Madu adalah salah satu hadiah terbaik dari alam. Ingin mencicipi bagaimana rasa asli madu setelah dipanen? Mari kita buntuti tim pemburu madu hutan di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.

Di balik tersajinya madu di rumah-rumah kita, ada cerita tentang mencari jejak rumah lebah yang siap dipanen. Kisah tentang ”merayu” lebah agar tidak marah ketika madu mereka diambil. Juga kisah memanjat pohon menjulang tanpa bantuan alat pengaman. Para pemanen madu harus bertaruh nyawa dari risiko jatuh saat memanjat atau tersengat ribuan lebah jenis Apis dorsata.

Moses Tobi Kelen (41), Yoseph Kopong Oyan (41), dan Antonius Siu Oyan (25) menengadahkan kepala memandang pohon bayam yang berada di tengah perkebunan kopi di kawasan Hokeng, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ini bukan pohon bayam seperti yang kita kenal. Tingginya saja mencapai 50 meter. Di salah satu dahannya, tergantung rumah lebah.

Trio ini lantas bergegas. Matahari segera tenggelam. Seakan berlomba dengan waktu, berharap kepulangan kawanan lebah tidak segera tiba. Lebah bisa mencari makan hingga radius 3 kilometer dari sarangnya. Mereka mengisap sari bunga tanaman asli di hutan.

Pohon ini pernah dikunjungi dua tahun lalu untuk memanen satu dari dua rumah lebah yang ada. Mereka hampir lupa dengan pohon ini karena ketika musim panen madu, pohon dengan lebih banyak sarang yang diincar. Musim panen madu berlangsung Maret-April, Juli-Agustus, dan Oktober-Desember. Saat mendatangi pohon bayam ini, kami berada pada awal September, bersamaan dengan musim kemarau yang belum juga pergi.

Di tengah hutan Flores, sebuah pohon yang digemari lebah bisa menjadi inang atau induk bagi puluhan sarang, bahkan hingga 60-70 sarang lebah sekaligus. Pohon-pohon ini berada di lokasi yang sering kali tidak mudah dijangkau, di tepi tebing yang berbatasan dengan jurang, di gua atau di batu besar.

”Kalau di luar musim panen, pohon dengan satu-dua sarang kembali dilirik. Kalau lebah galak-galak, berarti banyak madu. Ada juga yang mengecek madu pada tubuh lebah,” ungkap Yoseph.

Kuncinya mental

Yoseph sudah 22 tahun menjadi pemanjat. Keahlian ini tidak pernah dipelajari khusus. Sejak kecil, ia hanya kerap menyaksikan ayahnya memanjat pohon demi pohon dan memanen madu. Ketika dewasa, dengan sendirinya, anak-anak pemanjat akan menggantikan ayah-ayah mereka. ”Kuncinya hanya mental. Harus berani,” katanya.

Jangan bayangkan para pemanjat ini menggunakan pengaman ketika bekerja. Mereka hanya memanjat begitu saja. Memeluk pohon dan meniti melalui kulit kayu. Satu-satunya alat bantu adalah sebatang bambu yang masih memiliki buku-buku untuk pijakan kaki. Batang bambu ini diikat dengan kulit kayu di batang pohon.

Sebagai bekal, Yoseph membawa seutas tali yang digunakan sebagai alat transportasi dari atas ke bawah. Ia juga menyelipkan parang di pinggang. Melihatnya memanjat, kita terkagum-kagum sekaligus deg-degan. Gerakannya cepat dan dengan segera sudah sampai di atas. Terkadang untuk mencapai sebuah dahan, diperlukan ”jembatan” antardahan yang disusun dari bambu. Titian bambu juga dimanfaatkan jika pemanjat ingin pindah ke pohon lain yang berdekatan. Untunglah hingga kini, belum pernah ada cerita seorang pemanjat terjatuh dari pohon saat bekerja. Mereka terlatih membuat penghitungan matang.

Ketika Yoseph mendekati sarang lebah, Moses dan Antonius menyiapkan semacam obor yang terbuat dari lilitan dahan kering dan sabut kelapa yang di bagian luar dilapisi daun-daun hijau. Obor ini kemudian disulut oleh api. Keberadaan daun hijau yang masih segar mencegah api membesar. Sebagai gantinya, obor yang terbakar ini hanya mengeluarkan asap yang digunakan untuk menghalau lebah dari sarangnya untuk sementara. Obor dinaikkan dengan tali yang diulurkan turun oleh Yoseph. Tali ini juga digunakan untuk mengirimkan bambu-bambu serta ember dari bawah.

