Tubuh sebagai Medium Semesta

0
1191

Meski tubuh tak pernah bebas dari memori, ia selalu menyediakan ruang bagi ”kuasa” Semesta. Model paling orisinal yang mewakili proses itu terjadi pada saat seseorang bergerak untuk tujuan pemujaan dan pemuliaan Tuhan. Ada atau tidak ada ruh suci yang merasuk, tubuh seperti terkondisikan untuk bergerak.

Lokakarya Sasikirana Dance Camp, yang diselenggarakan Bengkel Tari Ayu Bulan selama lima hari di NuArt Sculpture Park Bandung mencapai puncaknya pada Selasa (28/7) ketika digelar pertunjukan ”Menjaring Bulan”. Sejumlah 25 seniman muda yang berasal dari 12 kota dan mewakili tiga negara (Indonesia, Singapura, dan Malaysia) didampingi para seniman kawakan, seperti Eko Supriyanto, Jecko Siompo, Melati Suryodarmo, dan Wawan Sofwan, selama proses lokakarya. Pertunjukan yang diselenggarakan dalam dua kali pentas untuk menampung kegairahan penonton itu diperkaya seniman instalasi Joko Dwi Avianto.

Selama proses lokakarya, para mentor mengajak para seniman untuk merespons ruang. NuArt Sculpture Park yang memiliki galeri, museum, taman patung, pepohonan, dan bahkan lembah adalah ruang Semesta atau bhuwana agung, yang menyimpan energi alam. Sementara tubuh manusia (penari) adalah bhuwana alit, yang memiliki relasi secara ”organik” dengan keberadaan Semesta. Sungguh upaya yang menyenangkan bahwa keempat mentor dari beberapa disiplin seni itu membuka jalan bagi seniman muda untuk menghubungkan diri dengan kondisi ruang di sekitarnya.

Penyelenggara dan Pimpinan Produksi Sasi Kirana Dance Camp Keni Soeriaatmadja menuturkan, NuArt Sculpture Park dipilih sebagai lokasi lokakarya dan pertunjukan karena memiliki sejumlah perangkat yang dibutuhkan seniman. ”Ada pohon dan lembah dengan suasana mistis, dan itu akan memudahkan seniman untuk menyerap energi alam,” katanya. Tentu pula di situ ada panggung, galeri, museum, bengkel kerja seniman Nyoman Nuarta, serta perangkat manajemen yang dikelola Anya Madiadipoera dengan baik.

Respons

Ketika memasuki arena pertunjukan, penonton dikejutkan dengan seorang penari yang bergerak di atas balkon museum. Tak lama sesudahnya serombongan penari lain meneriakkan suara-suara yang menyerupai binatang. Semakin dalam memasuki halaman, para penari memandu penonton untuk berdiam sejenak di titik-titik di mana respons terhadap ruang dan benda itu dipertunjukkan. Pada pertunjukan ini amfiteater di areal taman patung tidak dijadikan sebagai titik pusat. Panggung yang suasananya mirip Ubud itu hanya dijadikan ruang antara, tempat para seniman sejenak merespons ruang. Mereka seolah-olah mengumpulkan energi yang memancar dari pepohonan serta lembah yang tak jauh dari lokasi itu.

Para seniman juga menghidupkan karya Nyoman Nuarta dengan menari seperti bayang-bayang di dalamnya. Setelah melintasi halaman berumput dan sebuah pohon besar, yang di atasnya dibangun semacam balkon, akhirnya pertunjukan berlangsung di atas instalasi bambu yang dibangun Joko. ”Saya menggunakan 1.500 bambu,” kata Joko. Instalasi ini menyerupai sebuah perahu besar, tetapi di kedua ujung bagian bawahnya terdapat terowongan, di mana para seniman bisa keluar masuk.

Pertunjukan ini menjadi menarik setidaknya diperlihatkan oleh beberapa hal. Selain memang memperlihatkan kecenderungan menjadi semacam happening art, juga memberikan ruang seluasnya kepada seniman muda untuk mengeksplorasi diri. Tubuh tidak diarahkan untuk bercerita karena itu bisa menjadi semacam beban. Tubuh adalah tubuh yang bebas, yang bergerak ketika merasakan stimulan denting musik dan aura ruang terbuka.

Jejak koreografer seperti Jecko dan Eko memang tak bisa dihapuskan. Animal dance,yang dikembangkan Jecko bersama komunitas-komunitas street art di Jakarta misalnya, secara jelas memberi warna dominan. Begitu juga musik klasik dan tubuh liat yang dikembangkan Eko, menyisakan jejak halus yang menimbulkan cita rasa Jawa. Meski belum sepenuhnya berhasil menyinergikan keduanya ke dalam satu bangunan tematik, keputusan memasrahkan diri kepada ruang Semesta itu bisa menjadi kekuatan yang magis.

”Sayang memang waktunya terlalu pendek. Tetapi, sebagai gerakan budaya ini tentu saja menarik, di mana para seniman muda diberi peran,” ujar penari kawakan Nungki Kusumastuti, yang hadir dalam pertunjukan itu bersama penari lainnya Maria Darmaningsih.

Pada akhirnya memang tubuh mesti dibebaskan dari beban makna jika kita ingin memberi energi Semesta secara leluasa menggerakkan semua elemen kinestetik di dalam tubuh itu sendiri. Ia akan bergerak memberi kelenturan dan keseimbangan. Bentuk-bentuk yang kemudian muncul adalah daya simbolistik yang tak pernah direncanakan sebagai sebuah koreografi.

(Putu Fajar Arcana)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Agustus 2015, di halaman 26 dengan judul “Tubuh sebagai Medium Semesta”.