Suara Andien terdengar sedikit bergetar ketika pertama kali menyapa penonton di panggung. Gerak-gerik tubuhnya menunjukkan sedikit kegugupan sekaligus antusiasme. Namun, Andien tak menutupinya. Dia seperti kupu-kupu penuh warna, yang bisa cantik, bisa rapuh, bisa absurd, dan tetap terbang bebas sesukanya.

Selamat menikmati ketidaksempurnaan saya, absurdity saya,” serunya kemudian. Konser tunggal Andien bertajuk ”Metamorfosa” menjadi momen yang ditunggu-tunggu dirinya sendiri, sahabat, dan penggemarnya. Konser ini menandai 15 tahun kiprah Andien di pentas musik Indonesia.

Penyanyi ini 15 tahun lalu mencuri perhatian dengan warna suara khasnya. Berkat asuhan Elfa Secioria, Andien kecil terbentuk di jalur musik yang ketika itu sepi dari lirikan penyanyi baru. Penghargaan dari berbagai ajang festival pun menjadi pembuktiannya.

Kini, setelah meluncurkan enam album, Bisikan Hati (2000), Kinanti (2002), Gemintang (2005), Kirana (2010), #Andien (2013), dan Let It Be My Way (2014), sulung dari tiga bersaudara ini ingin mensyukurinya melalui konser. Namun, Andien tak berpretensi menggelar konser ala seorang diva. Landasan panggung dari tripleks pun dibiarkan mentah telanjang. Andien seperti hendak menyambut damai segala ketidaksempurnaannya. ”Konser ini bukan dibuat untuk menjadi besar, tetapi dalam,” ujar Andien.

Seperti seruannya tadi, konser yang digelar di Plenary Hall, Jakarta Convention Center, Selasa (15/9) malam, itu memang berlangsung dalam nuansa absurditas. Nuansa yang mencerminkan individualitas Andien sebagai penyanyi yang setia merawat segala keunikan karakternya tanpa tergoda arus tren.

”Aku sebenarnya cukup bertaruh dengan konser ini. Musik yang aku bawakan sebenarnya bukan untuk kapasitas venue tiga ribuan orang yang heterogen tipenya. Namun, alhamdulillah selama 3,5 jam hingga akhir penonton bertahan dan menikmati,” ujar Andien.

Andien memang terlihat benar-benar tahu celah yang dipertaruhkan. Gaya bermusik cross over ditampilkannya malam itu, mulai dari sentuhan swing, bebob, fusion, hingga new orleans, sebenarnya lebih bersenyawa dalam ruang pertunjukan yang intim. Namun, dengan hasrat absurditas-nya, Andien membawanya di ruang berkapasitas besar yang mau tak mau memberi bentangan jarak antara dirinya dan penonton.

Lantas, bagaimana dia menyiasatinya? Melawak ala stand up comedy rupanya menjadi titian yang cukup ampuh. Demi debutnya melawak di panggung itu, Andien menyempatkan diri berguru singkat dengan komika Ernest Prakasa. Hasilnya, cukup mengejutkan. Sorak-sorai dan derai tawa penonton malam itu pecah membahana.

Personal

Selain lawakan, penampilan Andien berkolaborasi dengan sejumlah musisi lain juga menjadikan suguhan musik cross over menjadi apik. Mulai dari The Cash, Teza Sumendra, GAC, Llyoid Popp dan Jevin Julian, hingga Yovie Widianto. Setiap kolaborasi itu diselimuti nuansa musik yang berbeda-beda dan terkadang mengejutkan.

Dengan The Cash saat membawakan ”Let It Be My Way”, Andien lebur bebas dengan gaya rock. Andien pun tak ragu menjajal bereksperimen bersama pemain talk box Llyoid Popp dan vokal perkusi beatbox dari Jevin Julian. Arena Plenary Hall pun tersulap bagai pesta electronic dance music yang dihujani tembakan lampu laser. Andien dengan asyik larut membawakan medley ”The Girl from Ipanema”-”My Funny Valentine”-”Menjelma”.

