Ketika Cinta Berbeda Rasa

0
1947

“Apa yang salah dengan cinta kita

Sehingga kita tak boleh bersama

Apa yang salah dengan cinta kita

Sehingga kita tak bisa bersama

Bukankah Tuhan yang mencitpakan cinta

Dan kita hanya menerimanya

Bukankah Tuhan yang menciptakan cinta

Dan kita hanya menjalankannya.”

 

Petikan dialog di atas menjadi pembuka sebuah dilematika cinta yang dialami oleh sepasang kekasih yang berbeda keyakinan. Mereka berusaha mati-matian untuk menjaga rasa dan cinta yang telah lama menjadi taman di dadanya. Namun, ketika berhadapan dengan orang tua yang teguh pendiriannya seketika rasa dan cinta mereka buyar seperti buih ombak diterpa angin. Sebuah layar yang telah dibangun di antara terpaan badai runtuh menjadi kepingan benang tanpa kelindan.

Siapa yang tidak pernah merasakan cinta, jatuh cinta bahkan mendapatkan kejayaan oleh cinta dan juga sebaliknya. Tidak terhitung berapa banyak penyair, ilmuan, cendekiawan, bahkan orang biasa-biasa saja yang telah mendefinisikan cinta di dunia ini. Lihat saja Jalaludin Rumi, Kahlil Gibran, Shakespeare, bahkan sastrawan Indonesia yang juga tidak terhitung jumlahnya dalam mendefinisikan cinta. Bahkan dalam sebuah film pun ada saja ungkapan yang mengartikan sebuah cinta. Seperti Nattu yang mengatakan bahwa “Cinta hanya mendatangkan musibah, mulai dari Farhad, Qois (Majnun), dan Romeo.”

Alim (diperankan oleh Stefanus) dan Kristin (diperankan oleh Ade Nawang) dalam sebuah lakon “Ketika Cinta?” karya dan sutradara Musalam Firman mengalami hal yang diungkapkan oleh Nattu di atas, yaitu cinta. Alim dan Kristin, dua insan yang percaya bahwa cinta akan membawa sebuah kebahagian tanpa harus melihat perbedaan. Namun, di akhir cerita semua menjadi musibah ketika Alim bertandang ke rumah kekasihnya, Kristin. Jika Romeo dan Juliet mengalami musibah atas cinta yang mereka yakini karena perseteruan keluarga, maka Alim dan Kristin sebaliknya. Orang tua mereka sama sekali tidak berseteru sedikit pun, tetapi ada alasan kuat yang membuat orang tua Kristin memutuskan untuk melarangnya berhubungan khusus dengan lelaki yang berbeda keyakinan.

Jika Qois (Majnun) dan Laila mendapatkan musibah atas cinta yang mereka pertahankan karena kasta, maka Alim dan Kristin tidak karena itu. Mereka hanya dibentur oleh sebuah keyakinan yang dianut oleh kedua pasangan kekasih tersebut yang akhirnya diketahui oleh keluarganya. Mereka terbentur oleh sebuah aturan yang mengatasnamakan agama. Alasan dan pembelaan tidak sedikit pun diindahkan oleh orang tua masing-masing.

Kita boleh percaya dan tidak percaya pada perkataan Nattu dalam film di atas bahwa cinta hanya mendatangkan musibah. Terbukti ketika cinta telah lama dibangun dan dipertahankan akhirnya buyar begitu saja hanya karena perbedaan. Bukankah perbedaan menjadikan suatu hal menjadi indah dan setiap makhluk di dunia diciptakan berbeda-beda. Lalu, kenapa masih saja ada yang mempermasalahkan perbedaan tersebut demi sesuatu yang sakral.

Di sinilah konflik yang dibangun dalam pementasan “Ketika Cinta?” siang tadi di gedung PGRI Jakarta Selatan. Sebuah keyakinan yang berbeda tidak mampu menyatukan sebuah perbedaan yang telah lama menyatukan perbedaan rasa, yaitu cinta. Cinta antara Alim dan Kristin. Mereka telah berhasil menyatukan perbedaan dengan cinta dan berkahir dengan perbedaan yang juga mengatasnamakan cinta. Cinta menyatukan yang berbeda juga memisahkan yang berbeda. Antara cinta tidak ada yang dapat memprediksinya. Cinta menguatkan yang lemah dan melemahkah yang kuat. Napoleon Bonaparte, singa daratan  Eropa yang gagah perkasa bertekuk lutut ketika berhadapan dengan cinta. Cinta memang mendatangkan musibah.

Antara Alim dan Kristin bukanlah sebuah kisah yang dialami Napoleon dan Margareth atau Julius Caesar dan Cleopatra. Namun, antara keduanya hanya sebuah perbedaan yang seakan lebih kokoh dari tembok berlin yang membelah Jerman menjadi dua. Mereka harus berpisah dan saling mengikrarkan ucapan selamat tinggal.

Itulah akhir dari sebuah kisa cinta dua anak manusia yang terkapar di antara ngarai membingungkan. Mereka harus menerima perbedaan dengan perbedaan yang telah mereka bangun menjadi cinta.

Lakon “Ketika Cinta?” adalah sebuah naskah drama yang dipentaskan oleh Komunitas Ranggon Sastra, Jakarta. Komunitas tersebut telah mementaskan berbagai naskah baik dalam kompetisi dan lainnya. “Lakon Cinta?” adalah produksi yang kesekian kalinya yang diadakan untuk menyumbang terhadap dinamika sastra Indonesia. Selamat dan maju terus Komunitas Ranggon Sastra!!!

 

“Bangga Hati Menjadi Kami, Bangga Hati Menjadi Komunitas Ranggon Sastra”

 

Jakarta, 211115

@MH_Kholis