Musik Hiromi: Berisi, Bukan Hanya Berbunyi

0
1112

Menikmati pianis Hiromi Uehara dengan trio-nya di Jakarta, Rabu (29/7) malam, kita disuguhi jazz hidup, segar, penuh gairah. Hiromi dan Trio Project menandai pra-pembukaan Cotton Club, sebuah kelab di Hotel Fairmont, Senayan, Jakarta.

Chick Corea suatu kali pada tahun 1996 di Tokyo kedatangan pianis remaja perempuan usia 17 tahun. Gadis itu memberanikan diri memperkenalkan diri pada Chick yang saat itu sudah sangat tersohor sebagai ”macan” jazz. Tak disangkanya, Chick mengundang remaja itu untuk datang ke konsernya keesokan harinya. Bukan hanya itu, Chick bahkan mengajaknya naik panggung untuk tampil bermain duo piano dengannya. Gadis itu adalah Hiromi Uehara yang kini berusia 36 tahun.

Telinga jazz seorang Chick Corea tentu bukan main-main. Dan benar, sekitar sepuluh tahun kemudian, yaitu pada 2006, Chick Corea kembali mengajak Hiromi tampil bareng di Tokyo Jazz Festival. Setelah itu, Chick menggandeng Hiromi untuk pembuatan album. Chick Corea punya peran penting dalam pembentukan karakternya sebagai seniman jazz. Hiromi kini ikut mewarnai khazanah jazz dunia.

Kembali ke era awal 1980-an, Hiromi kecil belajar piano klasik di kota kecil Hamamatsu di Perfektur Shizouka, Jepang. Guru pianonya memperkenalkannya pada Errol Garner, pianis, tokoh jazz penting penggubah lagu ”Misty” yang tidak bisa membaca dan menulis dengan not balok itu. Pada usia 14 tahun, Hiromi sudah bermain dengan Orkes Filharmonik Ceko. Hal ini merupakan pengakuan akan keterampilan teknis Hiromi yang sesuai tuntutan standar orkes simfoni dunia. Hiromi kemudian melanjutkan studi musik di Berklee College of Music di Boston, Massachusetts, Amerika Serikat. Ia mendapat mentor pianis jazz terkenal Ahmad Jamal.

Perkusif, ekspresif

Di Jakarta, Hiromi menunjukkan kelasnya sebagai seniman jazz lewat karya dan gaya personalnya. Dalam show case selama 60 menit di Cotton Club itu ia menyuguhkan karyanya, ”Move”, ”Desire”, ”Labyrinth”, ”Seeker”, ”Life Goes On”, dan satu permainan piano solo.

Kesan pertama yang kuat menohok telinga adalah pianonya yang sangat perkusif. Ia memperlakukan piano seperti instrumen perkusif. Dan rupanya cita suara ini ada riwayatnya. Saat masih tinggal di kota kecil Hamamatsu, ia kesulitan mencari pemain drum dan bas yang bisa mendukung permainannya. Lalu peran bas diambil alih oleh tangan kirinya lewat bilah-bilah piano. Ia juga mengimitasi permainan drum solo agar rasa sebagai trio jazz muncul. Kebiasaan itu terbawa dan menjadi karakter permainan Hiromi.

Kedua adalah soliditas dan kohesivitas antara piano, drum, dan bas. Hiromi tampil bersama Anthony Jackson (63) pada bas dan Simon Phillips (58) pada drum. Jackson yang memainkan bas 6 dawai pernah mengawal Chick Corea dan gitaris Pat Metheny. Simon yang menggunakan double bass drum pernah bermain dalam rekaman untuk Frank Zappa dan Jeff Beck. Sebuah rekam jejak yang menunjukkan kelas kesenimanan mereka.

Yang sangat menarik, bas dan drum bukan sekadar berfungsi sebagai pengawal atau accompanying untuk piano. Bahwa trio ini menempatkan Hiromi sebagai instrumen utama, tetapi fungsi bas dan drum ditarik lebih jauh dari sekadar kawan main. Permainan drum Simon adalah jenis drum yang melodik dan ”bernyanyi”, bukan sekadar penjaga tempo. Piano, bas, dan gitar menjadi satu kesatuan ucap yang utuh.

Keras rock

Kesan ketiga, dia sangat ekspresif. Bisa sangat keras, tapi bisa amat sangat lembut seperti pada permainan piano tunggalnya. Kerasnya piano Hiromi boleh jadi karena pengaruh musik rock yang memang digemarinya. Ia penyuka gitaris Jeff Beck sampai band rock progresif King Crimson. Ia bahkan pernah memainkan lagu ”Led Boots” milik Jeff Becks. Komposisi Hiromi berjudul ”Flashback” mengingatkan pada lagu rock, lengkap dengan riff atau tema dasar repetitif khas rock.

Sisi lembut dan sensitivitas dari dinamika musik klasik terdengar lewat ”Claire de Lune” karya klasik dari Debussy itu. Dua karya itu dimainkan Hiromi dalam album Beyond Standard di bawah label Telarc. Dua ”kutub” rasa itu menjadikan penampilan Hiromi menarik, menyegarkan, tidak monoton. Ditambah dengan luasnya referensi berbagai aspek jazz yang dikuasainya. Pada komposisi ”Seeker” yang dibawakan di Jakarta, ia menunjukkan sensitivitas dan pemahamannya pada blues yang merupakan salah satu bagian penting dari ”nyawa” jazz.

Di atas semua itu, tentu Hiromi didukung penguasaan teknik yang tinggi. Teknik yang lahir dari kerja keras. Ia mempunyai virtuositas, kemampuan teknik yang tidak berhenti sebagai sekadar kehebatan dalam bermain. Kehebatan teknik semata akan jatuh pada pertunjukan yang akrobatik. Kehebatan teknik ini juga diperlukan dalam sebuah ”pertunjukan” musik. Namun, jauh di atas itu, teknik itu menjadi jalan penyampai rasa, emosi, ekspresi, dan jiwa. Dan itulah yang menjadikan permainan dan pertunjukan Hiromi berisi, bukan sekadar berbunyi. (XAR)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Agustus 2015, di halaman 29 dengan judul “musik Hiromi: Berisi, Bukan Hanya Berbunyi”.