Kami ”Selfie”, maka Kami Ada

    0
    1211

    Ungkapan di atas benar adanya. Kemajuan teknologi ponsel pintar (smartphone) berkamera, yang memungkinkan orang dapat berfoto sendiri (selfie) dan segera mengunggahnya ke media sosial, membuat berswafoto menjadi menu wajib di setiap kegiatan.

    Keunikan sekaligus kelucuan gaya dan ekspresi mereka yang ”ber-selfie ria” hampir setiap menit dijumpai di dua lokasi wisata di Tokyo, Jepang, akhir November Lalu.

    Di Imperial Palace Ground misalnya, keindahan latar belakang jembatan serta panorama kota menjadi daya tarik pengunjung untuk ”ber-selfie ria”. Selain itu, ada juga beberapa pengunjung yang meminta bantuan kerabatnya untuk difoto sambil tidur-tiduran di hamparan batu kerikil dan rumput yang hijau.

    Sementara di Kuil Asakusa, kemegahan arsitekturnya tak luput menjadi santapan penggemarselfie. Sesaknya pengunjung tak menjadi halangan untuk berfoto. Mulai dari mereka yang menggunakan ponsel bertongkat atau tongsis (tongkat eksis) hingga yang memanfaatkan tripod dan remote dari ponsel pintarnya.

    Teknologi telah mengubah perilaku masyarakat saat berwisata. Dulu berfoto di obyek wisata hanya menjadi pelengkap kunjungan. Namun, sekarang berfoto sudah menjadi menu utama dan wajib untuk segera dilaksanakan agar kawan, kerabat, dan dunia mengetahui bahwa yang bersangkutan hadir di tempat tersebut.

    Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Heddy Shri Ahimsa-Putra (Kompas, 30 November 2015) mengatakan, wisata selfie berkembang karena kian besarnya keinginan manusia untuk menampilkan diri sendiri, sekaligus menegaskan perbedaan dengan orang lain. Bagi sebagian orang, foto-foto selfie di tempat wisata menjadi penanda bahwa mereka lebih istimewa daripada orang lain.

    Kalau sudah begitu, 1…2…3… cussss….

    Kompas/Priyombodo

     

    Kompas/Priyombodo

     

    Selfie 2

     

    (Priyombodo)


    Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Desember 2015, di halaman 31 dengan judul “Kami Selfie, maka Kami Ada”