul “Untung dari Kisah Cinta Menggantung”