Singapura telah melampaui segala keterbatasan wilayah dan akar budayanya. Mereka lalu sepenuh hasrat membangun kutub baru seni di Asia Tenggara. Dengan luasan yang tak lebih dari 716,1 kilometer persegi, negeri itu merayakan pencapaian dunia seni hingga menjelma menjadi episentrum seni di daratan Asia.
Setelah 40 tahunan berdiri, baru kali ini Apartemen People’s Park Complex di jantung Chinatown, Singapura, banyak diburu publik untuk urusan seni rupa. Ini karena 15 perupa dan kelompok seniman berulah menyulap pelataran beton di lantai 6 menjadi ”galeri seni”.
People’s Park Complex adalah salah satu tapak modernisasi Singapura. Selain itu, bangunan ini juga merupakan apartemen pencakar langit pertama Singapura. Ia menjulang di atas pusat perbelanjaan bertingkat pertama Asia Tenggara dan sempat menjadi gedung tertinggi saat selesai dibangun pada 1973.
”Yang lebih penting dari bangunannya adalah para penghuni People’s Park Complex. Mereka orang-orang Singapura pertama yang bersalin dari gaya hidup di rumah dan flat berpindah tinggal ke apartemen. Kini, sebagian besar orang Singapura tinggal di apartemen,” tutur Sapiah, pemandu wisata serombongan jurnalis yang diundang Singapore Tourism Board meliput Singapore Art Week.
Hari ini, People’s Park Complex ”tenggelam” karena kalah gemerlap dibandingkan dengan pencakar langit terbaru Singapura. Tetapi, ulah 15 perupa dan kelompok seniman yang memeriahkan pameran ”A Public
Living Room” membuat publik menoleh lagi. Wisatawan asing yang datang disedot pesona Singapore Art Week, juga berkunjung ke sana, melihat karya para perupa merenungkan kembali seluruh lompatan sosial Singapura bertransformasi menjadi kota dunia.
Merayakan Singapura
Kafe Lepark di Lantai 6 People’s Park Complex itu menjadi ”galeri” utama refleksi ”merayakan Singapura” itu. Di dalamnya, perupa Ruyi Wong menggelar instalasi video ”I am Going Home to Watch TV”, menyuguhkan potongan video dari sebuah serial drama tentang suka duka warga Singapura hidup di apartemen. Serial itu tentu saja fiksi, tetapi dekat dengan keseharian People’s Park Complex.
Di tengah pelataran beton lantai 6 yang kosong, Jason Lim menghamparkan perabotan dapur berbahan baja, tiba-tiba terlihat seperti pencakar langit baru yang menyelip di antara gedung-gedung tinggi yang semakin mengepung Chinatown. Jika kita mendekati ”pencakar langit” Lim, lalu menoleh ke arah dinding apartemen 31 lantai itu, tampak baju-baju jemuran para penghuni menyelip di antara mesin-mesin pendingin ruangan, begitu domestik.
Lalu, kita melihat bagaimana tulang-tulang beton yang menegakkan bangunan setinggi 103 meter itu menjadi ”kanvas” raksasa bagi foto-foto raksasa monyet Macaca fascicularis, instalasi foto ”Old World Monkey” karya Ernest Goh.
”Saya menghadirkan foto dalam ukuran diperbesar untuk memantik cara melihat baru atas keberadaan monyet ekor panjang di Singapura,” tutur Goh tentang karyanya itu. Tidak hanya warga Singapura yang beradaptasi menjadi warga kota dunia, tetapi juga segenap hayati dalam ekosistem Singapura, termasuk monyet-monyet dalam karya Goh.
Bukan cuma People’s Park Complex yang disulap menjadi ”galeri” organik di tengah permukiman klasik Singapura. Little India, kawasan permukiman warga keturunan India selatan di Singapura, juga merona oleh karya para perupa peserta pameran ”Artwalk Little India”, satu dari 100 perhelatan seni Singapore Art Week yang berlangsung pada 16-24 Januari ini.
