Menguburkan jenazah dalam batu alam adalah tradisi masyarakat Nuabari, Kecamatan Paga, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, dan menjadi warisan yang terus hidup dan dilakukan secara bergotong royong oleh seluruh warga. Batu alam diyakini sebagai satu-satunya media yang mampu melindungi mereka saat menuju alam baka.

Kampung Nuabari terletak di ketinggian 850 meter di atas permukaan laut (mdpl). Untuk menuju ke daerah itu sebetulnya tersedia jalan sepanjang tujuh kilometer dari jalan utama Trans-Flores di Wolowiro. Namun, jalan yang dibangun tahun 1992 itu tidak pernah diperbaiki sehingga rusak parah. Daerah ini terisolasi.

Kampung di lereng Gunung Lena Ndareta itu, saat ini, dihuni 708 orang. Mereka bekerja sebagai petani, dengan komoditas utama padi lahan kering, serta tanaman penyangga antara lain kakao, cengkeh, kemiri, kelapa, mangga, dan nangka.

Gunung Lena Ndareta, dengan ketinggian sekitar 1.787 mdpl, terdiri dari dua gunung yang berdampingan, yakni Lena sebagai gunung laki-laki (suami) dan Ndareta sebagai gunung perempuan (istri). Warga setempat selalu menyebutnya Lena Ndareta. Nenek moyang Kampung Nuabari diyakini berasal dari Gunung Lena Ndareta. Nuabari sendiri terletak sekitar lima kilometer dari gunung itu.

Perjalanan menggunakan mobil dari Maumere ke Nuabari melalui Wolowiro yang butuh waktu 2,5 jam melalui jalan beraspal mulus. Dari Wolowiro, perjalanan dilanjutkan ke Nabire sejauh 7 kilometer, tetapi melalui jalan rusak.

Jalan itu pernah dibangun tahun 1992, tetapi tidak pernah diperbaiki kembali. Setiap kali menjelang pemilu dan pemilihan kepala daerah, para calon selalu menjanjikan perbaikan jalan, tetapi semua ingkar. Tidak ada angkutan desa, kecuali ojek sepeda motor dengan tarif
Rp 50.000 per perjalanan, atau kendaraan truk Rp 30.000 per penumpang.

”Sekarang tukang ojek saja takut masuk kampung ini kecuali tukang ojek dari Nuabari. Jalan itu berlubang, penuh batu-batuan di jalan, kerikil, dan terdapat jurang dalam hampir di sepanjang jalan,” kata Ketua Adat Nuabari Bartolomeus Lepah (72).

Hendrik Weki (54) sebagai Bupu Nuwa atau Ketua Adat Suku Nuabari menuturkan, pengadaan kubur batu alam tidak gampang. Masyarakat dengan susah payah, secara gotong royong, mengambil batu alam dari gunung lalu diangkut menuju tengah Kampung Nuabari. Batu itu dipahat dengan lubang berbentuk empat persegi panjang dengan kedalaman satu meter. Penutup lubang diambil batu dari tempat lain, berbentuk ceper dan dipahat sedemikian rupa sehingga dapat menutup dengan rapi.

Batu yang telah berisi jenazah dapat diletakkan di permukaan tanah atau ditanam, tergantung kesepakatan para mosalaki, tetua adat. Posisi jenazah diletakkan seperti posisi di kandungan (rahim) ibunya, dengan kaki menghadap ke Gunung Lena Ndareta. Posisi itu bermakna orang bersangkutan kembali ke ”rahim ibunya”. Mereka yakin bahwa arwah orang itu akan berangkat menuju Gunung Lena Ndareta, setelah dianggap layak atau menjadi orang suci melanjutkan perjalanan ke Danau Kelimutu sebagai tempat peristirahatan terakhir.

Penguburan dilakukan di dalam batu sebagai simbol kebesaran. Orang dikuburkan di dalam batu dianggap lebih terhormat daripada di dalam tanah. Tradisi menguburkan jenazah dalam batu alam sudah berlangsung lama. Pada awalnya, hanya mosalaki, riabewa, dan bupu muwa atau orang terpandang, karena biayanya yang mahal. Namun, sejak tahun 1970-an, semua warga Nuabari dimakamkan di dalam kubur batu karena semua manusia dianggap sama atas kesepakatan adat.

