Dua remaja putri terlihat asyik menikmati suasana trotoar sisi timur kawasan Malioboro, Kota Yogyakarta, Jumat (15/4) pagi. Mereka bergantian duduk di bangku, lalu saling memotret dengan aneka pose. Puas berfoto, mereka melanjutkan perjalanan dengan menyusuri trotoar yang kini lebih nyaman karena tak lagi menjadi tempat parkir sepeda motor.
Mulai awal April, wajah Malioboro berubah. Trotoar sisi timur kawasan itu, yang selama bertahun- tahun menjadi tempat parkir, bersih dari kendaraan bermotor. Sejak Senin (4/4), Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta melarang trotoar timur Malioboro menjadi tempat parkir. Zona parkir sepeda motor pun direlokasi ke lantai dua dan tiga Tempat Khusus Parkir (TKP) Abu Bakar Ali yang terletak di sebelah utara Malioboro.
Meskipun awalnya sempat ditentang sebagian juru parkir di Malioboro, relokasi area parkir berjalan lancar. Secara bertahap, juru parkir mendaftarkan diri ke Pemkot Yogyakarta supaya bisa bekerja di TKP Abu Bakar Ali. Seusai relokasi, wilayah trotoar sisi timur Malioboro dijaga petugas dari sejumlah instansi agar tidak ada warga yang memarkirkan sepeda motor di sana.
”Pemindahan zona parkir ini bertujuan membuat trotoar timur Malioboro lebih nyaman dilalui para pejalan kaki,” kata Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti. Ia berharap semua pihak, termasuk para juru parkir, mendukung pemindahan zona parkir itu. Apalagi, para juru parkir yang sebelumnya bekerja di trotoar sisi timur Malioboro juga dipekerjakan di TKP Abu Bakar Ali.
Untaian bunga
Kawasan Malioboro, yang berlokasi di antara Keraton Yogyakarta dan Tugu Yogyakarta, merupakan tujuan wisata favorit sekaligus pusat perdagangan. Pusat kawasan itu adalah dua jalan raya yang saling menyambung dalam garis lurus, yakni Jalan Malioboro di utara dan Jalan Margo Mulyo di selatan.
Di sepanjang kedua jalan itu, berdasarkan data Paguyuban Kawasan Malioboro, terdapat sedikitnya 100 toko dan sekitar 3.000 pedagang kaki lima (PKL). Jumlah itu belum termasuk toko dan PKL di jalan-jalan kecil di sekitar Malioboro.
Dalam buku Asal Usul Nama Yogyakarta-Malioboro (2015), sejarawan Peter Carey menyatakan, nama Malioboro kemungkinan disadur dari kata ”malyabhara” dalam bahasa Sansekerta yang berarti berhiaskan untaian bunga. Menurut Carey, Jalan Malioboro memiliki fungsi simbolis yang penting bagi Keraton Yogyakarta dan kerap difungsikan sebagai tempat penyelenggaraan upacara, termasuk saat keraton menyambut pemimpin pemerintah kolonial pada masa lalu.
Jalan Malioboro juga merupakan bagian dari sumbu filosofi Keraton Yogyakarta, yakni garis lurus yang membentang dari Tugu Yogyakarta ke keraton, lalu terus ke Panggung Krapyak, bangunan mirip benteng yang dulu dipakai para raja Keraton Yogyakarta untuk mengintai binatang buruan. Sumbu filosofi yang dirancang Sultan Hamengku Buwono (HB) I, pendiri Keraton Yogyakarta, itu melambangkan perjalanan manusia sejak lahir hingga meninggal atau kembali kepada Tuhan.
Menurut Peter Carey, Jalan Malioboro dulu lebar dan megah, dengan pohon beringin tinggi dan kampung tertata rapi di sekitarnya. Sayang, Malioboro kini banyak berubah dan sangat sedikit suasana asli jalan itu yang tersisa. Dalam tulisannya, Carey juga mengkritik upaya penataan Malioboro yang pernah beberapa kali dilakukan pemerintah.
”Kiranya, tak perlu dibayangkan pikiran apa yang ada dalam benak Mangkubumi (Sultan HB I) tentang hilangnya kenangan yang disayangkan ini, serta upaya restorasi tidak kompeten pada Jalan Malioboro yang dilakukan para wali kota dan perencana Yogyakarta yang tak memiliki imajinasi,” kata Carey.
Modal sosial
Namun, bukan berarti penataan Malioboro tak dibutuhkan. Arti penting Malioboro, baik secara kultural maupun komersial, membuat penataan kawasan itu diperlukan. Apalagi, beberapa tahun terakhir muncul keluhan soal kenyamanan Malioboro. Pemindahan area parkir di trotoar sisi timur hanya satu bagian dari rangkaian penataan yang direncanakan Pemerintah Daerah DIY dan Pemkot Yogyakarta.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, Energi, dan Sumber Daya Mineral DIY Rani Sjamsinarsi menjelaskan, dalam waktu dekat, pihaknya akan mulai menata trotoar sisi timur Malioboro. Penataan antara lain berupa penggantian lantai trotoar, penggantian penunjuk untuk tunanetra, serta pemasangan perabotan jalan. Biaya untuk penataan itu berasal dari Dana Keistimewaan DIY Rp 24 miliar.
Perabotan jalan yang akan dipasang antara lain bangku jalan, tempat sampah, parkir sepeda, pembatas jalan, dan penunjuk jalan. Pemda DIY juga berencana menanam sejumlah tumbuhan di sekitar Malioboro untuk menambah keasrian kawasan. ”Sesudah penataan trotoar, tahun depan kami akan menata PKL. PKL itu merupakan salah satu ciri khas Malioboro sehingga mereka tidak akan digusur, tetapi ditata supaya rapi,” tutur Rani.
Presidium Paguyuban Kawasan Malioboro Sujarwo mengatakan, penataan Malioboro harus melibatkan para PKL. Mereka akan mendukung penataan dengan dua syarat, yakni PKL tidak direlokasi dan kerugian mereka akibat penataan bisa diminimalkan. ”Hubungan pemkot dan PKL kan sudah dekat,” katanya.
Karena Malioboro merupakan ruang bersama, tanggung jawab untuk menata dan merawat kawasan itu tidak hanya pemerintah. PKL, juru parkir, sopir becak, dan kusir andong di kawasan itu juga memiliki tanggung jawab merawat Malioboro. Apabila upaya bersama itu bisa terwujud, kritik Peter Carey tentang upaya penataan Malioboro mungkin tak akan terulang lagi.
(Haris Firdaus)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 April 2016, di halaman 11 dengan judul “Bersama Merawat Malioboro”