Eksperimentasi menggelar proyek seni rupa di kawasan permukiman tua membawa banyak kejutan, termasuk bagi Tan Luo Yi, perupa muda peranakan Tiongkok Melayu. Karyanya, ”Crystal Carpet”, membentang di kain sari sepanjang 5,8 meter, membangun motif serupa mandala.
”Karya itu lahir karena saya terpesona dengan kekuatan warga keturunan India selatan mempertahankan adat-istiadatnya di Singapura. Saya seorang peranakan China-Melayu telah jauh dari akar budaya saya, dan kini seperti digugah untuk mencari lagi akar budaya sendiri,” tutur Tan Luo Yi. Di sini seni lahir sebagai panggung terbaru perayaan keragaman Singapura.
Seni tak hanya hadir di permukiman, tetapi juga di ruang galeri wangi nan bersih yang semakin bertebaran di Singapura. Yang paling gres, National Gallery Singapore. Di salah satu ruang pamer utamanya, tujuh kain tenunan kapas yang kasar menggantung seperti tirai-tirai renta. Ujung-ujungnya kusam oleh rembesan air berlumpur dan tinta cina yang luntur meniti tiap-tiap benang kain itu.
Karya Tang Da Wu itu, ”Gully Curtains”, seperti sebuah dokumentasi rupa otentik atas perubahan bentang alam Singapura oleh air hujan. Sekitar 37 tahun silam, Tang membenamkan kain-kain itu di antara kelokan sungai kecil yang dibentuk air hujan. Karya Tang menjadi bagian dari pameran ”A Fact Has No Appearance: Art Beyond the Object” yang menghadirkan karya-karya perupa era 1970-an—Johnny Manahan (Filipina), Redza Piyadasa (Malaysia), dan Tan Teng Kee (Singapura). Pameran ini menabalkan keberadaan National Gallery Singapore.
Seketika, galeri yang dibuka pada November lalu itu menjelma jadi magnet baru. Para pencinta seni rupa pun berbondong-bondong mendatangi gedung bekas kantor Mahkamah Agung dan balai kota yang sudah disulap menjadi galeri seni raksasa itu. Isi galerinya, maestro seni rupa dari berbagai penjuru Asia Tenggara—termasuk Raden Saleh, Soedjojono, Ahmad Sadali, dan Fadjar Sidik.
”National Gallery Singapore itu galeri terbaru, dibuka pada November lalu, sangat luas. Geleri terbaru ini melanjutkan kebijakan pemerintah Singapura mengubah gedung dan kawasan tuanya menjadi ruang seni,” kata Sapiah, pemandu wisata kami.
Sejak tahun 1996, ketika Singapura menyulap gedung bekas sekolah St Joseph’s menjadi Singapore Art Museum, Negeri Singa sepenuh hati ingin jadi kutub seni rupa Asia Tenggara.
Lalu, pada September 2012, Singapura menyulap Gillman Barracks, sebuah kompleks bekas barak tentara Inggris, untuk ditempati galeri-galeri internasional. Kini, bekas-bekas barak itu menjadi rumah bagi galeri seperti ARNDT asal Jerman, Mizuma Gallery dan Ota Fine Arts asal Jepang, ataupun Partners & Mucciaccia asal Italia.
Cukup datang ke Singapura dan menjelajah luasnya yang tak lebih dari 716,1 kilometer persegi (artinya, 25 menit ke mana pun), Anda bisa menikmati karya maestro Indonesia dan perupa terbaik Asia Tenggara! Perhelatan seni rupa terbaik, karya seni rupa terbaik, dan pengetahuan sejarah seni rupa Asia Tenggara sedang dan terus dibangun di Singapura.
”Ini niscaya, perupa muda kita bakal berdatangan ke Singapura untuk melihat karya terbaik maestro sekelas Soedjojono, misalnya,” kata Ketua Asosiasi Galeri Seni Rupa Indonesia Edwin Rahardjo.
Singapura tahu bagaimana tumbuh melampaui batas teritorialnya, dengan menjadi rumah bagi warga dunia: seniman dan karya-karyanya.
(Aryo Wisanggeni G)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Januari 2016, di halaman 24 dengan judul ”Rumah Baru Warga Seni Dunia”