Kurang gizi tak hanya terjadi pada orang miskin yang tak bisa makan makanan bergizi. Saat kondisi ekonomi Indonesia membaik, kekurangan gizi justru banyak dialami anak muda dari kalangan keluarga berada yang sehari-hari menyantap makanan enak. Nah lho.
Ternyata, kebiasaan makan makanan cepat saji, kelebihan karbohidrat, serta menyantap makanan dan minuman yang mengandung banyak gula juga bisa mengalami kekurangan gizi sehingga tubuh tidak sehat. Menurut Nurfi Afriansyah, Msc, peneliti gizi di Badan Litbang Kesehatan Kementerian Kesehatan, tanda kurang gizi yang bisa segera dilihat adalah dari fisik, yakni tinggi badan dan berat badan. Sementara dari sisi penyakit, kurang gizi akan memunculkan aneka masalah, seperti kegemukan, diabetes, dan anemia.
Ia menjelaskan, untuk Indonesia, mestinya berat dan tinggi badan remaja lelaki usia 16-18 tahun adalah sekitar 165 sentimeter dengan berat badan 56 kilogram. Untuk usia 19 tahun sampai dewasa muda, 168 cm dengan berat badan 60 kg. Untuk remaja putri, usia 16-18 tahun (158 cm/50 kg) dan usia 19 tahun hingga dewasa muda (159 cm/54 kg). Sementara hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan, remaja usia 16-18 tahun yang pendek 23,9 persen, yang sangat pendek 7,5 persen.
Masih dari hasil Riset Kesehatan Dasar 2013, penduduk Indonesia usia 15-24 tahun penderita anemia mencapai 18 persen. “Angka itu tinggi sebab menurut ukuran WHO, penderita mencapai 10 persen dari populasi sudah tinggi,” jelas Nurfi. Melihat kondisi itu, ia menyatakan perlu penyadaran dari aspek info gizi kepada masyarakat, terutama para remaja.
Fatal
Tingginya penderita anemia di Indonesia menjadi perhatian pemerintah dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Hal itu terjadi karena kurang gizi pada remaja yang menyebabkan mereka menderita anemia atau kurang darah berakibat fatal pada keberadaan sumber daya manusia Indonesia ke depan.
Bisa jadi banyak remaja belum paham rentetan dampak anemia. Secara umum, penderita anemia, baik bagi lelaki maupun perempuan, akan sering mengalami pusing dan kurang konsentrasi sehingga memengaruhi prestasi belajar. “Yang mudah dilihat, dalam sebuah upacara bendera biasanya penderita anemia banyak yang pusing sampai pingsan. Itu terjadi karena daya tahan tubuh mereka lemah,” jelas Nurfi lagi.
Lebih gawat lagi, status gizi remaja putri kelak akan menentukan mutu sumber daya manusia sebab mereka kelak akan melahirkan anak. “Jika si remaja menderita anemia, anak yang lahir kelak juga akan terkena anemia. Tumbuh kembang janin dalam kandungan kurang bagus. Apabila hal itu tak segera ditanggulangi, mutu sumber daya manusia kita akan turun,” urai peneliti yang sedang menempuh program pendidikan doktor Ilmu Gizi Manusia di Institut Pertanian Bogor tersebut.
Melihat kondisi tersebut, ia menyatakan perlu penyadaran dari aspek info gizi kepada masyarakat, terutama remaja. Apalagi, Nurfi melihat banyak remaja mengonsumsi makanan kurang bergizi tetapi tinggi karbohidrat dan gula. Misalnya makanan cepat saji yang mengandung banyak lemak dan karbohidrat. Aneka minuman yang manis juga banyak digandrungi remaja.
Soal jenis makanan yang dianjurkan bagi remaja sebenarnya sesuai dengan pola gizi seimbang, nasi atau karbohidrat lain, lauk (bisa hewani atau nabati, tempe, tahu, ikan, daging, ayam), sayuran sampai buah serta kacang-kacangan.
Sayuran berwarna hijau wajib bagi remaja, terutama perempuan, sebab ia terancam mengalami anemia parah mengingat setiap bulan para cewek mengalami menstruasi. Otomatis kebutuhan sayur dan buah lebih tinggi daripada cowok. Namun, Nurfi mengingatkan, agar zat besi dari sayuran berwarna hijau bisa diserap secara maksimal oleh tubuh, kita juga harus mengonsumsi buah yang kaya vitamin C.
Memasak sendiri
Seberapa tinggi pengetahuan dan kesadaran remaja akan kebutuhan makanan sehat? Jawabannya bermacam-macam. Sondang Farwaty (20) sangat memperhatikan jenis makanan yang ia konsumsi. Namun, tidak demikian dengan Wahyu (22) yang masih kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas Jakarta.
Bagi dia, makan sayur bukanlah kewajiban. Konsumsi makanannya setiap hari lebih berat ke nasi dengan lauk ikan, ayam, atau daging.
Sebenarnya, Sondang yang kuliah di Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Negeri Medan, Sumatera Utara, sebelumnya kurang peduli soal makanan.
“Setahun pertama kuliah, aku makan semau-maunya. Kadang-kadang mi instan, atau malah malas makan karena tidak ada kawan dan penjual makanan dekat kos,” tuturnya.
Namun, ketika terkena penyakit mag dan ambeien, ia pindah ke kos yang menyediakan tempat memasak dan dekat pasar. Sekarang ia memasak sendiri bersama kawan satu kos.
“Menu sehari-hari harus ada sayur yang banyak, ikan, dan sedikit nasi. Selain itu, aku makan buah. Syukur dengan cara itu tak sakit lagi,” tambah cewek yang sedang berlibur di rumah orangtuanya di Jakarta itu.
Makanan yang baik dan benar tidak harus yang serba mewah dan manis, karena tubuh hanya perlu makanan sehat, bergizi tinggi. Dan bahan makanan itu tidak perlu harus harga mahal.
(TRI)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Januari 2016, di halaman 25 dengan judul “Sadari Bahaya Anemia”.
Comments are closed.