Saanah, (atas), Ahmad (bawah), buruh tani di Bojongsari, Depok, Jawa Barat, mengakses aplikasi Petani yang diunduh di Android, Jumat (8/5). Petani merupakan aplikasi penyuluhan virtual yang berisi artikel dan tanya jawab berbagai persoalan seputar pertanian. (Kompas/Lucky Pransiska)

Asep, petani asal Karawang, Jawa Barat, itu akrab dengan Lisa dalam tiga tahun terakhir ini. Dengan Lisa pun Asep kerap berkonsultasi, menanyakan segala perihal pertanian. Lisa adalah Layanan Informasi Desa, sebuah media sosial bagi warga di pedesaan.

Dikembangkan oleh 8villages, Lisa diciptakan untuk melayani warga desa yang merupakan bottom of pyramid (BOP). Jumlah penduduk penyusun dasar piramida ini paling besar, tetapi belum banyak tersentuh oleh manfaat akses internet. Mereka bisa saja laki-laki ataupun perempuan yang bekerja sebagai petani, nelayan, peternak, petambak, maupun profesi khas lainnya di pedesaan.

Lisa merupakan jaringan sosial yang semula berbasis SMS atau pesan pendek telepon seluler. Layanannya kemudian dikembangkan menjadi aplikasi bergerak di ponsel pintar. Fitur-fiturnya lebih diperkaya. Dalam layanan ini, pengguna bisa berkonsultasi masalah yang mereka temui sehari-hari terkait profesi. Asep (32), misalnya, yang kerap bertanya soal hama penyakit, harga panen, atau masalah pupuk. Ada para ahli, seperti dosen, petugas penyuluh lapangan, dan ahli pertanian lainnya, yang siap menjawab pertanyaan para petani.

”Selama ini saya bertani berdasarkan pengetahuan warisan. Itu-itu saja yang saya kerjakan. Misalnya, kebutuhan pupuk, saya pukul rata jumlahnya sama di musim hujan dan kemarau. Padahal, seharusnya perlakuannya berbeda,” kata Asep.

Kini bertambahlah pengetahuan Asep tentang bertanam padi. Ia mampu membedakan hama sistemik dan hama kontak serta cara penanggulangan masing-masing. Dengan demikian, penanganannya lebih efektif. Tidak asal basmi yang membuatnya menjadi tidak tepat sasaran. Pertanyaan terakhir yang diajukan Asep kepada Lisa adalah soal harga jual padi karena saat ini telah memasuki masa panen. Informasi ini ia butuhkan sebagai pegangan dalam menjual hasil panennya agar tidak dipermainkan tengkulak.

Menurut Asep, sebelum ini bahkan ada grup-grup yang bisa diikutinya. Dari percakapan yang diikuti, ia bisa mengetahui perkembangan harga panen atau hama, misalnya, sehingga bisa mengetahui harga pasar dan mengantisipasi serangan hama.

Untuk bertanya, ia hanya perlu mengirimkan pesan pendek setelah sebelumnya mendaftar. Kirim dan terima jawaban pesan pendek tidak dikenai biaya. Jika tidak bertanya langsung, Asep pun dapat belajar dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan para petani lainnya. Setiap pertanyaan yang masuk beserta jawabannya diterima oleh para pelanggan Lisa. Penyedia layanan juga mengirimkan tips dan trik seputar pertanian, tiga kali sehari, setiap pukul 07.00, 08.00, dan 09.00, meskipun baru terbatas kepada 20.000 pelanggan yang dianggap aktif dan potensial.

”Praktik pertanian saya lebih efektif dengan bantuan Lisa. Saya banyak belajar dari sana. Semoga ke depan kalau ada pertanyaan bisa lebih cepat jawabannya,” kata Asep.

