Sekitar 33 tahun lalu, duo Ari Malibu dan Reda Gaudiamo pernah ragu menyanyikan puisi. Kini, mereka justru tak lepas dari puisi. Lewat racikan petikan gitar dan olah vokal dicampur rasa pada setiap lirik puisi, semangat keduanya tak berubah ketika menyampaikan yang tidak mudah dicerna dengan sederhana.

Semangat itu muncul lagi dalam ”Bermain di Cikini: Konser AriReda Menyanyikan Puisi”, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (26/1). Menandai peluncuran album kedua bertajuk ”Menyanyikan Puisi”, 25 puisi, di antaranya karya Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, dan Abdul Hari WM.

Sembilan puisi ada di album kedua, seperti ”Di Restoran”, ”Lanskap”, dan ”Tuhan Kita Begitu Dekat”. Semua puisi dibalut lagu mengobati kangen penggemar yang harus menunggu delapan tahun setelah Becoming Dew, album pertama Ari-Reda ditelurkan.

Penampilan panggung Ari-Reda malam itu tak jauh berbeda dengan pentas sebelumnya. Latar minim dekorasi, sorotan lampu minimalis, dan formasi dua bangku dengan rak penyimpan urutan lagu tak banyak berubah. Sepanjang konser, Reda memakai rok tenun sumba dan Ari dengan kemeja shibori.

Teater Kecil kala itu memang bukan panggung pamer baju dan suasana
gemerlap. Musikalitas Ari-Reda
memberikan garis pembeda yang tajam.

Dibuka duo Arum Dayu dan Meicy Sitorus dari Tetangga Pak Gesang yang klasik dan jenaka, Ari-Reda mengawali malam dengan ”Pada Suatu Pagi Hari”. Lirik puisi penuh makna, chordgitar rumit, hingga pembagian suara tak biasa mulai mengalir.

Hingga lagu terakhir dimainkan, kualitas musik mereka jelas tidak sederhana. Penyampaian ke telinga penontonlah yang membuat kerumitan itu menjadi sederhana dan mudah memicu koor dadakan. Di samping lagu wajib ”Aku Ingin” dari puisi Sapardi Djoko Damono, penonton yang kebanyakan anak muda juga ikut bernyanyi saat ”Metamorfosis” dan ”Di Restoran” dimainkan.

”Sejak awal kami ingin menjadi kendaraan banyak orang untuk mencintai puisi meskipun tidak mudah saat memulainya,” kata Ari diikuti anggukan Reda.

 

Ragu

Kenangan Reda kembali pada 1987 saat AGS Arya Dipayana mengajak
meramaikan Pekan Apresiasi Seni.
Fuad Hasan, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan saat itu, ada di balik acara tersebut. Salah satu tujuannya
adalah memperkenalkan puisi lewat lagu.

Ada lima puisi yang dilagukan. Reda kebagian ”Gadis Peminta-minta” dari Toto Sudarto Bachtiar dan ”Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi” karya Goenawan Mohamad. Kelak keduanya masuk dalam album ”Menyanyikan Puisi”.

Sempat tak nyaman memainkannya, Reda tak menyangka muncul tawaran serupa setahun kemudian. Dinamakan ”Bulan Apresiasi Sastra”, ada 25 puisi yang dilagukan. Kali ini, Reda mengajak Ari. Mereka kebagian ”Aku Ingin” dan ”Hujan Bulan Juni” dari Sapardi Djoko Damono.

”Awalnya saya ragu. Puisi masih terdengar berat dan aneh. Tidak menyangka ternyata saat ini banyak orang memainkannya,” kata Ari.

Setelah beberapa kali menyanyikan puisi, cinta itu muncul. Godaan memainkan genre pop atau musik lainnya gagal terwujud saat khalayak terus meminta Ari-Reda melagukan puisi. Antusias penonton membuat keraguan itu berubah menjadi ingin setia. Puisi Sapardi jadi paling banyak yang mereka mainkan.

