Dataran Tinggi Gayo seperti membenarkan ungkapan bahwa tidak ada kesenangan tanpa rasa sakit. Dia tersembunyi di pedalaman Aceh yang memaksa pengunjung terguncang-guncang di jalan selama berjam-jam atau bertaruh nyawa menaiki pesawat perintis. Tapi, semua itu lunas berlipat ganda begitu tiba di sana.

Dataran Tinggi Gayo terdiri atas tiga kabupaten, yakni Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Gayo Lues. Disebut Dataran Tinggi Gayo atau Tanoh Gayo lantaran ketiga daerah tersebut dihuni suku Gayo. Asal-usul suku Gayo masih menjadi bahan diskusi, terlebih baru-baru ini ditemukan kerangka manusia berusia 6.500 tahun di situs Loyang Mendale.

Kawasan Tanoh Gayo berderet yang terangkai oleh Bukit Barisan. Sebagian besar Tanoh Gayo dengan ketinggian 400 meter sampai 2.600 meter di atas permukaan laut ini tertutup hutan tropis dan pinus mercusi.

Karena berada di perbukitan, jalur menuju Tanoh Gayo tidak senyaman Jakarta-Yogyakarta, misalnya. Jalur darat bisa dilalui dari Banda Aceh dengan jarak tempuh sekitar 317 kilometer. Atau bisa juga dari Medan, Sumatera Utara, dengan jarak tempuh 481 kilometer. Jika ingin perjalanan lebih singkat, tersedia alternatif menggunakan pesawat perintis dari Banda Aceh ataupun Medan menuju Bandar Udara Rembele di Kabupaten Aceh Tengah.

Setelah terbang dari Jakarta ke Medan, kami memilih jalur darat karena hari itu tidak ada jadwal penerbangan dari Medan ke Takengon, Aceh Tengah. Jadwal penerbangan hanya pada Selasa dan Kamis, sementara dari Banda Aceh-Takengon hanya sepekan sekali.

Selama hampir 10 jam kami menyusuri jalan. Namun, setelah melewati Bireuen, kami tak lagi dapat memejamkan mata karena jalanan berliku dan naik-turun. Kontur perbukitan mulai terasa. Sehabis subuh, sekitar pukul 06.30, kami tiba di Bener Meriah.

Begitu membuka pintu mobil, udara sejuk nan segar langsung menyergap dan merambati pori-pori. Seperti teman lama yang baru bertemu kembali. Kesegarannya ibarat kutub lain dari penat dan panasnya Jakarta. Barang kali ini tempat kabur yang pas dari Ibu Kota.

Seorang kawan, Rizky Pinosa (24), mempersilakan kami beristirahat di rumahnya. Kami terlelap dibuai udara sejuk yang menyelinap dari sela-sela dinding kayu. Juga oleh rasa capai setelah perjalanan jauh.

Pelangi muncul di atas danau Lut Tawar, Takengon. Kompas/Mohammad Hilmi Faiq
Pelangi muncul di atas danau Lut Tawar, Takengon.
Kompas/Mohammad Hilmi Faiq

Kopi Gayo di Tanoh Gayo

Setelah cukup istirahat, kami mandi dengan air hangat yang mengalir dari Gunung Api Burni Telong ke rumah-rumah warga. Air berbau belerang itu sangat membantu kami melawan hawa sejuk yang lama-lama menjadi terlampau dingin.

Rizky lalu mengajak kami menikmati kopi gayo. Memang kopi arabika gayo menjadi salah satu menu dalam daftar kami. Kopi arabika gayo tenar seantero dunia melebihi Tanoh Gayo ataupun orang Gayo itu sendiri. Banyak orang tak tahu lokasi Tanoh Gayo, tetapi sudah lebih dulu menyeruput kopi kental Gayo.

Kopi gayo adalah anugerah Tuhan. Awalnya dia tumbuh liar dan hanya menjadi pagar kebun tembakau atau gambir. Buahnya biasanya diberikan kepada unggas dan warga hanya sesekali meminum sari daun kopi yang dikeringkan. C Snouck Hurgronje dalam Het Gajoland en zijne Bewoners (Batavia, 1903) menyebutkan, baru sekitar 1903 itu beberapa petani menjual sebagian kopi ke daerah pesisir.

