Kita mundur sejenak, mengingat akhir cerita dari sekuel film sebelumnya, The Maze Runner. Sekelompok remaja di bawah pimpinan Thomas (Dylan O’Brien) berhasil meloloskan diri dari ”The Glade”, sebuah kamp yang dikelilingi tembok labirin yang mematikan. Di pengujung adegan, Thomas dan kawan-kawan baru menyadari bahwa mereka adalah kelinci percobaan dari sebuah eksperimen besar yang dikelola organisasi bernama World in Catastrophe: Killzone Experiment Department (WCKD/sering diplesetkan menjadi wicked) di bawah kendali Dr Ava Paige (Patricia Clarkson).
Kini, dalam Maze Runner: The Scorch Trials, Thomas dan kawan-kawan yang diselamatkan pasukan bersenjata itu ditempatkan di sebuah ”asrama” bersama ratusan anak yang juga berasal dari kamp percobaan lainnya. Awalnya, mereka merasa perjuangan mereka untuk kembali ke alam kebebasan sudah tercapai. Ternyata, ini baru awal dari perjuangan yang lebih menegangkan dan melelahkan.
Singkat cerita, Thomas dan teman-temannya berhasil kabur dari asrama yang ternyata dikuasai WCKD. Mereka tiba di Scorch, sebuah padang tandus dengan latar belakang kota mati yang luluh lantak, tak berpenghuni. Namun, perkiraan ini meleset. Ribuan crank (sejenis zombie) menunggu mangsa di antara reruntuhan, melekat pada tembok-tembok dan kegelapan. Bisa diduga, dari menit ke menit, para remaja ini terus berlari dari buruan crank yang bergerak cepat dan lincah dalam memanjat reruntuhan bangunan.
Tegang
Menyaksikan adegan perburuan yang melelahkan dan tak ada habisnya, tebersit pertanyaan, apa sebenarnya yang menjadi latar belakang semua kekisruhan ini? Apa alasan menempatkan para remaja itu di Maze dan kemudian dijadikan kelinci percobaan kembali? Plot cerita tak digarap dengan baik oleh penulis skenario TS Nowlin. Kaitan yang menjadi kunci hanya muncul di sejumlah percikan dialog yang tak runtun. Bahwa, dunia memerlukan obat untuk melawan virus the flare. Terkait itu, organisasi WCKD perlu mempelajari pola otak anak-anak yang imun dari penyakit itu, di antaranya Thomas dan kawan-kawan, melalui serangkaian eksperimen.
Sulit untuk tidak membandingkan The Scorch Trials dengan film sejenis (di mana remaja menjadi tokoh penyelamat dengan setting dunia pasca kehancuran), sebutlah The Hunger Games, yang sejak awal berhasil membawa penonton ke dalam konstruksi persoalan dengan semua komplikasinya. Fondasi yang kuat ini tidak ditemukan dalam The Scorch Trials.
Meski demikian, dibandingkan sekuel sebelumnya, The Scorch Trials digarap lebih baik, dengan kadar ketegangan yang lebih kuat. Kehadiran sosok baru, Brenda (Rosa Salazar), yang tomboi dan penuh akal, memberi warna segar pada kelompok pelarian ini. Kontribusi sosok Min Ho (Ki Hong Lee) yang berwajah Asia dan kocak juga diperbesar.
Relasi persahabatan kelompok pelarian ini kembali diuji lewat cinta, pengkhianatan, dan ambisi pribadi. Perjuangan yang sudah dirintis lewat pergulatan yang melelahkan itu kembali ke titik awal. Hanya saja, Thomas yang sudah mengukuhkan dirinya sebagai pemimpin
kali ini sudah punya tujuan pasti. Ia akan melawan langsung
Dr Ava Paige dengan atau tanpa bantuan teman-temannya. Namun, revolusi para pelarian ini baru akan kita saksikan di sekuel berikutnya, tahun depan.
The Scorch Trials
- Sutradara: Wes Ball
- Skenario: TS Nowlin adaptasi dari novel James Dashner
- Pemeran: Dylan O’Brien, Kaya Scodelario, Lili Taylor, Thomas Brodie Sangs, Ki Hong Lee, Aidan Gillen, Jacob Lofland, Rosa Salazar
(MYR)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 September 2015, di halaman 29 dengan judul “The Scorch Trials Perburuan Itu Masih Berlanjut”