”Gue senang sama penonton Limunas!” begitu seru Iit Sukmiati, sering dipanggil Boit, salah seorang penggerak Liga Musik Nasional, yang disingkat Limunas. Saat itu band grindcore Rajasinga sedang menyanyikan lagu keempat. Penonton yang ia maksud sedang ”moshing” dan mengepalkan tinjunya. Limunas adalah sekelompok penyuka konser yang merancang sendiri pertunjukan musik yang mereka suka.

Ada banyak alasan Boit berseru demikian. Perhelatan Limunas pada Minggu (13/12) di ruang pertunjukan Institut Francais d’Indonesie-Bandung (IFI Bandung) itu adalah kali kesembilan, atau yang ketiga sepanjang 2015 ini. Tiket dijual seharga Rp 75.000 per orang, dan Rp 50.000 sebelum hari pertunjukan. Harga segitu cukup mahal bagi ukuran Bandung.

Penyelenggara memberi judul ”Alam Raja” dengan dua penampil, Rajasinga dan Navicula. Dari penjelasan yang terpampang di situs mereka, tajuk itu terinspirasi dari keberpihakan Navicula pada keseimbangan alam. Sementara kata ”Raja” diambil dari nama Rajasinga.

Penonton bersenang-senang di konser Alam Raja yang dirancang oleh Liga Musik Nasional atau Limunas di Institut Francais d’Indonesie (IFI) Bandung, Minggu (13/12). Konser itu menampilkan grup rock dari Bali, Navicula, dan trio grindcore Rajasinga.

Selain harga tiket, kecemasan sempat menyeruak karena Bandung diguyur hujan sejak sore. Hujan belum mereda menjelang jadwal pintu arena dibuka. Awalnya, panitia berencana mempersilakan penonton masuk ruang pertunjukan pukul 19.00, lantas digeser menjadi 19.15 demi menunggu calon penonton yang mungkin terjebak hujan. Nyatanya, penonton baru bisa masuk menjelang 19.30.

Harga tiket dan keengganan berhujan-hujanan bisa jadi penyebab penonton tak terlalu ramai. Ketika Rajasinga main, tiket masih tersisa. Ini agak di luar kebiasaan konser yang digelar Limunas. Pada perhelatan yang sudah-sudah, tiket selalu ludes sebelum acara dimulai.

Dugaan ketiga adalah bintang pada konser kali ini ”tidak terlalu menjual”. Navicula memang punya banyak pengikut. Namun, mereka jarang menyambangi Bandung. Publik Bandung lebih lekat dengan kultur metal dan pop. Pendengar grunge kurang mendapat tempat di sini, tetapi bukan berarti tidak ada.

Pada saat yang sama, band metal terbesar kota ini, Burgerkill, sedang menggelar acara ulang tahun ke-20 mereka di Cimahi. Bisa jadi pendengar musik cadas lebih terkonsentrasi pada acara bertajuk Hellshow itu. Penyuka grindcore ala Rajasinga juga sangat mungkin menyukai Burgerkill. Tiket Hellshow dijual lebih murah, dengan band penampil lebih banyak.

Bagaimanapun, acara tetap harus berjalan. Penonton tetap ada. Perkiraannya sekitar 200 orang. Cukup banyak, tetapi di bawah standar Limunas. Mereka yang hadir di gedung IFI itu adalah penonton yang lolos tiga dugaan ”saringan” itu. Penonton datang, bersuka ria, dan membeli tiket. Itulah yang membuat Boit girang.

20151217HEI04.JPG
Kelompok Navicula asal Bali

Navicula, yang baru melepas album akustik Tatap Muka pada Mei lalu, bermain sebagaimana mestinya: rock berdistorsi. Mereka bermain dalam set panjang, sekitar 90 menit. Daftar lagunya sampai dua halaman kertas A4. Mereka memainkan antara lain ”Menghitung Mundur”, ”Bubur Kayu”, ”Orang Utan”, dan ”Mafia Hukum”.

Rajasinga adalah ”sahabat” Limunas. Acara peluncuran album kedua Rajagnaruk dikerjakan penggawa Limunas. Di balik itu, Rajasinga juga hendak memperdengarkan lagu-lagu baru yang tinggal merekam bagian vokal. Klop sudah.

Indra ”Morrg” Wiryawan, basis dan vokalis Rajasinga, mementingkan tampil di Limunas kali ini. Ia dan dua kawannya seolah bermain untuk teman-teman lamanya. Sebagai ilustrator, sudah sering juga ia merancang poster konser untuk Limunas, termasuk poster konser Alam Raja ini. ”Sekalian juga merayakan sebelas tahun Rajasinga,” katanya.

(Herlambang Jaluardi)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Desember 2015, di halaman 36 dengan judul “Liga Musik Nasional: Melanggengkan Kesenangan Nonton Konser”