Tampaknya dari sana kopi gayo terus berkembang hingga sekarang. Bahkan, kedai waralaba dengan sajian utama kopi, seperti Starbucks, pun menjadikan kopi gayo sebagai salah satu menu andalan. Petani Tanoh Gayo kini menjadikan kopi sebagai salah satu komoditas utama. Tanoh Gayo menjadi negeri kopi.

Semula kami membayangkan menikmati kopi gayo yang diracik secara sederhana semacam kopi tubruk meskipun sempat mendapat informasi ada kedai sejenis kafe di Tanoh Gayo. Rupanya memang sudah banyak kafe yang mengolah kopi gayo secara modern. Dari Bener Meriah, Aceh Tengah, hingga Gayo Lues setidaknya terdapat 20 kafe yang mengolah kopi secara modern.

Kami sempat mampir ke Garabi Coffee di Simpang Teritit, Bener Meriah. Di sini kami disuguhi kopi arabika gayo dan kopi luwak gayo. Aroma kopi yang begitu menggoda menjadikan sore hari itu istimewa. ”Kopi ini kami ambil dari para petani mitra bisnis yang menanam kopinya secara organik. Kualitas itu yang kami jaga,” kata Asri, pemilik kafe.

Permukiman warga Takengon, Aceh. Kompas/Mohammad Hilmi Faiq
Permukiman warga Takengon, Aceh.
Kompas/Mohammad Hilmi Faiq

Keesokan harinya hujan lebat di Takengon. Kami menyempatkan diri mampir ke ARB Coffee, sebuah kafe yang baru beroperasi enam bulan lalu. Begitu masuk, suasana hangat langsung terasa oleh pencahayaan bernuansa kuning kecoklatan serta interior senada. Di ujung kafe, kami melihat barista sibuk meracik kopi menggunakan mesin espresso.

Terlihat juga deretan Chemex, alat tradisional pengolahan kopi yang digemari agen rahasia James Bond. ”Kami menjaga tradisi sekaligus tidak mau ketinggalan dengan perkembangan pengolahan kopi,” kata Erwin Pratama (37), pemilik ARB Coffee di Jalan Lebe Kader Reje Bukit.

Nama ARB merupakan akronim dari Asli Reje Bukit. Erwin sendiri berani membuka kafe karena telah mengantongi sertifikat sebagai barista setelah mengikuti kursus Esperto Barista Course di Jakarta pada 2012.

Disapa pelangi

Ke Tanoh Gayo memang belum lengkap sebelum menyeruput kopi dan tentu saja melihat Danau Lut Tawar, danau yang ada di Aceh Tengah. Maka, pada sore yang cerah keesokan harinya, kami pun melaju ke sana. Semburat matahari sore yang hangat sangat pas dipadu dengan embusan angin danau nan sejuk.

Dari ketinggian Bukit Bor Kebayaken yang hanya berjarak sekitar 500 meter dari bibir danau, mata kami menyapu lanskap danau yang seolah membawa kami ke negeri lain. Hamparan sawah nan hijau di tepi danau dihiasi kuning dan coklat warna rumah warga. Di depan sana, air danau sedemikian tenang dipayungi gulungan awan putih.

Tiba-tiba, muncul sebongkah pelangi di tengah danau. Kami tersihir. Kami ingin berlama-lama di sini. Pelangi jangan pergi. Sayangnya ia hanya lima menit menampakkan diri.

Pelangi itu mengingatkan pada cerita rakyat Gayo tentang Putri Hijau, gadis yang menceburkan diri ke danau karena mengetahui dikawinkan dengan abang kandungnya. Putri Hijau konon sesekali muncul bersamaan dengan saat pelangi menampakkan diri.

Pelangi yang muncul di atas Danau Lut Tawar tanpa Putri Hijau saja sudah demikian indah. Bagaimana pula jika Putri Hijau itu benar-benar muncul. Keindahan pelangi tak bisa dimungkiri. Jika perjalanan kami ke negeri kopi ini adalah sebuah orkestra, pelangi tadi adalah penutup yang
indah.

(Mohammad Hilmi Faiq)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 September 2015, di halaman 25 dengan judul “Sebongkah Pelangi di Negeri Kopi”