Sejarah dalam Bahasa Reggae

0
2119

Musisi reggae bicara sejarah lewat album ”Akulah Sejarah”. Tony Q Rastafara, Steven Jamz, dan kawan-kawannya seniman Bulungan, Jakarta, mencoba bicara tentang nasionalisme, patriotisme, lewat bahasa reggae.

Tanggal berapakah Hari Pahlawan?” tanya pembawa acara kepada salah satu awak band pembuka Konser Musik Reggae Indonesia di pelataran Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu (26/8) malam. Awak band itu gelagapan. Dia tak ingat tanggal berapa Hari Pahlawan. Beruntung, awak lain ingat dan menjawab dengan benar.

Dialog singkat jelas dalam konser itu hanyalah contoh kecil yang mewakili kegelisahan musisi reggae Tony Q Rastafara tentang betapa orang abai pada sejarah. Konser itu menandai peluncuran album Akulah Sejarah yang digagas Tony dan kawan-kawan.

Kegelisahan serupa rupanya dirasakan seniman lain seperti Anies Saichu, Yoyik Lembayung, Amien Kamil, dan Teguh O Wijaya. Gayung pun bersambut. Mereka lantas berdiskusi dan tercetuslah ide untuk membuat album bertema sejarah. Gagasan itu sebenarnya sudah muncul sejak tahun 2008. Tony kemudian menggandeng musisi lain untuk turut serta, seperti Steven Jamz, Ipank Lazuardi, Riffi Putri, dan Njet Barmansyah.

Malam itu, reggae dan sejarah mengalun bersisian. Semua musisi yang terlibat penggarapan Akulah Sejarah hadir dan membawakan karya mereka di panggung. Rasa reggae yang tebal, berbalut lirik-lirik sejarah, mengajak penonton untuk bergoyang.

Patriotis

Album Akulah Sejarah berisi sembilan lagu yang sebagian besar syairnya ditulis Teguh O Wijaya, Amien Kamil, dan Yoyik Lembayung. Tony, yang bertindak sebagai pengarah musik, juga ikut menyumbangkan suara. Lagu-lagu mengambil tema sejarah. Simaklah lagu ”Nyanyian Kartini”, ”Lagu Pemuda”, ”Anak Zaman”, atau ”Untukmu Ibu”.

Penggarapan lagu-lagu mengakomodasikan elemen-elemen bunyi musik tradisi seperti gamelan. Unsur tradisi dan modern terpadu dengan cukup apik dan memberi sentuhan baru reggae. Pesan-pesan sejarah bangsa pun ternikmati dengan bahasa reggae.

Lewat album ini seniman reggae seperti tengah menafsir ulang peristiwa demi peristiwa dan memaknainya. Mereka tidak saja menyelipkan kritik, tetapi juga membangun optimisme bahwa bangsa ini masih bisa tegak, maju, dengan berpijak pada sejarah. Sejarah bukan sekadar untuk direnungi, tetapi menjadi energi untuk bergerak ke depan.

Lirik lagu ”Dirgahayu Indonesia” yang dibawakan Tony berkisah tentang proklamasi bangsa Indonesia. Retoris, agitatif, patriotis. Ada ajakan untuk selalu cinta dan bangga pada Indonesia meski beban hidup mendera. Pada akhir lagu, terdengar suara Soekarno saat membacakan naskah Proklamasi.

Sementara lagu ”Anak Zaman” yang dibawakan oleh Steven Jamz bersama belasan anak-anak belia berkisah tentang anak-anak masa depan.

Sepanjang negri bocah-bocah lantang bernyanyi/ 
Tak ada lagi yang terlantar/ Tak ada lagi yang terbuang/ Ketika hidup penuh kasih sayang/ Buku di tangan, 
Jalan terbentang/
 Kaki berlari mengejar mimpi/ Hati tentram, jiwa terisi.”//

Penggarapan album Akulah Sejarah membutuhkan waktu sekitar lima bulan. Para penyair, penulis lagu, musisi, dan pengamat seni yang terlibat di dalamnya merupakan seniman yang tergabung dalam Komunitas Seni Bulungan.

Proses penciptaan lagu tidak membutuhkan waktu panjang. Namun, proses penulisan lirik diakui cukup memakan waktu karena membutuhkan pemikiran lebih dalam. Amien yang menulis lirik untuk lagu ”Harmoni Dalam Negeri” membutuhkan waktu hampir satu bulan.

”Liriknya memang agak lama. Empat kalimat satu minggu. Minggu depan empat kalimat lagi. Susah karena ini soal sejarah. Beda dengan lagu cinta, sehari bisa 10 lagu,” kelakar Amien.

Ditambahkan oleh Tony, album Akulah Sejarah murni misi idealis para seniman. Penggarapannya pun menggunakan uang pribadi. Adapun kepingan CD album ini dijual dengan harga murah, Rp 15.000 per keping, untuk melawan pembajakan. Malam itu, CD dijual bundling atau satu paket dengan tiket Rp 75.000 per orang. Beli satu tiket, gratis satu CD.

Komunitas Bulungan

Album ini juga menjadi pembuktian dari komunitas reggae untuk melawan persepsi bahwa reggae adalah musik pinggiran yang kerap dicurigai sebagai biang kesuraman zaman karena diisi para pemadat dan pemabuk. Melalui Akulah Sejarah, komunitas reggae menunjukkan kepedulian mereka terhadap bangsa, dan pada sejarah bangsa, yang disampaikan melalui rasa reggae. ”Tidak gampang membuat lagu-lagu dengan muatan sejarah dan idealisme kebangsaan seperti ini,” kata Ipank.

Satu-satunya perempuan musisi yang terlibat di album tersebut, Riffi Putri, merasa bangga bisa terlihat dalam pembuatan album Akulah Sejarah. ”Saya berterima kasih pada Ibu Kartini. Saya bahagia menjadi perempuan dan makin cinta Indonesia,” lontar Riffi yang membawakan dua lagu, ”Nyanyian Kartini” dan ”Doa Untuk Petani”.

”Kami melakukan ini lepas dari urusan politik. Ini sebuah pengingatan. Ada sejarah yang harus kita kupas, mengapa ada tanggal merah yang dinamakan hari libur nasional, misalnya,” kata Tony.

”Tujuan kami, album ini bisa dinikmati masyarakat. Sama sekali tidak komersial. Album Akulah Sejarah tidak bicara uang, minimal kita ingat sejarah,” katanya.

Budayawan Radhar Panca Dahana sebagai penasihat mengapresiasi lahirnya album ini. Dia menilai seniman Bulungan mempunyai komunalitas yang sangat kuat dan konsisten. Diakuinya, memang ada persaingan di bidang teater, musik, tetapi mereka selalu bersatu. ”Bahasa Bulungan itu bahasa ekspresi, bukan bahasa konflik dan kekerasan. Ini sangkar perdamaian,” kata Radhar‎.

Dari ”sangkar perdamaian” itulah lahir Akulah Sejarah, ekspresi seniman reggae untuk negerinya.


Versi cetak artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 29 Agustus 2015, di halaman 29 dengan judul “Sejarah dalam Bahasa Reggae”