Seni: 365 Hari Mendengar Nusantara

0
1718

Selama 365 hari, sejak 1 Januari hingga 31 Desember 2015, Dandhy Dwi Laksono dan Ucok Suparta bersepeda motor keliling Indonesia dengan tajuk ”Ekspedisi Indonesia Biru”. Banyak orang telah melakukannya, tetapi kedua jurnalis ini melakukannya dengan cara berbeda. Selama 365 hari, mereka mendengarkan kata hati warga dari berbagai penjuru Nusantara.

Kamis (31/12) siang, tawa berlimpah di kantor Watchdoc, rumah produksi film-film dokumenter di bilangan Jakarta Timur. Sekitar 20 orang berkerumun di gerbang kantor, seperti menyambut rombongan mempelai pengantin, tertawa-tawa dan melontarkan candaan kepada sepasang ”orang gila” yang baru tiba, menyelesaikan 19.833 kilometer perjalanan bersepeda motor keliling Indonesia.

Dua orang itu, Dandhy Dwi Laksono dan Ucok Suparta, tertawa-tawa kecil mendengar candaan soal kulit gosong mereka. Andhy Panca Kurniawan yang 365 hari pening menjalankan Watchdoc tanpa kehadiran Dandhy menyebut, Dandhy dan Ucok telah lulus ujian berat. ”Karena dua orang ini naik motor keliling Indonesia, penghargaan yang pantas bagi mereka adalah jas hujan, bukan toga,” kata Panca, sambil menyerahkan ponco kepada Dandhy dan Ucok.

Dandhy menghampiri motor bebeknya yang berdaki lumpur, membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah kantong kecil berisi buah tangan dari perjalanan panjang itu. ”Ini oleh-oleh terpenting, 12 terabyte dokumentasi, 6 harddisk, saksi perjalanan kami,” ujar Dandhy, menyerahkan 6 harddisk itu kepada Panca.

”Ha-ha, ini harta karun bos, terima kasih sekali.” Panca memeluk Dandhy. ”Perjalanan Dandhy dan Ucok berkeliling Indonesia menghancurkan 2 kamera, 1 laptop, 1 drone, dan entah berapa lensa kamera. Dokumentasi ini sangat berharga,” ujar Panca.

Mendengar warga

Beginilah kegilaan Dandhy, Ucok, dan Ekspedisi Biru. Perjalanan bersepeda motor mengelilingi Indonesia itu dilakukan tanpa sponsor, sepenuhnya membobol tabungan untuk memodifikasi 2 motor bebek mereka, membayar turun mesin 2 kali, 3 kali ganti ban luar, puluhan kali ganti ban dalam, dan membiayai pengangkutan sepeda motor menyeberang lautan.

Kegilaan Dandhy dan Ucok mengingatkan kepada Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa yang dilakoni Farid Gaban dan Ahmad Yunus, dua jurnalis kawan Dandhy dan Ucok. Buat Dandhy, Ekspedisi Indonesia Biru menggenapi keterlibatannya membantu Farid dan Yunus menggarap video perjalanan mereka pada 2009- 2010.

Ketika Dandhy mengawali perjalanannya pada 1 Januari 2015, banyak orang bertanya-tanya tentang nama ekspedisi itu ”Indonesia Biru”. ”Biru” dipilih bukan karena fakta geografis Indonesia sebagai pemilik garis pantai terpanjang kedua di dunia, dan tak ada hubungannya dengan visi kemaritiman yang dijanjikan Jokowi dalam kampanye Pemilihan Presiden 2014.

”Biru” adalah konsep sosial Gunter Pauli si penulis The Blue Economy: 10 Years-100 Innovations-100 Million Jobs. Konsep Ekonomi Biru adalah kritik atas ”Ekonomi Hijau”, politik label ”ramah lingkungan” berikut segala perangkat politik yang dianggap gagal mengatasi kerusakan lingkungan dan umat manusia yang kian rakus sumber daya alam.

Pauli menggagas ”Ekonomi Biru” sebagai konsep ekonomi yang mengatasi kelangkaan sumber daya dengan kembali kepada sumber daya lokal di tiap daerah, menolak pemusatan modal dan teknologi, kelestarian lingkungan hidup.

Indonesia ke mana?

Di antara enam dokumenter yang telah diunggah ke kanal Watchdoc Image di Youtube, film Samin Vs Semen menjadi yang paling kontroversial. Film berdurasi 39 menit 25 detik itu menegaskan sejak awal sebagai film yang berpihak. Samin Vs Semen memperdengarkan pandangan sepihak warga Pati dan Rembang serta orang Samin melawan upaya PT Semen Indonesia dan grup Indocement menambang Pegunungan Kendeng Utara di Jawa Tengah.

Dandhy dan Ucok lalu melanjutkan perjalanannya ke timur hingga mencapai Merauke di Papua. Dari sana, film dokumenter Mahuze yang berdurasi 1 jam, 24 menit, 59 detik mendengarkan pandangan orang-orang Malind-Anim yang gelisah mengetahui padang savana dan hutan sagu tempat berburu dan meramu bakal disulap menjadi kebun tebu, sawah, dan tanaman industri.

Di Pulau Galang, Dandhy dan Ucok mendapati anak-anak nelayan bersekolah SMA umum. ”Dari 70 anak kelas 12, hanya seorang ingin menjadi nelayan. Sisanya mau menjadi ahli informatika, bekerja di Jakarta, kuliah di Singapura. Mereka tanpa modal, kalau tercerabut dari budaya lautnya, pastilah menjadi buruh. Sistem pendidikan yang tidak memberi keterampilan untuk mengelola sumber daya kelautan yang ada di depan mata mengganti sistem nilai tradisional dengan sistem nilai global yang jelas-jelas memiskinkan masyarakat adat,” kata Dandhy.

Sementara beragam ekspedisi jurnalistik media-media mapan berkisah tentang keindahan Indonesia, Ekspedisi Indonesia Biru yang modal dengkul justru merangkai cerita pahit. Semakin sebuah kelompok masyarakat mengikuti sistem nilai negara, agama, dan globalisasi, mereka itu semakin kalah. Mereka yang berdaulat justru masyarakat adat yang mampu mendefinisikan sendiri apa pengertian mereka tentang kesejahteraan, kemakmuran, dan nilai ekonomi.


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 03 Januari 2016, di halaman 26 dengan judul “Seni: 365 Hari Mendengar Nusantara”