Tetap hidup

Ketua Adat Nuabari Bartolomeus Lepah, selaku Riabewa atau Presiden Nuabari, mengatakan, masyarakat Nuabari yakin semua anggota keluarga yang meninggal hanya berubah wujud dan berpindah tempat. Mereka sesungguhnya tetap hidup, dan selalu memiliki hubungan khusus dengan anggota keluarga yang masih hidup.

Setiap mengadakan satu batu kubur selalu melibatkan hampir seluruh warga kampung itu. Mereka bergotong royong mencari batu, menggali, memahat, dan memikul sampai ke Kampung Nuabari. Pihak keluarga menyediakan makanan dan minuman (kopi, teh, dan lainnya). Pada hari itu, semua pekerjaan lain di kampung itu ditiadakan. Semua anggota keluarga dan warga kampung hanya fokus pada pekerjaan kubur batu itu.

”Kalau kegiatan ini dilakukan keluarga saja, menghabiskan biaya banyak. Jika dikerjakan secara gotong royong dengan melibatkan seluruh warga, maka beban yang berat itu pun menjadi ringan. Ini demi tradisi,” ujar Bartolomeus seraya menyebutkan biaya pemakaman menggunakan batu alam menghabiskan minimal Rp 20 juta.

Bagi keluarga yang kurang mampu, pemakaman adat ini bisa ditunda hingga mereka memiliki modal cukup. Untuk sementara jenazah dimasukkan ke peti kayu, lalu dimakamkan ke dalam tanah. Setelah keluarga itu memiliki uang cukup, mereka menggali kembali makam, dan memindahkan jenazah ke dalam batu alam. Pemindahan jenazah ini pun dilakukan dengan ritual adat. Tengkorak kepala, jari kaki, dan tangan tetap mengarah ke gunung.

Dalam setiap kubur batu alam dibolehkan memasukkan dua jenazah, tetapi harus suami dan istri yang meninggal bersamaan. Jika mereka meninggal dalam waktu yang berbeda, jenazah kedua baru bisa dimasukkan dalam kubur batu itu setelah empat tahun. Sebelum itu, jenazah dimakamkan menggunakan peti di tempat lain.

Kubur-kubur batu ini berada di tengah Kampung Nuabari. Hal itu karena diyakini adanya hubungan yang sulit terpisahkan, antara mereka yang masih hidup dan yang telah meninggal.

”Kami meyakini di antara kami selalu saling melindungi sehingga keluarga yang meninggal harus dimakamkan di dekat rumah keluarga atau di tengah Kampung Nuabari,” ucap Bartolomeus.

F15D2560-E6D9-3EBB-03F87A09AEB060F9

Satu-satunya

Wempi Nuabari, Kepala Urusan Pemerintahan Desa Lena Ndareta, mengatakan pula, tata cara penguburan jenazah di dalam kubur batu tersebut merupakan satu-satunya yang ada di Flores. Tradisi ini sangat unik, tetapi belum ada penelitian oleh orang Indonesia kecuali tiga ilmuwan dari Korea Selatan. Mereka berkesimpulan, leluhur orang Nuabari berasal dari suku Indian.

Orang Nuabari termasuk komunitas suku Lio, tetapi Lio Paga (Sikka), karena masih ada Lio Ende. Lio Paga disebut Lio Mbengu. Ada tiga kelompok suku Lio Mbengu, yakni Mbengu Wena (lio pantai), Mbengu Wawo (lio tengah), dan Mbengu Ngone (lio atas), yakni orang Nuabari.

Antropolog dari Unika Kupang, Pastor Gregor Neonbasu SVD, mengatakan, tradisi kubur batu di Nuabari memiliki hubungan kaitan dengan kehidupan manusia Flores di Liang Bua, dan Lia Nggalang di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Nenek moyang orang Nuabari berasal dari Liang Bua dan Lia Nggalang atau sebaliknya nenek moyang Liang Bua, atau Lia Nggalang dari Nuabari, atau mereka bersaudara.

”Secara antropologis, suku- suku asli di Flores termasuk Nuabari berasal dari Melanesia, seperti Rampasasa di Manggarai. Namun, hal ini perlu diteliti lebih lanjut, terutama orang arkeolog,” kata Neonbasu.

(Kornelis Kewa Ama)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Agustus 2015, di halaman 27 dengan judul “GOLD COAST Maraton di Surga Selancar”.