”Pak Sapardi bilang agar selalu memikirkan puisi dengan rasa. Tangkap dan keluarkan,” ujarnya.

Saat konser malam itu, Sapardi juga hadir. Dia duduk di sayap kanan panggung. Hampir di setiap Ari-Reda seusai memainkan lagu, ia memberi tepuk tangan. Dia seperti hanyut dalam puisinya sendiri saat nada-nada indah mengiringinya.

”Sebenarnya saya grogi baca puisi setelah Ari-Reda menyanyi dengan bagus. Saya sendiri tidak bisa menyanyi, nanti gigi palsu saya copot,” kata Sapardi sebelum membaca tiga puisi yang diambil dari buku kumpulan puisi ”Melipat Jarak”.

Lewat puisi ”Tentang Mahasiswa yang Mati”, ”Dongeng Marsinah”, dan ”Pour Dons”, suara berat Sapardi memaparkan marah dan cinta membuat penonton terbuai terbang tinggi. Namun, dia merendah saat menggambarkan peran Ari-Reda dalam perjalanan seninya.

”Sebelum mereka ada, siapa, sih, yang baca buku puisi? Terima kasih untuk mereka,” kata Sapardi tulus.

 

Nostalgia

”Saya baca, Pak,” kata Ferdinandus Setu (36), salah seorang penonton, lirih saat Sapardi menghilang di balik panggung.

Sapardi pasti tidak mendengarnya. Ferdinandus teramat jauh dari panggung. Namun, dari novel dan kumpulan puisi ”Hujan Bulan Juni”, Ferdinandus bisa dipercaya. Malam itu dia datang bersama rekan sekantornya, Aurora Ibrahim (31). Dipertemukan lewat sebaris kata puisi Sapardi, keduanya semakin akrab dan kerap menonton aksi sang maestro.

Ferdinandus mengatakan, pilihannya pada puisi Sapardi tak lepas dari rangkaian kata indah penuh paradoks. Beberapa puisi Sapardi ia pahami maksudnya meski banyak pula yang sulit dicerna. Saat itulah lagu Ari-Reda banyak membantunya.

”Saya lebih sering bilang, oooo ternyata itu maksudnya,” kata Ferdinandus setelah mendengarkan duo itu bernyanyi.

Ia mencontohkan lagu ”Di Restoran”, lagu jagoan di album kedua. Saat lagu itu dimainkan, dia semakin paham tentang makna pertemuan itu. Ferdinandus mengumpamakannya seperti pepatah, jauh di mata dekat di hati. Ditanya apakah isi lagu itu juga dirasakannya saat bersama Aurora malam itu, Ferdinandus hanya tertawa terbahak-bahak….

”Dekat, tapi tidak harus memiliki,” katanya.

Di sebelah kiri dua sahabat itu, Tri Esthi Pamungkas (25), karyawan swasta di Jakarta, merasakan kegembiraan lain. Meski malam itu adalah pertama kalinya menonton Ari-Reda di atas panggung, puisi yang disajikan cukup membawanya kembali pada kenangan beberapa tahun lalu. Ia pernah menjadi peserta musikalisasi puisi saat masih menjadi mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia di Universitas Indonesia. Umar Muslim, salah satu pembuat lagu bagi Ari-Reda, jadi pembimbingnya.

Sejak awal duo itu bernyanyi, mata Esthi tak bisa lepas dari panggung. Ketika gitaris Jubing Kristianto ikut berkolaborasi, ia mulai memainkan telunjuk tangan kanannya naik turun mengikuti irama. Ia lantas bernyanyi saat ”Aku Ingin” menutup konser malam itu.

”Setelah menyelesaikan setumpuk pekerjaan di kantor, konser kali ini menjadi nostalgia manis. Semoga jadi semangat untuk esok lebih baik,” katanya.

(Cornelius Helmy)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Januari 2016, di halaman 28 dengan judul ”Musik Puisi: Terima Kasih Ari-Reda…”