Ramdhani (31), petugas penyuluh lapangan, juga menggunakan Lisa dalam bentuk aplikasi bergerak ”Petani” yang berbasis Android. Aplikasi ini lebih kaya fitur karena pertanyaan yang diajukan bisa menyertakan foto-foto sehingga bisa lebih detail merinci masalah yang ditanyakan. Aplikasi ini juga menyediakan artikel untuk memperkaya wawasan penggunanya.

Bertugas mendampingi Desa Payungsari dan Desa Puspasari di Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang, Ramdhani terbantu untuk lebih dekat dengan para petani dampingannya. Daya jangkaunya juga lebih luas karena setiap partisipasi jawaban yang ia berikan bisa diterima oleh petani dari banyak wilayah di Indonesia.

”Kalau saya tahu jawabannya, saya ikut menjawab. Saya juga ikut belajar dari jawaban-jawaban para ahli pertanian yang lain. Bahkan, kami mendapat semacam honorarium jika jawaban kami sudah mencapai jumlah tertentu. Namun, yang paling penting, saya bisa mengetahui perkembangan petani di daerah dampingan saya,” kata Ramdhani.

Media Sosial Pedesaan

Ahmad, buruh tani di Bojongsari, Depok, Jawa Barat mengakses aplikasi. (Kompas/Lucky Pransiska)
Ahmad, buruh tani di Bojongsari, Depok, Jawa Barat mengakses aplikasi. (Kompas/Lucky Pransiska)

Direktur Teknik (CTO) 8villages Sanny Gaddafi menuturkan, aplikasi ini dirancang untuk memberdayakan warga desa, selain bisa dimanfaatkan oleh klien yang ingin menjaga hubungan dengan warga desa binaannya. Menurut dia, saat ini ada lebih dari 70.000 warga desa yang terhubung dengan Lisa dalam berbagai aplikasi bergerak yang tersebar di Pulau Jawa dan Sulawesi. Sebagian besar masih menggunakan Lisa berbasis SMS karena pemilik ponsel rata-rata baru bisa memanfaatkannya untuk berkirim pesan atau bahkan baru sebatas fungsi telepon.

”Lisa menjadi semacam media sosial untuk warga pedesaan. Ponsel saat ini dimiliki hampir setiap orang, termasuk di desa. Jangan sampai mereka hanya menjadi konsumen dan tidak beroleh manfaat lebih besar dari itu,” kata Sanny.

Selain petani, 8villages juga membuat aplikasi lain yang juga berbasis sistem operasi Android, seperti Rumah Pintar Petani (RPP) yang bekerja sama dengan sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta, Peka untuk pengenalan keuangan bagi petani perempuan, dan Budidaya untuk komunitas petambak.

Ada pula aplikasi Gembala untuk komunitas peternak, Energi Desa tentang kreasi energi terbarukan di pedesaan, Urban Farming tentang pertanian modern, Ecocamp untuk Komunitas Taman Hutan Rakyat, dan Kumpul Data sebagai kuesioner digital. Lisa menjadi payung bagi berbagai aplikasi layanan bagi warga desa ini. Aplikasi Petani juga akan dipakai di Myanmar, dengan nama The Farmer, yang diluncurkan Mei ini. Dibangun sejak tahun 2012, 8villages juga tengah menjajaki perluasan layanan Lisa ke Thailand, Vietnam, dan Filipina.

Dikatakan Sanny, pihaknya bekerja sama dengan berbagai lembaga swadaya masyarakat, lembaga donor internasional, perusahaan sarana produksi pertanian, perguruan tinggi, perusahaan agrobisnis, perbankan, dan lainnnya yang ingin menjangkau BOP dan memberdayakan mereka.

Pihaknya memberlakukan semacam subsidi silang, yakni menanggung biaya SMS yang dikirim dan diterima oleh petani, bersumber dari dana yang didapat dari para klien atas biaya layanan aplikasi pesanan masing-masing.

Halooo… Pak Tani!

(Sri Rejeki)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Mei 2015, di halaman 30 dengan judul “Petani Bertanya, Lisa Menjawab”