Setelah menghalau lebah dengan obor, Yoseph memotong bagian atas sarang dengan parang, lantas menempatkannya dalam ember yang kemudian diturunkan dengan tali yang diterima Moses dan Antonius. Keduanya berperan sebagai pembantu pemanjat.

Untuk memanen, biasanya dibentuk tim yang terdiri dari pemanjat dan para pembantu. Isi tim 3-4 orang. Pembantu pemanjat juga bertugas menyaring madu yang diperoleh. ”Harus sigap. Kalau malas, pemanjat bisa tidak kasih madu,” kata Antonius, yang ayahnya juga seorang pemanjat.

Biasanya, mereka bekerja pada malam hari, bahkan menghindari waktu bulan purnama karena lebah menjadi ”buta” saat gelap. Jika memanen dari sebuah pohon besar yang menaungi hingga puluhan sarang, tim pemanjat biasanya melakukan ritual khusus. Mereka menaruh nasi, telur, dan lilin sebagai tanda mohon izin kepada pohon sebagai pemilik lebah.

Panen lestari

Ketiganya berasal dari Desa Leraboleng, Kecamatan Titehena, Kabupaten Flores Timur. Desa ini dikenal sebagai desa asal pemanjat yang sudah muncul sejak tujuh generasi lalu. Sehari-hari mereka adalah petani. Saat musim panen madu, mereka berburu hingga ke kabupaten lain, seperti Lembata, Sikka, hingga Alor. Biasanya, tim pemanjat bekerja sama dengan pemilik pohon inang sarang dengan pembagian madu 50 : 50. Separuh untuk pemilik pohon, separuh lagi untuk tim. Ada pula yang menerapkan pembagian 30 : 30 : 30 untuk pemilik pohon, pemanjat, dan pembantu pemanjat.

Yoseph dan kawan-kawan dari Kelompok Madu Hutan Flores yang tergabung dalam Jaringan Madu Hutan Indonesia (JMHI) menerapkan panen lestari. Mereka tidak mengambil seluruh sarang, tetapi hanya kepala sarang yang mengandung madu. Mereka menyisakan bagian sarang yang memuat anak lebah, telur, dan lilin. Dari satu sarang bisa dipanen 3-4 kali. ”Praktik terdahulu, seluruh sarang dipotong habis, diperas, lalu dibakar,” kata Moses.

Padahal, selain menghabiskan potensi madu berikutnya, praktik ini juga menurunkan kualitas madu. Madu yang mengandung enzim dari lebah akan berfermentasi dan menghasilkan alkohol jika terkontaminasi dengan kotoran dari perasan sarang atau sisa kaki atau sayap lebah. Jika ditempatkan di dalam botol plastik, akan menggembung.

”Untuk panen lestari, kami pakai sistem tiris. Sarang diiris di bagian lilin agar madu dapat keluar. Lantas disaring dengan kain berkerapatan 50-100 mesh,” jelas Yohanna Keraf dari Yayasan Sahabat Cipta yang mendampingi petani.

Di Rumah Madu, istilah mereka untuk tempat pengolahan madu, madu hasil panen kembali disaring lantas dikurangi kadar airnya menjadi sekitar 20 persen dari semula 22-24 persen, lalu diendapkan sebelum dikemas dalam botol. Madu hutan punya sifat natural mengandung air lebih banyak dibandingkan dengan madu ternak sehingga cenderung lebih encer. Saat kami cicipi dengan cara menghirup dari sarang dan mengunyah-ngunyahnya, madu hutan ini cair dengan rasa manis yang pekat.

Berdasarkan penelitian Rita Kartika Sari dan Rio Bertoni dari JMHI, madu hutan Flores paling tinggi mengandung zat anti kanker payudara dan serviks serta antioksidan. Di Flores Timur, madu ini bisa kita peroleh dengan harga Rp 100.000 per kilogram.

(Sri Rejeki)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 September 2015, di halaman 25 dengan judul “Semanis Madu Flores”