Kasus penculikan aktivis hak asasi manusia, Widji Thukul, pada 1998 belum diusut tuntas hingga kini. Negara seakan lupa. Namun, pada saat bersamaan, upaya ”melawan lupa” terus diserukan yang kali ini melalui film meski pembuatannya dengan ”bergerilya” dari sudut kota satu ke sudut kota lainnya agar tidak diganggu pihak yang merasa terusik dengan karya itu.
Matahari di garis khatulistiwa terasa menyengat di salah satu sudut Kota Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu (6/4) siang itu. Yosep Anggi Noen, sang sutradara film biografi Widji Thukul, sedang sibuk memberikan arahan kepada kru dan pemain, antara lain Gunawan Maryanto yang memerankan Widji Thukul dan Melanie Subono serta Eduwart Manalu yang berperan sebagai rekan Widji Thukul selama pelariannya ke Pontianak pada 1996.
Suasana lokasi shooting jauh dari hiruk-pikuk keramaian sehingga mendukung proses pengambilan gambar. Masyarakat di sekitar pun ikut menikmati proses shooting tersebut dan menerima kehadiran pada kru beserta pemain selama proses pembuatan film.
Pengambilan gambar dilaksanakan di beberapa lokasi di Kota Pontianak selama lima hari. Ada yang di ruangan terbuka, ada pula di dalam rumah. Siang itu, penggalan adegan shootingmenceritakan saat Widji Thukul tinggal di rumah kenalannya di Pontianak dengan segala aktivitas kesehariannya. Bagaimana kelanjutan kisahnya? Dalam waktu yang tidak begitu lama lagi, film itu akan segera dirilis.
Menurut Yulia Evina Bhara, selaku produser, film itu merupakan film biografi atau biopik mengenai Widji Thukul dalam pelariannya ke Pontianak selama lebih kurang delapan bulan pada 1996 sebelum akhirnya diculik dan hilang hingga kini. ”Film ini sebagai upaya kami ’melawan lupa’. Pengusutan kasus penculikan aktivis Widji Thukul belum terselesaikan sampai sekarang. Publik harus diingatkan bahwa ini tidak dilupakan,” ujarnya di sela-sela shooting film tersebut.
Tim memilih salah satu lokasi shooting di Pontianak karena Widji Thukul pernah lari ke Pontianak saat dinyatakan sebagai buronan semasa pemerintahan Presiden Soeharto. Kala itu, ia dinyatakan sebagai provokator yang mengkritik pemerintah dengan puisi dan karya-karya sastranya.
”Selain shooting di Pontianak, pembuatan film itu juga akan dilakukan di salah satu kota di Jawa. Total pembuatan filmnya 10 hari. Lima hari di Pontianak dan lima hari di Jawa,” ujarnya.
Dalam masa pelariannya di Pontianak, ternyata Widji Thukul tak diam. Ia masih membuat puisi dan berbagai tulisan bersama teman-temannya di Pontianak. Ia juga mengirim tulisan kepada teman-temannya di Jawa dari Pontianak, tetapi dengan menggunakan nama samaran.
Masa persiapan pembuatan film ini sudah sejak dua tahun lalu. Selama dua tahun itu, tim pembuat film berproses melihat hal apa yang perlu dimasukkan ke dalam film dan mana yang tidak. ”Selama kurun waktu dua tahun itu juga kami melakukan riset sampai pada akhirnya bisa memulai proses pembuatan film,” ujar Yulia.
Film idealis
Film-film yang idealis biasanya sulit mendapatkan keuntungan dari sisi finansial. Namun, Yulia dan rekan-rekannya tetap bersikukuh memproduksi film itu karena tekad mereka yang kuat untuk tetap ”melawan lupa”. Dengan film ini, akan membentuk para barisan ”melawan lupa” secara kolektif.
Dengan film, juga bisa menjumpai lebih banyak orang. Bisa di bioskop-bioskop, kampus- kampus, dan tempat-tempat lainnya. ”Akan banyak orang yang bisa dijangkau. Visual dinilai efektif menyampaikan pesan kepada khalayak atas pelanggaran HAM pada masa lalu. Kalau teater mungkin terbatas, hanya orang-orang tertentu saja,” ungkapnya.
Selain sulit mendapatkan keuntungan secara finansial, film- film idealis juga biasanya kurang mendapat simpati dari penonton. Bahkan, film-film idealis umumnya hanya bertahan seminggu di bioskop.
Namun, Yulia tetap menargetkan, film ini bisa ditayangkan di bioskop. Meskipun demikian, bioskop bukanlah satu-satunya target. Film itu juga akan ditayangkan ke kampus-kampus, bioskop alternatif dan ke komunitas-komunitas dalam bentuk nonton bersama, serta lembaga-lembaga yang memiliki kepedulian terhadap kasus HAM pada masa lalu.
Tantangan
Pembuatan film ini memberikan tantangan tersendiri bagi tim. Shooting di Pontianak yang dilintasi garis khatulistiwa sangat sulit untuk memprediksi cuaca. Terkadang panas terik dan tiba-tiba hujan sehingga shooting harus berhenti sejenak.
Biaya yang minim pun menjadi tantangan tersendiri. Namun, ada sejumlah lembaga yang memiliki kesadaran moral yang sama terhadap hak asasi manusia mau membantu pendanaan. Lembaga-lembaga tersebut adalah Yayasan Muara, Partisipasi Indonesia, Lima Enam Film, komunitas-komunitas film lokal di Pontianak dan di Jawa, serta dukungan dari keluarga Widji Thukul.
Belum lagi sistem sensor di Indonesia yang bisa menghambat kreativitas dalam pembuatan film. ”Mendistribusikan film ke bioskop-bioskop agar bisa disaksikan khalayak ramai juga menjadi tantangan tersendiri bagi kami. Apalagi film ini idealis,” paparnya.
Yosep Anggi Noen, sang sutradara, menuturkan, dirinya tertarik untuk menggarap film itu sebagai upaya berkontribusi bagi orang-orang yang telah berjuang membuka keran untuk perubahan demokrasi di Indonesia dan menghalau rezim kala itu.
Widji Thukul adalah sosok yang mencintai kata dan menunjukkan bahwa kata-kata bisa menjadi alat untuk melakukan perubahan. Ia melakukan perubahan melalui apa yang dicintai. Gunawan Maryanto yang memerankan Widji Thukul juga seorang yang mencintai satra.
(Emanuel Edi Saputra)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 April 2016, di halaman 21 dengan judul “Bergerilya Melawan Lupa”