Lagu-lagu Bon Jovi, band asal New Jersey, Amerika Serikat, itu seperti menjadi perayaan kehidupan bagi penggemarnya. Sekitar 40.000 penonton memadati Gelora Bung Karno, Jakarta, Jumat (11/9) malam, dalam konser Bon Jovi Live.

Dan lihatlah, begitu lagu ”You Give Love a Bad Name” terdengar menggemuruh, penonton usia 25-40-an tahun pun bersorak histeris. Mereka melakukan koor massal lagu yang populer pada paruh kedua era 1980-an itu. Itulah ”ledakan” pertama dalam konser yang digelar promotor Live Nation Indonesia itu.

Ledakan histeria kedua terdengar pada lagu ”It’s My Life” yang populer di sini pada awal tahun 2000 dan menjadi salah satu ”lagu wajib” Bon Jovi.

Puluhan ribu penonton itu sudah cukup sabar menunggu sejak pukul 17.00 saat mereka memasuki Gelora Bung Karno. Baru sekitar pukul 20.30 mereka melihat Jon Bon Jovi dan kawan-kawan beraksi di panggung. Sebelumnya tampil artis pembuka, yaitu Sam Tsui (26), penyanyi Amerika Serikat keturunan Hongkong. Disambung dengan Judika, penyanyi lulusan Indonesian Idol yang membawakan lagu wajib ”Indonesia Raya”.

Setelah artis pembuka, pada sekitar pukul 20.30, cahaya di stadion meredup dan membahanalah teriakan penonton. Mereka tahu hal itu adalah tanda konser segera dimulai. Dan benar, ketika drum Tico Torres (61) berdentam-dentam, stadion menggemuruh.

Akan tetapi, lagu pembuka ”That’s What the Water Made Me” kurang mendapat respons sebagian besar penonton. Mungkin karena lagu tersebut merupakan lagu baru dari album barunya. Begitu pula dua lagu berikutnya. Seusai lagu ketiga, Jon Bon Jovi (53), sang vokalis utama, beruluk salam. ”Halo apa kabar! It’s been a long, long time. It’s good to be back here.” Salam wajib itu disambut histeria massa.

Ia lalu mengajak penonton mengangkat tangan. Itu isyarat bahwa Bon Jovi akan membawakan lagu ”Raise Your Hands” dari album Slippery When Wet (1986). Repertoar konser disusun dengan menyilang lagu lama dan baru.

Termasuk lagu lama itu adalah ”Someday I’ll be Saturday Night” lagu yang bertutur tentang kehidupan kaum pekerja yang didera kesibukan dan mencoba untuk tetap cerah menghadapi rutinitas kehidupan.

Tiket ludes

Penyelenggara konser Live Nation Indonesia menyatakan, sebanyak 40.000 lembar tiket yang disiapkan ludes terjual. Tiket terbagi untuk delapan kelas seharga Rp 500.000 sampai Rp 3,5 juta. Kelas termahal, VIP, sudah laris duluan sejak 2 Juli. Padahal, karcisnya baru dijual secara resmi tiga hari sebelumnya. Kimberley Fraser, Managing Director Live Nation Indonesia, mengaku kaget dengan respons penggemar itu.

”Kami sudah menduga tiket akan habis, tetapi tidak secepat ini. Anehnya, yang ludes duluan adalah kelas VIP,” kata Kimberley.

Penyelenggara membangun panggung berukuran 25 meter x 18 meter sejak sepekan lalu. Konser didukung tata suara berkekuatan 85.000 watt. Panggung dilengkapi dua layar di kanan-kiri panggung berukuran 11 meter x 8 meter. Segala kelengkapannya didapat dari penyedia asal Indonesia. Konser melibatkan sekitar 500 pekerja lokal. Sementara manajemen Bon Jovi membawa sebanyak 50 awak. Konser dijaga sekitar 3.000 personel polisi, lengkap dengan anjing dan penjinak bahan peledak.

Ribuan penonton sudah tampak membanjiri Gelora Bung Karno sejak pukul 17.00. Di antara mereka adalah ibu-ibu muda usia 35-an tahun yang datang dengan kelompok-kelompok perkawanan. Ada yang menitipkan anak-anak mereka ke suami yang bekerja malam, termasuk antara lain anggota Run for Indonesia, komunitas pelari yang mengenakan seragam kaus berlogo jantung tertusuk belati. Itu merupakan logo ”resmi” Bon Jovi yang disebut heart and dagger.

Tanpa Richie Sambora

Bon Jovi hadir di Jakarta tanpa gitaris Richie Sambora yang telah keluar dari band pada 2013. Dua tahun sebelumnya, Richie sempat absen dari 13 jadwal panggung karena sedang menjalani rehabilitasi kecanduan alkohol. Richie sempat digantikan Philip Eric Xenidis.

Bon Jovi dibentuk pada 1983 di Sayreville, New Jersey, AS, dengan formasi awal Jon Bon Jovi sebagai vokalis utama dan gitar pengiring, Richie Sambora (gitar utama, vokal), Tico Torres (drum), David Bryan (keyboard), dan Alec John Such (bas). Alec mundur pada 1994 dan posisinya digantikan oleh Hugh McDonald.

Bon Jovi mulai dikenal dunia setelah mengeluarkan album ketiga Slippery When Wet dengan hits macam ”You Give Love a Bad Name”, ”Livin’ on a Prayer”, dan ”Wanted Dead or Alive”. Keberhasilan itu diikuti album keempat, New Jersey,dua tahun kemudian yang melejitkan tembang ”I’ll be There for You”. Lagu-lagu itu adalah nomor wajib di setiap konser mereka hingga hari ini.

Penjualan album Bon Jovi di Indonesia yang paling laris adalah album kompilasi Cross Road: Greatest Hits (1995). Lewat album rangkuman itu, lagu macam ”Someday I’ll be Saturday Night” dan ”Always” sering terdengar di setiap tongkrongan anak muda dan radio.

Tujuh belas album studio dan kompilasi serta album konser Bon Jovi terjual sebanyak 130 juta kopi di seluruh dunia. Indonesia termasuk sepuluh besar negara dengan penjualan album Bon Jovi tersukses. Kini, publik menunggu seperti apa album Burning Bridges, album pertama tanpa Richie Sambora.

Tanpa Richie, di Jakarta massa tampak merayakan lagu-lagu Bon Jovi. Mereka bergembira, bahagia dengan lagu-lagu rock yang keras, tetapi tidak kasar, dan malah boleh dibilang manis. Seperti disebut dalam lagu ”It’s My Life”:

It’s my life/ And it’s now or never/ ’Cause I ain’t gonna live forever/ I just want to live while I’m alive…”.

(HERLAMBANG JALUARDI)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 September 2015, di halaman 01,05 dengan judul “Merayakan Kehidupan dengan Bon Jovi”