Sekitar dua puluhan lagu dibawakan Andien hingga akhir konser dengan memikat. Warna suaranya yang khas, empuk, dan bulat selalu terdengar menawan seperti saat membawakan lagu ”Bimbi” yang pernah dibawakan Titiek Puspa dan Rollies.

Di sela-sela bernyanyi, Andien membuka lembar-lembar perjalanannya dalam bermusik dengan apa adanya. Mulai dari pengalaman dirisak (bully) oleh musisi senior yang menganggapnya anak kecil yang tak pantas bernyanyi jazz, kenangannya akan guru yang dikasihinya almarhum Elfa Secioria, putus cinta, hingga memori masa kecil ketika Andien masih anak balita bergaya seolah-olah tengah berkonser. Khusus untuk sang guru, Andien membawakan ”Selamat Jalan Kekasih”, lagu ciptaan Elfa yang belum pernah dipublikasi.

Suguhan personal semacam itu cukup berhasil meretas jarak antara Andien dan audiensnya. Layar backdrop pun menampilkan video rekaman sejak Andien baru lahir, anak balita, hingga masa kanak-kanak. Keberanian untuk apa adanya dengan berbagi cerita dan tayangan dokumentasi keluarga menjadikan konser Andien diselimuti kehangatan tersendiri. ”Tayangan video itu aku sebenarnya enggak tahu, kejutan dari art director Anton Ismael. Terharu banget pas nonton di panggung,” ungkap Andien.

Mode

Jika mencermati Andien sejak awal kemunculannya, satu hal yang nyata terlihat selain kualitas vokalnya yang kian matang adalah penampilannya yang tambah memikat. Andien belakangan menjadi ikon mode hasil selera dan bentukannya sendiri.

Instagram menjadi salah satu wadah esensial yang merekam perjalanannya bermetamorfosis dalam hal gaya penampilan. Kegemarannya berolahraga sehingga membentuk tubuhnya menjadi padat, bersinergi sempurna dengan selera berbusananya yang elegan.

Dalam konser ”Metamorfosa”, kita bisa menikmati penampilan Andien yang memang terlihat tahu sekali apa yang cocok untuk dirinya. Lima perancang busana berkontribusi menggarap kostum panggung Andien, mulai dari Didi Budiardjo, Sapto Djojokartiko dengan label Todjo, Tri Handoko, Mel Ahyar, hingga Danjyo Hiyoji.

Dalam beberapa kali keperluan bersalin busana, Andien melakukannya di atas panggung, menjadi bagian dari show. Busana yang dirancang pun memang memungkinkannya untuk demikian.

Setiap busana seperti mencerminkan berbagai sisi Andien. Sisi glamornya hadir melalui busana Didi Budiardjo di awal penampilan. Busana dari Danjyo Hiyoji menyelubungi Andien dalam bayangan misterius yang seksi. Kesan polos kekanakan terasa saat Andien berbalut busana terusan longgar bercetakan gambar wajahnya sendiri dari Happa, label busana siap pakai kolaborasi dirinya dengan desainer Mel Ahyar. Di balik busana itu, Andien mengenakan gaun panjang ultra feminin keemasan rancangan Mel Ahyar.

Jiwa petualangnya juga tecermin dari kostum unik berwarna merah putih rancangan Tri Handoko yang agak berfantasi komikal. Hingga menjelang akhir konser, busana mini merah dari Todjo, label siap pakai desainer Sapto Djojokartiko, membingkai sosok Andien dengan seksi, sedikit menggoda, sekaligus elegan dan matang. Foto-foto Andien dengan aneka mode itu diunggah di Instagram dengan tagar #andienMetamorfosa.

Bayangan gadis kecil polos bersuara jazzy itu lama-kelamaan tersimpan rapi pada masa lalu. Seperti ucapannya di video di layar panggung, ”Metamorfosa adalah saya…,” bisik Andien.

(Sarie Febriane)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 September 2015, di halaman 29 dengan judul “”Metamorfosa” adalah Andien”