Jejak Proklamasi – Bertandang ke Rumah Sejarah yang Sepi

51
1870

Pada 70 tahun silam, 16 Agustus 1945, mobil Skoda yang ditumpangi Ahmad Subardjo Djoyoadisuryo dan Soediro melaju menuju Rengasdengklok. Keduanya mencari-cari Soekarno dan Hatta yang diculik ”golongan muda”. Jejak sejarah itu kini sepi sendiri….

Sukarni dan kawan-kawan mudanya jengkel melihat ”golongan tua” yang dianggap terlalu menunggu restu Jepang untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sementara golongan tua tak mau salah langkah, yang bisa-bisa justru melenyapkan kesempatan Indonesia untuk merdeka.

Siang itu, Subardjo dan Soediro mencoba menemukan Soekarno dan Hatta yang dikabarkan ”ditawan” di Rengasdengklok. Sukarni, Kartowirjo, dan kawan-kawan mudanya, didukung pasukan Pembela Tanah Air (Peta), paramiliter pribumi bentukan Jepang, rapi jali menyembunyikan Soekarno dan Hatta. Alih-alih ”menawan” Soekarno dan Hatta di markas Peta di Rengasdengklok, golongan muda menyembunyikan Soekarno dan Hatta di rumah warga biasa yang sulit dicari.

Hari ini pun sulit mencari di manakah rumah Djiauw Kie Siong, tempat Soekarno dan Hatta ditawan. Beberapa warga di sekitar Pasar Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, tak mengetahui bahwa ada rumah Siong. ”Rumahnya, sih, tidak tahu. Setahu saya yang ada tugu,” kata Aji, pengojek di pertigaan Pasar Rengasdengklok.

Tugu yang dimaksud Aji adalah Tugu Kebulatan Tekad yang dibangun di atas lahan bekas markas tentara Peta. Tugu setinggi 3 meter itu dipuncaki patung tangan kiri mengepal di atas bola bertuliskan ”17 Agustus 1945”. Di belakang tugu terdapat dinding relief yang menggambarkan peristiwa Rengasdenglok dengan taman yang pada Kamis (6/8) lalu sepi pengunjung.

Lokasi rumah asli Djiauw Kie Siong yang berjarak 100 meter dari Tugu Kebulatan Tekad justru luput dari ingatan kebanyakan warga Rengasdengklok. Gara-gara abrasi, hari ini, lokasi tempat menawan Soekarno dan Hatta sudah menjadi bagian dari aliran Sungai Citarum.

Cucu Djiauw Kie Siong, Djiauw Kwin Moy atau Iin (62), kini menempati rumah di Dusun Kalijaya I yang dibangun pada 1957. Di rumah yang berjarak sekitar 150 meter dari rumah kakeknya dulu, Djiauw Kwin dan suaminya, Thung Gie Hiang (63), masih menyimpan beberapa perabot yang pernah dipakai Soekarno dan Hatta saat ditawan. Alih-alih dikunjungi mereka yang ingin mengenang peristiwa Rengasdengklok, rumah itu justru disinggahi bau tumpukan sampah yang menyengat.

Yang tua dan muda

”Atas jaminan bahwa saya boleh ditembak mati apabila proklamasi di Jakarta tidak terjadi, Mayor Subeno, Komandan Peta di Rengasdengklok, mengizinkan kami membawa kedua pemimpin itu di Jakarta. Tatkala Admiral Maeda melihat kami datang membawa Soekarno dan Hatta pukul 11.00 malam, dia kelihatan terharu”. Ahmad Subardjo Djoyoadisuryo menulis kenangan tentang alotnya perundingan pembebasan Soekarno dan Hatta dalam tulisan obituari ”In Memoriam Laksamana Tadashi Maeda” yang dimuat Kompas edisi 19 Desember 1977.

Dengan taruhan nyawa itu, Subardjo boleh membawa Soekarno dan Hatta meninggalkan rumah lama Djiauw Kie Siong balik ke Jakarta. Tiba larut malam, Subardjo langsung membawa Soekarno dan Hatta ke rumah Laksamana Maeda, perwira penghubung Angkatan Laut Jepang, yang tinggal di Jalan Myakodoori. Maeda dikenal mendukung kemerdekaan Indonesia dan rumah perwira tinggi Jepang itu dianggap aman dari intaian militer Jepang lain. Ke rumah itu pula Soekarno dan golongan muda menyusul, memastikan Soekarno dan Hatta tak menanti restu Jepang.

