Pepatah asam di gunung garam di laut tak berlaku di pedalaman Papua. Para leluhur Suku Dani, yang menghuni Lembah Baliem, secara turun-temurun memperoleh rasa asin dari sebuah mata air garam di Gunung Mili, di ketinggian 2.100 meter di atas permukaan laut. Sesuatu yang ”ajaib”, asam dan garam menyatu di gunung terpencil, jauh dari jamahan manusia.
Desa Jiwika, Kecamatan Kurulu, Kabupaten Jayawijaya, berjarak 25 menit perjalanan dari kota Wamena. Dari desa ini perjalanan melalui sebuah dataran sabana, tempat babi-babi mencari cacing dan akar rumput. Kira-kira 10 menit, kita mulai berhadapan dengan perbukitan terjal dengan beberapa kemiringan mencapai 45 derajat. Tentu saja rombongan Cultural Trip Mahakarya Indonesia yang tak biasa mendaki gunung, meski diantar pemandu kawakan Herriman Sihotang, mulai ketar-ketir.
Sementara para pemuka suku Dani seperti Elesina Mabel (70), Markus Mabel (60), Okama Mabel (60), serta mereka yang lebih muda, Mariana Sorabut dan Yina Mabel, berjalan seperti berlari. Meski tanpa alas kaki, orang-orang pedalaman ini bisa dengan mudah melalui celah bukit berbatu yang mulai licin karena gerimis.
Pemandu kami Herriman Sihotang, yang telah memandu begitu banyak perjalanan ke pedalaman Papua, cuma menerangkan, pada hari ketiga cultural trip yang berlangsung 14-17 September 2015 itu, kami akan melihat proses pembuatan garam di pegunungan. Ia sepertinya menyembunyikan medan ”berat” yang harus kami tempuh sebelum mencapai puncak Gunung Mili.
Saya terpancing mendengar ungkapan ”air garam” di puncak gunung. Bagaimana mungkin? Lembah Baliem yang dihuni suku Dani terletak di pegunungan tengah, sebuah pedalaman yang membentang antara 60 kilometer dari utara ke selatan dan 16 kilometer dari timur ke barat. Lembah ini dikelilingi pegunungan yang berhutan lebat yang tak mudah ditaklukkan. Posisi ini membuat Lembah Baliem jauh dari pantai. ”Mereka dulu bisa jalan berhari-hari untuk memperoleh garam,” kata Herriman Sihotang.
Karunia pengecap rasa asin dari lidah bisa mendorong pengembaraan menempuh medan berat. Suku Dayak Kenyah di Kalimantan Tengah bermigrasi turun gunung atau bahkan melintasi perbatasan Malaysia untuk memperoleh garam. Begitulah juga orang-orang suku Dani. Para leluhur mereka, kata Markus Mabel, menjelajah kawasan lembah untuk memperoleh rasa asin. Asam gunung dan manis hipere (ubi jalar), serta pahit dedaunan, tak cukup mengesankan bagi lidah. Penjelajahan yang didorong lidah itu akhirnya menemukan mata air, kemudian disebut iluagimo, yang ukurannya tak lebih dari 10 meter persegi, dan terletak di puncak Gunung Mili.
Proses
Mata air garam tak hanya berfungsi sebagai pemuas petualangan lidah. Suku Dani percaya bahwa garam adalah keajaiban yang dianugerahkan alam pegunungan. Tak jauh dari mata air terdapat sungai yang rasa airnya tawar. Itu menandakan bahwa mata air garam ini benar-benar hadir sebagai karunia.
Air garam ini juga dipercaya memiliki kekuatan penyembuh berbagai penyakit oleh penduduk lokal. Oleh sebab itulah mata air ini disakralkan. ”Tidak boleh mandi dan buang air di sekitar sini,” kata Markus Mabel. Bahkan, duduk di atas batu besar, yang terletak di atas mata air pun dilarang keras.
”Itulah cara mereka menjaga mata air garam ini,” ujar Herriman Sihotang yang fasih berbahasa Dani. Menurut dia, ada beberapa ritual yang digelar secara tertutup oleh orang Dani di mata air garam. ”Tetapi, sampai sekarang saya belum boleh melihatnya,” katanya.
Jangan cuma membayangkan keindahan lanskap Lembah Baliem dari ketinggian ini. Medan menuju mata air garam cukup berat untuk ukuran orang yang tak punya pengalaman mendaki gunung. Selain kemiringan medan mencapai 45 derajat di beberapa lokasi, pendaki juga harus melintasi jalanan sempit di celah tebing berair yang licin. Beberapa bahkan berlumpur cukup dalam.
Siang hari ketika kami mendaki, gerimis turun, tetapi cuaca terasa gerah. Kondisi itu yang membuat para anggota rombongan cepat lelah. Beberapa dari kami sempat terpeleset dan jatuh. Namun, orang-orang Dani yang menemani kami secepat kilat memetik daun idingga, sejenis sirih hutan yang dingin. Mereka memberi isyarat agar idingga ditempelkan di leher dan jidat lalu menarik napas dalam-dalam. Ada kesejukan yang mengalir di tengah napas yang tersengal-sengal. Meski begitu, banyak juga kejadian di mana anggota rombongan dipapah naik oleh orang-orang Dani.
Kendati kini sebagian orang Dani sudah memakai garam yang dibeli dari pasar di Wamena, proses pembuatan garam gunung tak lantas hilang. Sebelum naik ke mata air garam, Markus Mabel dan orang-orang Dani telah membawa batang pisang muda. Setelah menghilangkan lapisan lilinnya dengan cara mengerik, pelepah-pelepah pisang kemudian ditumbuk hingga lembut. Serabut yang terdapat pada pelepah digunakan sebagai media penyerap air garam. Proses itu bisa berlangsung sampai 4 jam.
”Nanti pelepahnya dijemur atau dikeringkan di atas perapian,” kata Mariana Sorabut. Rasa asin garam, tambah Mariana, diperoleh dengan cara membakar serabut pelepah batang pisang. ”Lalu abunya dicampurkan ke dalam sayuran atau makanan lainnya,” kisah perempuan murah senyum ini.
Sampai kini tradisi pembuatan garam pegunungan itu masih dilakukan orang-orang Dani meski garam dapur dari pasar-pasar mudah didapat. Tradisi, bagi orang Dani, tak sekadar warisan leluhur yang harus dipelihara, tetapi menjadi artefak ilmu pengetahuan, yang berhasil mereka raih dengan belajar dari alam. Alam adalah mahaguru kehidupan, yang tak pernah berhenti memberi pelajaran kepada setiap makhluk di dalamnya. ”Kami belajar semua ini dari alam…,” kata Kepala Suku Dani Yali Mabel di kampung Anemaugi, Kurulu, Jayawijaya.
Mendengar itu, perjalanan naik turun menuju puncak Gunung Mili, yang menghabiskan waktu sampai 4 jam, terasa tidak sia-sia….
(Putu Fajar Arcana)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Oktober 2015, di halaman 25 dengan judul “Lembah Baliem – Tak Ada Laut, Garam Gunung Pun Jadi”