Seekor gagak terbang di antara batang arang. Beberapa kali ia berputar-putar sambil berkicau lantang. Ia mungkin sedang mencari rumah, sahabat, dan keluarganya yang hilang. Hilang terbakar api….

Kisah burung gagak itu ditemui saat terjadi kebakaran hutan gambut di wilayah Desa Sungai Anak Kamal, Kecamatan Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau pada pertengahan Maret lalu. Kebakaran hutan di Desa Sungai Anak Kamal sendiri telah terjadi sejak akhir Februari. Masyarakat bersama TNI, Polri, Manggala Agni, dan juga tim Fire Fighter berjibaku memadamkan api selama dua minggu.

Pemadaman kebakaran di lahan gambut tidaklah mudah. Api di kawasan gambut bisa menembus kedalaman hingga 2 meter. Api yang terlihat padam di permukaan sering kali masih menyimpan bara api yang sulit dideteksi. Pemadaman harus dilakukan secara terus-menerus tanpa putus, agar bisa menembus titik terjauh bara api di bawah permukaan gambut. Pemadaman yang paling ampuh adalah langsung menuju titik api di darat. Jika itu dilakukan dari udara, dikenal dengan water bombing.

Membuat tampungan. Kompas/Wawan H Prabowo
Membuat tampungan. Kompas/Wawan H Prabowo

Untuk memadamkan kebakaran hutan atau lahan gambut di darat, setidaknya membutuhkan mesin pompa bertekanan tinggi, selang, dan penampung air. Selain peralatan utama tersebut, yang lebih penting lagi adalah keterampilan memadamkan api dengan didukung kekuatan fisik dan mental baja.

Pemadaman yang dilakukan di Desa Mekarsari, Kecamatan Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti, misalnya, membutuhkan 49 selang ukuran 30 meter untuk mencapai titik api dari sumber air kanal. Itu berarti, jarak antara sumber air dan lokasi kebakaran hampir mencapai 1,5 km lebih. Personel pemadam harus memiliki kekuatan fisik, mental, dan terlatih untuk melakukan aksi itu.

”Sering kali kami harus melakukan pemadaman 24 jam secara bergiliran. Kadang jika lokasinya jauh, kami harus bertahan dengan bahan makanan seadanya. Saat air minum habis, kami tenggak itu air seribu akar (air gambut),” kata Widi, anggota tim Fire Fighter.

Selama lebih dari 18 tahun, musim kemarau di Riau selalu diiringi dengan bencana kebakaran. Kondisi alam Riau yang mendukung, membuat kebakaran hutan dan lahan adalah bencana musiman tiap tahun. Namun, bisa dipastikan bahwa 99 persen kebakaran hutan dan lahan adalah karena ulah manusia.

Sisa kebakaran. Kompas/Wawan H PrabowoSisa kebakaran. Kompas/Wawan H Prabowo

Kesiapan dalam menghadapi kebakaran hutan dan lahan tahun ini mungkin lebih baik dari tahun lalu. Kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, serta swasta yang solid akan cepat memadamkan api yang membakar hutan dan lahan. Mudah-mudahan, gotong royong tersebut juga bisa memutus siklus musim kebakaran di seluruh hutan dan lahan di Tanah Air….

(Wawan H Prabowo)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Maret 2016, di halaman 32 dengan judul ”Memasuki Musim Kebakaran Hutan”