Bekas rumah Laksamana Maeda itu kini menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi di Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Jakarta Pusat. Meski tak memiliki barang-barang asli milik Maeda, bangunan rumah masih asli dipadu dengan penataan ruang yang serupa dengan situasi rumah Maeda tahun 1945. Kursi-kursi di ruang tamu, misalnya, menyerupai kursi-kursi dalam foto keluarga Maeda.

”Semua benda di dalam museum ini bukan benda asli dari peristiwa bersejarah itu. Kami mencoba mengumpulkan benda serupa untuk memberi gambaran yang mendekati peristiwa penyusunan naskah proklamasi,” tutur Jaka Perbawa, kurator Museum Perumusan Naskah Proklamasi.

Di meja makan bekas ruang makan keluarga Maeda terdapat patung lilin Hatta dan Subardjo duduk mengapit Soekarno yang sedang menuliskan rancangan naskah proklamasi dengan tulisan tangan. Di dindingnya
terdapat perbesaran naskah proklamasi tulisan tangan Soekarno.

Di sebelah ruang tamu ada ruang kecil berisi patung lilin Sayuti Melik mengetik naskah proklamasi tulisan tangan Soekarno bersama BM Diah yang berdiri di samping kanan Sayuti. Di depan ruang kecil terdapat piano yang serupa dengan piano yang dahulu menjadi tempat Soekarno dan Hatta menandatangani naskah proklamasi, disaksikan puluhan orang dari generasi tua dan generasi muda yang berhasil ”memaksa” Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan tanpa restu Jepang.

Di lantai dua museum yang menjadi saksi kolaborasi darah muda dan kebijaksanaan golongan tua itu terdapat koleksi peninggalan para tokoh yang menunggui perumusan naskah proklamasi oleh Soekarno, Hatta, dan Subardjo. Di dinding seluruh ruangan juga terpampang linimasa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Museum itu dilengkapi film dokumenter pendek yang merinci apa yang terjadi dalam ketegangan pada 16-17 Agustus 1945.

Tak menjejak

Namun, museum yang informatif dan terawat baik itu tak juga menggairahkan minat publik berkunjung. Satu-satunya rombongan pelajar yang mampir ke Museum Perumusan Naskah Proklamasi pada Sabtu (8/8) lalu adalah para siswa kelas VIIID SMP 74 Jakarta. Farah (13), Tasya (13), dan teman-teman sekelasnya ditugaskan membuat foto dan video museum itu.

Pengunjung lain, dan itu pun tak banyak, adalah keluarga yang mampir karena minat pribadi salah satu anggotanya. Prima Gumilang (27), misalnya, mengajak keluarganya yang akan berkunjung ke Monumen Nasional untuk mampir ke Museum Perumusan Naskah Proklamasi. ”Daripada hanya berbelanja
di Monas, lebih baik saya ajak mampir dulu. Sudah jauh-jauh dari Kediri, Jawa Timur, sayang jika tidak mampir ke museum bersejarah ini,” kata Prima.

Menurut Jaka Prabawa, pada bulan proklamasi, yang paling banyak berkunjung ke Museum Perumusan Naskah Proklamasi justru wartawan atau komunitas pencinta sejarah. Merujuk buku tamu museum itu, kunjungan tugas sekolah baru marak mulai dari Januari hingga Maret, sesuai dengan silabus bahan
ajar mata pelajaran Sejarah. ”Kalau ada tugas sekolah pada Agustus, itu inisiatif guru Sejarah memanfaatkan momentum peringatan Proklamasi,” kata Jaka.

Jejak-jejak sejarah itu mengajak kita melihat peran bapak-bapak bangsa yang bertindak jauh melampaui kepentingan pribadi demi mimpi besar tentang kemerdekaan rakyat.


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Agustus 2015, di halaman 1,15 dengan judul “Jejak Proklamasi – Bertandang ke Rumah Sejarah yang Sepi”